Kudengar alunan jazz dari dalam Café de Flore itu. Malam musim dingin memang membuat semua menjadi beku. Sepanjang Rue Saint Germain, langkah kakiku takhentinya berharap. Ya, di kota Paris ini segalanya akan menjadi penuh harap, meski ia teruapi oleh aroma parfum, riak sungai Seine yang membangkitkan gairah, tetap saja aku selalu menanti harapan. Di manakah kamu?
Aku memasuki pintu kafe.
Pelayan mengantarku ke meja yang sudah aku pesan sebelumnya. Hmm, dari sana
sini tercium wangi parfum yang mahal, bukan sekadar aroma parfum yang sering
kucium di tubuh wanita-wanita yang mangkal di gang-gang kumuh Indonesia. Sudah
berapa lama aku berada di sini? Entahlah, aku sendiri sudah lupa sudah berapa
lama aku berada di Paris, kota kelahiranmu. Kota di negeri yang kata orang
romantis, sensual, dan eksotik. Persis sepertimu, Andreas.
Aku memesan sepiring pasta
dan sebotol wine meski kata dokter aku takboleh terlalu banyak meminum wine.
Dokter itu barangkali lupa, jika tidak minum wine aku bisa mati. Haha,
setidaknya itulah yang sering kulakukan jika pikiranku sudah kacau, dan kau
takkunjung datang pula padaku. Aku selalu menunggumu di apartemenku, menunggu
kau mengetuk pintu atau menekan bel dan berucap salam padaku. Tapi kau
takkunjung datang pula meski aku telah di sini, di kota kelahiranmu. Selalu saja
jika kau takkunjung datang, aku selalu mereguk wine, martini,
atau pun jenis minuman keras lainnya. Suatu saat aku bisa saja mati di sini
karena lambungku terlalu lemah untuk meminum minuman seperti itu.
Lagu jazz menggema
takhenti-henti. Iramanya menggetarkan jiwaku. O, seandainya kau yang memainkan
saksofon itu, atau pun piano, maka aku akan meminta kau memainkan satu lagu
spesial untukku. Sayangnya mereka bukan kau. Lagipula kau takbisa memainkan
alat musik, setahuku. Tapi bagiku kau tetap romantis, karena kau orang Prancis.
Katamu orang Prancis romantis bukan? Makanya aku jatuh cinta yang begitu dalam
padamu, Andreas.
Di manakah kamu? Mengapa
kau takkunjung datang padaku? Aku sudah sering memberitahumu bahwa aku sudah
berada di Paris. Kutelepon kau takpernah angkat. Kukirim email takpernah balas.
Apa kau seorang invisible man? Kau hilang tanpa jejak sejak kuputuskan
untuk menyusulmu ke Paris. Aku cinta padamu. Buat apa aku jauh-jauh pergi ke
Paris, meninggalkan Indonesia, entah sudah berapa lama hanya untuk menemuimu?
Oalah, aku takpernah lupa
bagaimana rupamu. Rambut pirang dengan mata yang begitu biru. Matamu itulah
yang mengesankan hatiku sejak pertama kali bertemu di Jakarta. Dan sosokmu
yang—meski tidak gagah—selalu terbayang olehku, membuatku selalu berkhayal
seandainya aku bisa hidup denganmu, kawin, beranak-pinak, dan bahagia.
Segalanya bersumber dari mata birumu, sayang. Dan kutahu namamu dari paspormu
yang terjatuh tanpa sepengetahuanmu. Tuhan memang baik. Beruntung sekali
paspormu jatuh di dekatku sehingga aku bisa dengan mudah mengambilnya lantas
kuserahkan padamu.
“Mister, your passport!!”
kataku memanggilmu.
Kau menoleh padaku. Astaga
tampan sekali wajahmu!
Kau mengucapkan sesuatu
dalam bahasa Prancis yang tidak kuketahui artinya. Mungkin semacam terima
kasih atau hujatan terhadap keteledoranmu sendiri. Di sanalah kutahu
namamu, Andreas Baudelaire. Nama yang bagus, sebagus orangnya. Ingin sekali
kuberkenalan denganmu tapi, maukah kau berkenalan dengan wanita Indonesia?
Sepertinya kau paham
maksudku. Tapi tunggu, aku bukan sembarang wanita Indonesia yang selalu
menunggu laki-laki terlebih dahulu untuk berkenalan. Apa salahnya jika
perempuan yang duluan mengajak kenalan? Ya, bukan hanya dalam hal kenalan,
mengutarakan perasaan pun aku takpernah segan-segan untuk mengucapkannya secara
langsung pada orangnya.
“Kau dari Prancis?”
tanyaku memakai bahasa Inggris.
“Ya, dan aku di sini untuk
sekolah, namamu siapa?” katamu dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah.
“Namaku Sari, kau
Andreas?”
Kau tersenyum, “Ya, pasti
kau melihat namaku dari pasporku?”
Aku tersenyum malu. Sejak
saat itu, aku mulai memperhatikanmu. Kau pun memintaku untuk menjadi pemandumu
selama kau berada di Indonesia sampai kau benar-benar beradaptasi. Akhirnya kutahu
bahwa kau sedang memperdalam seni teater di Indonesia.
Setiap hari aku bertemu
denganmu, berjalan-jalan, pergi ke kelompok teater di Jakarta dan terkadang
mengikuti latihannya. Kadang-kadang kau mengajakku dinner di pantai
Marina. Berdua dalam cahaya lilin dan laut yang bergemuruh, dan rembulan yang
tercelup ke dalam kopi yang kupesan. Wajahmu seteduh rembulan. Suaramu serupa
ombak lautan yang bergemuruh lepas dalam telingaku. Oh, kau memang romantis.
Penyanyi jazz itu
melantunkan Misty. Aku teringat Ella Fitzgerald, penyanyinya. Akh,
kuingat teknik bernyanyinya sangat bagus. Tunggu, bukannya kau juga menyukai
lagu ini? Kau selalu menyanyikannya. Ya, bahkan lagu ini ada di playlist
pemutar musikmu. Kenapa aku bisa lupa bahwa ini adalah lagu kesukaanmu?
Akhirnya, kudengarkan Misty itu dengan penuh kesenduan. Bahkan kalau
boleh aku ingin menangis di sini.
Wine dan pastaku sudah
datang. Semakin malam, kafe semakin ramai. Orang-orang berbusana mewah dan
wanita-wanita bergaun sutra ada di setiap meja. Jangan heran, ini kafenya
artis-artis Paris. Jadi jika kau ingin melihat artis Prancis makan malam,
kunjungilah Café de Flore. Tapi, tetap saja takada sosokmu. Salju turun di luar
sana, kutuangkan wine ke dalam gelas kristal. Kureguk dan kurasakan ia
menjalari seluruh aliran darahku. Hangat seperti tubuhmu. Merasuk dan
memabukkan sehingga selalu kunanti pelukanmu di tubuhku yang tipis ini.
Sebatang rokok kunyalakan.
Sebenarnya aku takingin makan malam ini. Barangkali kau akan kemari, dengan jas
hitam atau mantel dan rambut yang rapi, tentu aku akan senang sekali.
Perjalananku ke sini tidak akan sia-sia jika kutemui kau di sini. Lalu aku akan
memintamu memesankan lagu jazz untukku. Terserah, mau Blue Moon ataupun
lagu-lagu Diana Krall atau Lisa Ekdahl. Jika sudah begitu, puas rasanya aku
mengunjungi negaramu dan takakan pernah kembali lagi ke Indonesia. Aku akan
tinggal saja denganmu di sini. Jadi istrimu, jadi pelengkap kesendirianmu.
Apa salahnya jika aku
punya keinginan seperti itu? Bukankah seorang wanita boleh menentukan siapa
yang akan menjadi suaminya? Aku sudah menentukan siapa suamiku kelak, yaitu kau
Andreas. Aku takbutuh lelaki lain. Aku takbutuh lelaki yang bernama Andreas
yang lain. Aku takbutuh lelaki yang bernama Andreas, orang Prancis, yang lain.
Aku hanya butuh kau saja.
Kuisap rokokku dan
kuembuskan kembali. Asap-asap keluar dari mulut dan hidungku dan berputar-putar
di udara. Penyanyi itu telah selesai melantunkan Misty dan kembali
menyanyikan lagu yang takkuhafal. Jika kuingat jazz, maka aku akan langsung
mengingatmu. Tebersit pikiran bahwa aku sudah saja pulang kembali. Melupakanmu
dan melupakan semua impianku. Apa aku bisa melupakanmu? Akh, kau begitu lekat
di pikiranku. Lekat bagai lem. Lekat selekat tubuhmu yang memelukku. Lekat
selekat bibirmu yang pernah mencium bibirku. Lekat selekat-lekatnya.
Kuhabiskan wine di
gelas dan kutuang kembali. Aneh, baru satu gelas saja, aku sudah agak mabuk.
Aku tidak boleh mabuk, tapi aku harus minum wine. Sudah kukatakan tadi
jika aku takminum wine, aku akan mati. Kuperhatikan sekeliling,
barangkali sosokmu hadir di sini. Tetap saja takada. Andreas, mengapa kau harus
kembali lagi ke Prancis? Sudahlah tinggal di Indonesia saja. Terus terang aku
begitu tersiksa sekarang ini. Mencarimu hingga ujung dunia, pergi mengembara ke
tempat asalmu tanpa siapa-siapa hanya berbekal cinta yang menguatkanku di sini.
Aku butuh kejelasanmu. Aku butuh cintamu lagi. Dan kau pergi tanpa pesan.
Hilang. Tanpa kejelasan bahwa kau akan mengawiniku atau tidak. Aku hanya butuh
jawabanmu.
Orang-orang bertepuk
tangan. Penyanyi itu baru saja mengakhiri konsernya. Kulihat jam, waktu sudah
pukul setengah sebelas malam. Apakah kau akan ke sini Andreas? Kepalaku pusing,
lambungku kumat lagi. Orang-orang berlalu lalang. Pelayan membawa baki-baki
yang berisi wine. Mereka berbicara bahasa Prancis yang belum sepenuhnya
kukuasai. Sesungguhnya malam sudah terlalu larut bagiku jika pulang dengan
jalan kaki. Terpaksa aku harus naik taksi.
Andreas, apakah kau akan
datang ke sini malam ini? Aku teringat potongan sajak Pablo Neruda, Tonight
I can write the saddest lines. Malam semakin bertambah malam. Salju sudah
berhenti turun, malam serupa kulkas. Dan aku serupa pohon-pohon yang membeku di
musim dingin. Sepi. Tanpamu. Kuulang-ulang potongan sajak itu, Tonight I can
write the saddest lines, sembari bayanganmu lekat dalam imajinasiku.
Kubayangkan kau yang membaca potongan sajak tersebut, Tonight I can write
the saddest lines, berkali-kali, berulang-ulang, Tonight I can write the
saddest lines.
Kuputuskan untuk pulang ke
apartemen, kepalaku pusing lambungku perih. Pelayan menyodorkan bill dan
kuberikan kartu visaku. Segera pelayan itu berlalu dari hadapanku. Sebenarnya
ingin kutanyakan tentangmu pada pelayan itu barangkali mereka pernah melihatmu
mengunjungi Café de Flore, namun urung kulakukan. Sepertinya kau takpernah ke
sini. Sepertinya…
Setelah urusan bill selesai, aku
berjalan menuju pintu keluar. Aku memandang sekeliling siapa tahu harapan
terbesarku terwujud. Pandanganku terhenti di suatu meja. Meja yang paling
pojok. Di situ ada kamu. Benarkah di situ ada kamu? Andreas Baudelaire, lelaki
Prancis yang kusayang. Lelaki bermata biru yang membuatku lekat. Ternyata kau
di sini juga, tetapi bersama wanita lain yang kini sedang lekat mengecup
bibirmu…
Tonight
I can write the saddest lines…
Bandung, 25
November 2010
23:16
No comments:
Post a Comment