Dunia kelam membawaku memasuki sebuah peradaban yang
mungkin tidak pernah aku jumpai sebelumnya. Aku terasing dari keramaian, dari
masa lalu, masa kini, dan barangkali masa depan. Semua telah berubah manakala
aku telah tenggelam dalam lautan kemuraman tanpa cahaya keemasan tanpa cahaya
mega-mega yang berarak di atasnya. Apa yang bisa kulakukan untuk bisa
mengembalikan semuanya kembali seperti sediakala?
Langit hanya mendung dan kelam, tapi aku menyukainya.
Apa salahnya? Bukankah segala sesuatu tidak pernah ada yang sempurna? Aku
menyukai mendung bukan berarti jiwaku kelabu dan sendu. Mendung mengandung
butiran hujan yang siap turun membasahi bumi yang kerontang, dan aku suka
hujan. Hujan bagaikan denting piano yang memecah kesunyian memainkan sebuah requiem kerinduan dari partitur-partitur
sunyi. Dan hujan yang akan membawaku pulang kembali padamu, setelah lama
terasing dari dunia kelam yang akan tetap kelam meski zaman telah hingar bingar
oleh cahaya lampu. Kerlap-kerlip.
Apa salahnya jika aku kembali padamu? Pulang dengan
membawa sekotak kerinduan yang sengaja aku beli di sebuah pasar malam kala
malam-malam buta. Jika kau enggan menerimanya sebagai hadiah yang terindah,
tidak apa-apa. Manusia akan selamanya berbeda keinginan dan hasrat. Dan aku akan
selalu meyakini teori tersebut. Apakah kau akan menyambutku ketika aku kembali
padamu? menghamburkan pelukmu yang selalu dingin tanpa kehangatanku. Meski
zaman semakin menggerus usia, pijak langkah tak tentu lagi berada di tanah
mana, mentari keemasan tak lagi bertengger di pelupuk cakrawala senja sehingga
senja taklagi indah taklagi merajut benang-benang keemasan yang saling bersatu
padu menjadi mantel cakrawala senja, aku tetap akan pulang padamu. Pulang di
tengah suasana yang tak gemilang. Kembali tanpa pernah disadari bahwa aku
dibuntuti mati.
Awan-awan mendung berarak terus dan akan tetap berarak
karena bumi berputar tidak diam. Mendung menggantung di kepalaku ketika aku
berjalan menyusuri dunia kelam yang terhampar di depan mataku. Di manakah jalah
keluarnya? Di manakah gerbang pembatas antara dunia ini dengan dunia nyataku
tempat kau berada? Seekor burung layang-layang terbang menantang mendung. Aku
tersesat barangkali di sini. Tiada jalan keluar. Tiada mentari cerah. Tiada
suara-suara manusia lain yang saling berinteraksi. Tiada cinta. Tiada cerita.
Dan tiada dirimu. O, dunia yang mengental oleh luka, apakah akan tetap
kutelusuri dunia yang kini terhampar di depanku? Dunia yang entah dari semesta
yang mana sehingga aku tidak bisa lagi membedakan mana mimpi mana kenyataan.
Kubayangkan dirimu dalam dunia nyata sendiri menatap
masa depanmu atau barangkali masa lalumu yang suram. Kubayangkan kau akan menangis
tersedu mengingat semua kenangan yang menjulang. Dan kenangan tidak akan
selamanya indah, adakalanya kenangan akan menjadi suram bahkan bisa mengikis
segala keceriaan sehingga menjadi layu dan nestapa. Aku yang membuat kenangan
suram itu tanpa pernah disengaja akan menjadi petaka kelak jika kau
mengingatnya. Kubayangkan kau suka berdiam diri tanpa bicara sepatah kata pun,
karena kata-kata tidak akan mampu menghiburmu, mengobati luka yang mengental
dan menjadi dedak di hatimu. Dan aku hanya bisa membayangkan saja, betapa
membayangkan saja di sini susahnya minta ampun.
“Pergi! Pergi!”
Seakan aku mendengar suaramu berteriak entah dari sudut
yang mana. Apakah memang khayalanku atau memang suara bisa menembus semesta
ini? jika memang hanya khayalanku, seringkali kudengar pula nyanyian koor yang
menggema, terdengar lagu jazz, blues, rockabilly yang saling bertautan seperti
ada pesta saja nun jauh di sana .
Tapi tidak pernah kutemui ada kehidupan di sini selain kehidupanku dan tentu
saja kehidupanmu dalam ingatanku. Kadang juga kudengar denting piano yang
memainkan lagu-lagu kesedihan, entah dari mana asalnya. Kubayangkan kembali kau
yang memainkan lagu tersebut. Jemarimu lincah menari-nari di antara
tuts-tutsnya tanpa disadari bahwa kau sedang bermain piano. Jiwamu melayang,
mentaksadarkan seluruh ragamu sehingga kau terhanyut oleh permainanmu sendiri.
Terhanyut dalam irama yang disajikan. Terhanyut dalam suasana yang sendu
merasuki sanubari. Terhanyut dalam airmata yang menetes di pipimu. Kubayangkan
saja dan hanya bisa kubayangkan bagaimana pipimu, ya pipimu yang putih, lembut,
mulus tanpa celah jerawat basah oleh airmata.
Kau bermain dalam semestamu sendiri, semesta yang
terhampar luas dengan ribuan bintang yang kerlap-kerlip tanpa setitik pun celah
yang bisa dimasuki kegelapan. Jemarimu menari-nari bagai penari ballet yang
berputar-putar dalam sebuah panggung terbuka memainkan repertoar Swan Lake
karya Tchaikovsky yang melegenda dalam dunia ballet. Jemarimu menari-nari dan
kadang berubah menjadi menari-nari tari jaipong atau tari merak. O, jiwamu yang
kesepian sama kesepiannya dengan jiwaku di sini. Terasing dan terkurung tanpa
disadari maut akan menjemput.
Aku dengar suara-suara bisikan yang hanyut dalam
sanubari, mengikis segala bayangan tentangmu. Siapa yang berbisik-bisik
tersebut? Aku melangkah tanpa tujuan dengan pasti di tengah mendung yang tidak
habis-habisnya sirna. Tanpa hujan. Tanpa badai. Tanpa el nino. Hanya mendung
saja. Siapa yang berbisik-bisik tersebut?
Jiwamu yang ngelangut. Begitulah kutafsirkan apa yang
sedang kau rasakan kini. Meski aku tidak bisa menemuimu, namun aku bisa
membayangimu meski terkadang susah untuk dilakukan. Jiwamu yang selalu sepi di
malam-malam buta takhenti-hentinya mengalirkan kesenduan dalam semesta tak
berwaktu. Betapa jiwa yang kesepian memang mudah untuk ditafsirkan meski jiwa
yang ngelangut dan jiwa yang kesepian tidak pernah berani terang-terangan
diungkapkan.
Suara-suara itu menjelma kembali ke dalam pusara
ketiadaan. Mendung tidak pernah beranjak pergi dari tempat ini. Bisikan-bisikan
yang kadang berkata, tertawa atau bahkan pula menangis memang sangat jelas
terngiang di telingaku. Seperti tepat berada di sampingku namun tidak pernah
ada sesiapa di sampingku, di depan, di belakang, di mana-mana di dekatku. Siapa
yang berbisik-bisik tersebut?
Cakrawala buta menorehkan luka yang dalam ketika aku
berada di sini. Entah sudah berapa lama aku berada dalam tempat kenistaan ini.
Seminggu, sebulan, setahun, berpuluh-puluh tahun barangkali aku tidak tahu
karena di sini tidak pernah ada waktu. Di sini tidak mengenal waktu yang selalu
berputar-dan berputar dari kanan ke kiri tidak pernah berputar sebaliknya.
Tempat ini tidak mengenal ruang yang berwaktu. Tiada waktu. Tiada masa. Tiada
musim.
“Pergi! Pergi!”
Suaramu kembali terdengar mengalahkan bisikan-bisikan
yang berdengung seperti nyamuk. Di manakah kau? Apakah kau ada juga di sini, di
tempat yang tidak beruang waktu. Apakah kau ada nun jauh di balik mendung pekat
dengan rambut yang tidak kau ikat, membiarkan saja tergerai ditiup angin? Apakah
kau ada di sana
mengenakan kain singkap sehingga tampak jelas bahumu yang putih. Dan wajahmu
yang ayu menyiratkan luka, menyiratkan kesedihan yang dalam bagaimana kau
menderita menahan rindu yang menyesaki dada. Tentunya aku tidak sekadar
berkhayal tentangmu belaka. Aku berharap semoga itu terjadi dan memang kau ada
di balik mendung menggumpal tersebut.
Kubayangkan aku bisa menembus mendung tersebut dan
menemuimu dalam keadaan terlunta. Kulihat kau duduk di kursi pianomu hendak
memainkan kembali lagu yang menyiratkan kerinduan. Dan aku perlahan mendekatimu
dengan langkah yang tertahan tanpa suara. Mendekatimu hingga aku tahu bagaimana
rupamu kini. Kau terkejut melihatku dan aku juga terkejut. Tetapi keterkejutan
itu tidak berlangsung lama, kau kembali asyik dengan pianomu, memainkan sebuah
lagu yang barangkali dipersembahkan untukku. Sayang aku tidak bisa mengiringimu
karena aku tidak bisa memainkan alat musik apa pun.
Denting pianomu memecah kesunyian. Jemarimu lincah
menari-nari bagai penari ballet di antara tuts-tuts yang bisu. Jemarimu
tersebut kutafsirkan sebagai angsa-angsa yang menari-nari di telaga kabut. Dan
di antara kabut itu kucelupkan jemariku ke dalam telaganya. Terasalah hawa
dingin yang membeku dan hawamu yang juga membeku.
Tentunya aku sedang tidak berkhayal. Aku hanya mengungkapkan
dugaan saja. Aku terhanyut dalam permainanmu, membawaku berkelana ke dalam
lautan yang tak bertepi, samudera keemasan yang dibias mentari senja di sebuah
semesta lain tak bernama. Kau terus memainkan pianomu itu tanpa henti hingga
hari menjadi lebih gelap dan remang. Kunyalakan sebatang lilin dan cahayanya
remang menerangi segala kekelaman yang ada. Cahaya lilin yang muram menambah
haru suasana terlebih setelah kau memainkan pianomu itu.
Tiba-tiba kau berhenti memainkan lagumu. Jemarimu
terdiam. Kau menatap lilin yang kuletakkan di atas piano dengan maksud untuk
menerangi kemuraman yang ada. Apa yang kau pikirkan? Ada apa dengan cahaya lilin itu? apakah ia
menyiratkan luka yang mendalam? Ataukah cahaya lilin itu adalah bayangan
masa-masa lalumu yang kelam?
Aku tidak pernah tahu pikiranmu. Aku hanya bisa
membayangimu saja. Sehingga aku tidak bisa mengetahui mengapa airmata bisa
menetes di pipimu yang putih tersebut manakala kau melihat cahaya lilin yang
kunyalakan. Kau membisu, airmata terus menetes tanpa pernah kau seka. Apa yang
sedang kau rasakan kini? Bukankah dulu ketika kita masih saling mengenal dan
bersama satu sama lain tak pernah kau teteskan airmatamu? Cahaya lilin adalah
cahaya juga. Ia bisa menerangi kegelapan bukan? Dan bukankah kau cinta akan
cahaya? Tentunya ketika kau melihat cahaya lilin, kau akan bahagia. Bukan
meneteskan airmata seperti ini. Tetapi aku tidak tahu juga apakah airmatamu ini
adalah airmata kesedihan atau sebaliknya, aku tidak tahu.
“Pergi! Pergi!” kau mengusirku. Aku tidak kuasa
mendengarnya. Mengapa kau mengusirku? Bukankah aku adalah orang yang kau
cintai, yang selalu kau tunggu kehadirannya?
“Kau…” kataku lemah.
“Pergi! Pergi!”
“Mengapa kau…”
“Pergi! Kau bukan orang yang kukenal dulu!”
“Kau…”
“Pergi! Pergi!”
Kubayangkan segalanya akan menjadi seperti itu. Entah
mengapa bayanganku meluas menjadi sebuah dilema. Bayanganku itu telah sampai
pada batasnya, dan aku tidak bisa membayangi dirimu lagi. Segalanya telah
sirna. Matahari tidak akan pernah menyinari dunia kelam ini. Dan barangkali aku
tidak akan bisa pulang kembali padamu.
Demikian ketiadaan telah menghampiri diriku sehingga
segalanya menjadi hilang tidak berbekas. Aku terasing dan tidak mengenal arah
mata angin lagi. Aku tidak mengenal waktu. Aku tidak mengenal deru perputaran
roda kehidupan. Bahkan aku tidak mengenal bagaimana arti sebuah kenangan.
Tetapi aku masih mengingatmu dan akan selalu mengingatmu. Aku akan selalu
mendengar denting piano yang dimainkan jemarimu. Aku akan selalu mengenang
bagaimana kau terisak mengenang segalanya ketika kau memainkan sebuah lagu.
Lagu yang menjelma menjadi lara dan sesal. Aku ingin pulang padamu dan ingin
melihat lagi bersama-sama bagaimana senja keemasan telah menjadi remang dan
siap ditelan laut yang tiada berujung. Dan mentari yang merah bulat akan hilang
di tepi lautan yang sunyi laksana lautan itu adalah sarang dari mentari.
Mendung akan selamanya menjadi mendung, tidak hujan
ataupun sirna. Dan takbisa kuterka apakah saat ini sedang malam, pagi, siang,
ataupun petang. Aku berjalan tanpa arah dan tujuan sambil bersiap memikirkan
bagaimana kehidupanku selanjutnya di sini. Aku musafir yang tersesat dan rindu
untuk melangkah lagi di duniamu. Bisikan-bisikan kembali terngiang dan menjalar
di dalam telingaku. Siapa yang berbisik-bisik tersebut? Bisikan itu semakin
kuat terdengar di telinga dan denting piano yang kau mainkan hilang sama
sekali. Padahal aku lebih menyukai denting pianomu yang sendu daripada
bisikan-bisikan aneh yang semakin jelas terngiang. Dan bisikan-bisikan itu akan
meneriakkan satu hal yang sama:
Mati suri… Mati suri… Mati suri….
***
Barangkali mendung ini yang akan membawaku kembali
padamu. Tapi kukira ia akan lambat mengirimku pulang sementara kau sudah lelah
menunggu kedatanganku. Siapa yang sudi menunggu kekasihnya bertahun-tahun yang
hanya sebatas kekasih belaka? Jika memang mencintai membutuhkan pengorbanan dan
airmata, ada yang bisa menggantikan rasa mencintai tersebut dengan rasa yang tidak
membutuhkan pengorbanan tetapi tetap manis dan indah?
18.59
No comments:
Post a Comment