Thursday, 26 July 2012

MATI SURI



Dunia kelam membawaku memasuki sebuah peradaban yang mungkin tidak pernah aku jumpai sebelumnya. Aku terasing dari keramaian, dari masa lalu, masa kini, dan barangkali masa depan. Semua telah berubah manakala aku telah tenggelam dalam lautan kemuraman tanpa cahaya keemasan tanpa cahaya mega-mega yang berarak di atasnya. Apa yang bisa kulakukan untuk bisa mengembalikan semuanya kembali seperti sediakala?

Langit hanya mendung dan kelam, tapi aku menyukainya. Apa salahnya? Bukankah segala sesuatu tidak pernah ada yang sempurna? Aku menyukai mendung bukan berarti jiwaku kelabu dan sendu. Mendung mengandung butiran hujan yang siap turun membasahi bumi yang kerontang, dan aku suka hujan. Hujan bagaikan denting piano yang memecah kesunyian memainkan sebuah requiem kerinduan dari partitur-partitur sunyi. Dan hujan yang akan membawaku pulang kembali padamu, setelah lama terasing dari dunia kelam yang akan tetap kelam meski zaman telah hingar bingar oleh cahaya lampu. Kerlap-kerlip.


Apa salahnya jika aku kembali padamu? Pulang dengan membawa sekotak kerinduan yang sengaja aku beli di sebuah pasar malam kala malam-malam buta. Jika kau enggan menerimanya sebagai hadiah yang terindah, tidak apa-apa. Manusia akan selamanya berbeda keinginan dan hasrat. Dan aku akan selalu meyakini teori tersebut. Apakah kau akan menyambutku ketika aku kembali padamu? menghamburkan pelukmu yang selalu dingin tanpa kehangatanku. Meski zaman semakin menggerus usia, pijak langkah tak tentu lagi berada di tanah mana, mentari keemasan tak lagi bertengger di pelupuk cakrawala senja sehingga senja taklagi indah taklagi merajut benang-benang keemasan yang saling bersatu padu menjadi mantel cakrawala senja, aku tetap akan pulang padamu. Pulang di tengah suasana yang tak gemilang. Kembali tanpa pernah disadari bahwa aku dibuntuti mati.

Awan-awan mendung berarak terus dan akan tetap berarak karena bumi berputar tidak diam. Mendung menggantung di kepalaku ketika aku berjalan menyusuri dunia kelam yang terhampar di depan mataku. Di manakah jalah keluarnya? Di manakah gerbang pembatas antara dunia ini dengan dunia nyataku tempat kau berada? Seekor burung layang-layang terbang menantang mendung. Aku tersesat barangkali di sini. Tiada jalan keluar. Tiada mentari cerah. Tiada suara-suara manusia lain yang saling berinteraksi. Tiada cinta. Tiada cerita. Dan tiada dirimu. O, dunia yang mengental oleh luka, apakah akan tetap kutelusuri dunia yang kini terhampar di depanku? Dunia yang entah dari semesta yang mana sehingga aku tidak bisa lagi membedakan mana mimpi mana kenyataan.

Kubayangkan dirimu dalam dunia nyata sendiri menatap masa depanmu atau barangkali masa lalumu yang suram. Kubayangkan kau akan menangis tersedu mengingat semua kenangan yang menjulang. Dan kenangan tidak akan selamanya indah, adakalanya kenangan akan menjadi suram bahkan bisa mengikis segala keceriaan sehingga menjadi layu dan nestapa. Aku yang membuat kenangan suram itu tanpa pernah disengaja akan menjadi petaka kelak jika kau mengingatnya. Kubayangkan kau suka berdiam diri tanpa bicara sepatah kata pun, karena kata-kata tidak akan mampu menghiburmu, mengobati luka yang mengental dan menjadi dedak di hatimu. Dan aku hanya bisa membayangkan saja, betapa membayangkan saja di sini susahnya minta ampun.

“Pergi! Pergi!”

Seakan aku mendengar suaramu berteriak entah dari sudut yang mana. Apakah memang khayalanku atau memang suara bisa menembus semesta ini? jika memang hanya khayalanku, seringkali kudengar pula nyanyian koor yang menggema, terdengar lagu jazz, blues, rockabilly yang saling bertautan seperti ada pesta saja nun jauh di sana. Tapi tidak pernah kutemui ada kehidupan di sini selain kehidupanku dan tentu saja kehidupanmu dalam ingatanku. Kadang juga kudengar denting piano yang memainkan lagu-lagu kesedihan, entah dari mana asalnya. Kubayangkan kembali kau yang memainkan lagu tersebut. Jemarimu lincah menari-nari di antara tuts-tutsnya tanpa disadari bahwa kau sedang bermain piano. Jiwamu melayang, mentaksadarkan seluruh ragamu sehingga kau terhanyut oleh permainanmu sendiri. Terhanyut dalam irama yang disajikan. Terhanyut dalam suasana yang sendu merasuki sanubari. Terhanyut dalam airmata yang menetes di pipimu. Kubayangkan saja dan hanya bisa kubayangkan bagaimana pipimu, ya pipimu yang putih, lembut, mulus tanpa celah jerawat basah oleh airmata.

Kau bermain dalam semestamu sendiri, semesta yang terhampar luas dengan ribuan bintang yang kerlap-kerlip tanpa setitik pun celah yang bisa dimasuki kegelapan. Jemarimu menari-nari bagai penari ballet yang berputar-putar dalam sebuah panggung terbuka memainkan repertoar Swan Lake karya Tchaikovsky yang melegenda dalam dunia ballet. Jemarimu menari-nari dan kadang berubah menjadi menari-nari tari jaipong atau tari merak. O, jiwamu yang kesepian sama kesepiannya dengan jiwaku di sini. Terasing dan terkurung tanpa disadari maut akan menjemput.

Aku dengar suara-suara bisikan yang hanyut dalam sanubari, mengikis segala bayangan tentangmu. Siapa yang berbisik-bisik tersebut? Aku melangkah tanpa tujuan dengan pasti di tengah mendung yang tidak habis-habisnya sirna. Tanpa hujan. Tanpa badai. Tanpa el nino. Hanya mendung saja. Siapa yang berbisik-bisik tersebut?

Jiwamu yang ngelangut. Begitulah kutafsirkan apa yang sedang kau rasakan kini. Meski aku tidak bisa menemuimu, namun aku bisa membayangimu meski terkadang susah untuk dilakukan. Jiwamu yang selalu sepi di malam-malam buta takhenti-hentinya mengalirkan kesenduan dalam semesta tak berwaktu. Betapa jiwa yang kesepian memang mudah untuk ditafsirkan meski jiwa yang ngelangut dan jiwa yang kesepian tidak pernah berani terang-terangan diungkapkan.

Suara-suara itu menjelma kembali ke dalam pusara ketiadaan. Mendung tidak pernah beranjak pergi dari tempat ini. Bisikan-bisikan yang kadang berkata, tertawa atau bahkan pula menangis memang sangat jelas terngiang di telingaku. Seperti tepat berada di sampingku namun tidak pernah ada sesiapa di sampingku, di depan, di belakang, di mana-mana di dekatku. Siapa yang berbisik-bisik tersebut?

Cakrawala buta menorehkan luka yang dalam ketika aku berada di sini. Entah sudah berapa lama aku berada dalam tempat kenistaan ini. Seminggu, sebulan, setahun, berpuluh-puluh tahun barangkali aku tidak tahu karena di sini tidak pernah ada waktu. Di sini tidak mengenal waktu yang selalu berputar-dan berputar dari kanan ke kiri tidak pernah berputar sebaliknya. Tempat ini tidak mengenal ruang yang berwaktu. Tiada waktu. Tiada masa. Tiada musim.

“Pergi! Pergi!”

Suaramu kembali terdengar mengalahkan bisikan-bisikan yang berdengung seperti nyamuk. Di manakah kau? Apakah kau ada juga di sini, di tempat yang tidak beruang waktu. Apakah kau ada nun jauh di balik mendung pekat dengan rambut yang tidak kau ikat, membiarkan saja tergerai ditiup angin? Apakah kau ada di sana mengenakan kain singkap sehingga tampak jelas bahumu yang putih. Dan wajahmu yang ayu menyiratkan luka, menyiratkan kesedihan yang dalam bagaimana kau menderita menahan rindu yang menyesaki dada. Tentunya aku tidak sekadar berkhayal tentangmu belaka. Aku berharap semoga itu terjadi dan memang kau ada di balik mendung menggumpal tersebut.

Kubayangkan aku bisa menembus mendung tersebut dan menemuimu dalam keadaan terlunta. Kulihat kau duduk di kursi pianomu hendak memainkan kembali lagu yang menyiratkan kerinduan. Dan aku perlahan mendekatimu dengan langkah yang tertahan tanpa suara. Mendekatimu hingga aku tahu bagaimana rupamu kini. Kau terkejut melihatku dan aku juga terkejut. Tetapi keterkejutan itu tidak berlangsung lama, kau kembali asyik dengan pianomu, memainkan sebuah lagu yang barangkali dipersembahkan untukku. Sayang aku tidak bisa mengiringimu karena aku tidak bisa memainkan alat musik apa pun.

Denting pianomu memecah kesunyian. Jemarimu lincah menari-nari bagai penari ballet di antara tuts-tuts yang bisu. Jemarimu tersebut kutafsirkan sebagai angsa-angsa yang menari-nari di telaga kabut. Dan di antara kabut itu kucelupkan jemariku ke dalam telaganya. Terasalah hawa dingin yang membeku dan hawamu yang juga membeku.

Tentunya aku sedang tidak berkhayal. Aku hanya mengungkapkan dugaan saja. Aku terhanyut dalam permainanmu, membawaku berkelana ke dalam lautan yang tak bertepi, samudera keemasan yang dibias mentari senja di sebuah semesta lain tak bernama. Kau terus memainkan pianomu itu tanpa henti hingga hari menjadi lebih gelap dan remang. Kunyalakan sebatang lilin dan cahayanya remang menerangi segala kekelaman yang ada. Cahaya lilin yang muram menambah haru suasana terlebih setelah kau memainkan pianomu itu.

Tiba-tiba kau berhenti memainkan lagumu. Jemarimu terdiam. Kau menatap lilin yang kuletakkan di atas piano dengan maksud untuk menerangi kemuraman yang ada. Apa yang kau pikirkan? Ada apa dengan cahaya lilin itu? apakah ia menyiratkan luka yang mendalam? Ataukah cahaya lilin itu adalah bayangan masa-masa lalumu yang kelam?

Aku tidak pernah tahu pikiranmu. Aku hanya bisa membayangimu saja. Sehingga aku tidak bisa mengetahui mengapa airmata bisa menetes di pipimu yang putih tersebut manakala kau melihat cahaya lilin yang kunyalakan. Kau membisu, airmata terus menetes tanpa pernah kau seka. Apa yang sedang kau rasakan kini? Bukankah dulu ketika kita masih saling mengenal dan bersama satu sama lain tak pernah kau teteskan airmatamu? Cahaya lilin adalah cahaya juga. Ia bisa menerangi kegelapan bukan? Dan bukankah kau cinta akan cahaya? Tentunya ketika kau melihat cahaya lilin, kau akan bahagia. Bukan meneteskan airmata seperti ini. Tetapi aku tidak tahu juga apakah airmatamu ini adalah airmata kesedihan atau sebaliknya, aku tidak tahu.

“Pergi! Pergi!” kau mengusirku. Aku tidak kuasa mendengarnya. Mengapa kau mengusirku? Bukankah aku adalah orang yang kau cintai, yang selalu kau tunggu kehadirannya?

“Kau…” kataku lemah.

“Pergi! Pergi!”

“Mengapa kau…”

“Pergi! Kau bukan orang yang kukenal dulu!”

“Kau…”

“Pergi! Pergi!”

Kubayangkan segalanya akan menjadi seperti itu. Entah mengapa bayanganku meluas menjadi sebuah dilema. Bayanganku itu telah sampai pada batasnya, dan aku tidak bisa membayangi dirimu lagi. Segalanya telah sirna. Matahari tidak akan pernah menyinari dunia kelam ini. Dan barangkali aku tidak akan bisa pulang kembali padamu.

Demikian ketiadaan telah menghampiri diriku sehingga segalanya menjadi hilang tidak berbekas. Aku terasing dan tidak mengenal arah mata angin lagi. Aku tidak mengenal waktu. Aku tidak mengenal deru perputaran roda kehidupan. Bahkan aku tidak mengenal bagaimana arti sebuah kenangan. Tetapi aku masih mengingatmu dan akan selalu mengingatmu. Aku akan selalu mendengar denting piano yang dimainkan jemarimu. Aku akan selalu mengenang bagaimana kau terisak mengenang segalanya ketika kau memainkan sebuah lagu. Lagu yang menjelma menjadi lara dan sesal. Aku ingin pulang padamu dan ingin melihat lagi bersama-sama bagaimana senja keemasan telah menjadi remang dan siap ditelan laut yang tiada berujung. Dan mentari yang merah bulat akan hilang di tepi lautan yang sunyi laksana lautan itu adalah sarang dari mentari.

Mendung akan selamanya menjadi mendung, tidak hujan ataupun sirna. Dan takbisa kuterka apakah saat ini sedang malam, pagi, siang, ataupun petang. Aku berjalan tanpa arah dan tujuan sambil bersiap memikirkan bagaimana kehidupanku selanjutnya di sini. Aku musafir yang tersesat dan rindu untuk melangkah lagi di duniamu. Bisikan-bisikan kembali terngiang dan menjalar di dalam telingaku. Siapa yang berbisik-bisik tersebut? Bisikan itu semakin kuat terdengar di telinga dan denting piano yang kau mainkan hilang sama sekali. Padahal aku lebih menyukai denting pianomu yang sendu daripada bisikan-bisikan aneh yang semakin jelas terngiang. Dan bisikan-bisikan itu akan meneriakkan satu hal yang sama:

Mati suri… Mati suri… Mati suri….
***
Barangkali mendung ini yang akan membawaku kembali padamu. Tapi kukira ia akan lambat mengirimku pulang sementara kau sudah lelah menunggu kedatanganku. Siapa yang sudi menunggu kekasihnya bertahun-tahun yang hanya sebatas kekasih belaka? Jika memang mencintai membutuhkan pengorbanan dan airmata, ada yang bisa menggantikan rasa mencintai tersebut dengan rasa yang tidak membutuhkan pengorbanan tetapi tetap manis dan indah?





Bandung, 16 September 2009
18.59

No comments:

Post a Comment