Kukenal ia saat aku akan naik Trans Jogja di Halte
Malioboro 2. Wajahnya yang ayu dan senyumnya yang cantik khas Putri Jawa. Saat
itu ia menjadi petugas tiket sekaligus pemberi informasi bagi-bagi turis-turis
yang akan berwisata menggunakan Trans Jogja.
Aku belum pernah naik Trans Jogja sebelumnya. Kesempatan mengunjungi
Jogja kali ini kugunakan untuk mencoba bus yang satu ini. Kata orang-orang, ini
adalah angkutan alternatif untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di Jogja. Dengan
harga yang relatif murah, kita bisa sampai di tempat wisata tanpa perlu bingung
lagi memikirkan angkutan.
Lastri adalah petugas tiket di Halte Malioboro 2. Namanya pertama
kali kuketahui dari seragam yang dikenakannya. Aku pun refleks bertanya
kepadanya (mungkin juga siasat agar aku bisa berbicang dengannya).
“Mbak, kalau ke Prambanan naik rute yang mana ya?” tanyaku.
Lastri tersenyum sebelum memulai penjelasannya. Aku
mendengar ucapannya yang lembut dan sinar matanya yang bercahaya membuatku
takjub, ternyata masih ada perempuan yang memiliki mata yang bercahaya.
“Mas naik jalur 1A saja. Nanti turun di halte terakhir ya Mas,”
ucapnya lembut.
Aku ingin bertanya hal-hal lain tentang rute bus ini, namun
Lastri sudah melemparkan senyum manisnya ke calon penumpang lain. Memberi tiket
dan menjelaskan informasi kepada turis-turis yang bertanya rute. Aku hanya bisa
mengingat senyumnya yang manis dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. Lastri....
gumamku. L-A-S-T-R-I. Nama yang indah, seindah orangnya.
Tak lama kemudian Trans Joga rute 1A tiba. Orang-orang sabar
mengantre untuk masuk ke dalam. Petugas mengatur jalannya penumpang yang turun
dari bus kemudian mempersilakan penumpang lain untuk masuk ke dalam bus. Sebelum
masuk ke bus, aku sempatkan melihat Lastri. Wajahnya lembut, putih, dan teduh. Bibirnya
yang tipis dan basah. Dan yang paling aku suka ialah sinar matanya yang
bercahaya dan menari-nari.
Bus pun melaju meninggalkan Malioboro yang penuh dengan
kenangan baru.
***
Sudah dua hari aku mengitari kota
Jogja. Kata orang, Jogja adalah kota romantis dalam balutan keantikan dan
kebersahajaan. Setiap jengkal jalan yang dilewati adalah kenangan. Setiap orang-orang
dengan senyum keramahan adalah kenangan. Setiap bangunan tua yang masih kokoh
berdiri adalah kenangan. Tidak heran jika banyak orang yang ingin kembali ke kota
ini.
Aku menyusuri trotoar sepanjang Malioboro.
Malam-malam yang romantik kuhabiskan dengan mengelilingi Malioboro. Pedagang
oleh-oleh sudah banyak yang menutup dagangannya. Ada pula yang masih bertahan
dengan harapan masih banya turis yang berlalu lalang mengabadikan keindahan
malam di Jogjakarta.
Aku teringat Lastri, pasti ia pun
sudah bersiap untuk pulang. Semenjak pertemuan pertama tempo hari, aku jadi
sering naik Trans Jogja. Lastri pun semakin sering menyapa kedatanganku. Dengan
senyumnya yang khas, ia memberikan tiket masuk setelah kubayar dengan tiga
lembar uang seribuan.
“Hari ini, mau kemana Mas?”
tanyanya ramah.
Lalu aku pun bertanya banyak
kepadanya. Kebetulan, tidak banyak penumpang yang mengantre sehingga aku pun
leluasa bertanya tentang rute Trans Jogja kepadanya. Ia pun antusias memberikan
informasi mengenai rute-rute bus yang dapat digunakan untuk menuju ke
tempat-tempat wisata. Aku pun menjadi lebih tahu tentang rute Trans Jogja,
namun yang lebih penting adalah aku bisa berbincang banyak dengan Lastri.
Di depan halte Malioboro 2, aku
menyeberang untuk mencari angkringan yang banyak mangkal di sekitaran halteu. Halte sudah sepi, tidak ada siapa-siapa di sana. Pasti Lastri sudah pulang, pikirku. Lagi-lagi
Lastri yang kuingat di memoriku.
Melewati parkiran motor yang
mulai sepi, kutangkap sosok yang membuatku kaget sekaligus bahagia. Lastri ada
di situ, memakai jaket dan bersiap-siap untuk pulang. Kontan kupanggil ia.
“Hai!”
Lastri pun menoleh dan tersenyum
ketika tahu bahwa aku yang memanggilnya.
“Pulang?” tanyaku.
“Iya Mas. Mas sendiri mau kemana?”
“Aku mau cari makan,” jawabku
sambil menjabat tangannya.
Hening. Aku tidak pernah berhasil
membangun pembicaraan yang hangat dengan seorang perempuan yang baru kukenal. Namun,
Lastri sangat berbeda. Dalam setiap perjalananku, baru kali ini aku menyukai
seorang wanita.
“Sendiri saja?” tanyaku memecah
kesunyian.
Lastri tersenyum, mungkin ia
mengerti maksud dari pertanyaanku.
“Mas sendiri sendiri saja?” ia
balik bertanya padaku. Mati aku!
“Ah, aku cuma bawa diri saja ke
Jogja ini, selebihnya ransel, uang, dan keberanian.”
Lastri pun tertawa mendengar
jawabanku. Dengan sedikit keberanian, kuajak ia makan di angkringan. Tanpa diduga
sebelumnya,Lastri pun menyetujui usulku karena memang ia pun berasa lapar.
Begitulah, pembicaraan pun mulai
menghangat di angkringan. Ia pun mengenalkan dirinya meski sebelumnya aku sudah
tahu namanya. Ia berasal dari Purworejo dan mengontrak rumah di daerah Sleman. Menjadi
petugas tiket Trans Jogja sudah setahun lamanya. Dan ia pun menikmati
profesinya tersebut.
“Tau gak Mas, aku jadi bisa
bahasa Inggris sedikit-sedikit. Gara-gara aku sering menjelaskan rute kepada
turis-turis asing. Mosok iya aku
menjelaskan dengan bahasa Jawa ke mereka?” ujarnya dengan logat Jawa yang
kental.
“Lho, siapa tahu diantara mereka
keturunan Londo yang pernah ke sini
dulu,” jawabku.
Kami pun tertawa menghangatkan
malam di Malioboro. Perbincangan pun semakin menghangat, segelas teh poci ternyata
belum cukup menemani pembicaraan kita. Meskipun malam semakin betambah malam,
kami belum mau beranjak dari tempat itu.
“Mas sendiri kerjanya apa?”
“Aku seorang petualang, Lastri. Hidupku
kuhabiskan dengan mengunjungi satu tempat ke tempat lainnya. Dan kali ini aku
sedang singgah di Jogja untuk kemudian kulanjutkan ke Solo, Wonogiri, Magetan,
dan kota-kota di Jawa Timur.”
“Berarti mas seorang backpacker ya? Terus, darimana mas dapat
uang?”
“Haha, aku tidak pernah berpikir
tentang uang, Lastri. Dalam setiap perjalananku, aku hanya berpikir ‘aku ingin
pergi ke tempat yang lebih jauh dari ini’. Mengunjungi daerah yang belum pernah
dikunjungi orang, lalu menuliskan setiap perjalananku dan mengirimnya ke
majalah. Dari sana aku dapatkan uang. Kadang aku bekerja di setiap kota yang
kudatangi, menjadi apa saja. Itulah pekerjaannku sehari-hari.”
Lastri terdiam. Mungkin dalam
pikirannya belum pernah ia temui turis yang sepertiku. Menjalani hidup dengan mengalir
dan berjalan. Menggantungkan hidup benar-benar pada alam. “Kenapa terdiam?”
tanyaku.
“Gak apa-apa mas. Baru kali ini
aku bertemu dengan turis seperti Mas. Biasanya orang-orang berwisata karena
memang ingin berlibur,” ujar Lastri.
“Aku juga menganggap kehidupanku
adalah sebuah liburan. Makanya sepanjang hidupku hanya kugunakan dengan liburan
dan petualangan. Ini adalah petualangan yang mengasyikkan bagiku Lastri.”
Lastri menyeruput teh pocinya. Kupandangi
wajahnya yang sendu oleh lampu remang di angkringan. Malam di Jogja, malam di Malioboro.
Adakah yang lebih indah selain itu?
“Jogja itu indah ya Lastri?”
Lastri tersenyum. Lagi-lagi
senyumnya memabukkan mataku.
“Sudah setahun aku di sini. Menghadapi
kehidupan di Jogja, bertemu dengan turis-turis dan orang-orang dari berbagai
daerah. Aku belajar banyak dari mereka. Dari dulu aku memang suka kota ini.
Banyak kenangan yang kuingat di Jogja.”
“Kenanganmu rupanya bertambah
satu, yakni makan di angkringan malam-malam dengan seorang petualang kumal,”
candaku.
Kami tertawa, menikmati malam
yang syahdu. Setelah membayar ini itu kami berpisah. Lastri pulang ke
kontrakannya, dan aku ke penginapan. Kami pun bersalaman.
“Mas, besok mau berpetualang ke
mana?” tanyanya.
“Yang jelas aku akan memulai
petualanganku dari Halte Malioboro 2,” jawabku.
Kami kembali tertawa. Merasakan hangatnya
pertemuan yang kelak akan menjadi kenangan. Esoknya, kami kembali bertemu dan
terus mengulang pertemuan itu setiap malam seusai ia bekerja. Malam yang indah
selalu kita lewati dengan sebuah perbincangan hangat.
Aku adalah seorang petualang
kumal. Tidak punya rumah. Mengunjungi satu kota ke kota lainnya dengan harapan
mencari tujuan dari kehidupan. Yang kubutuhkan hanya cinta yang kelak akan
kutemui di setiap petualanganku. Aku tidak pernah menemui cinta seutuhnya. Tapi
pertemuan dengan Lastri membuatku sadar bahwa cinta bukanlah sesuatu hal yang
mesti dicari. Ia akan datang dengan sendirinya.
Setiap pertemuan memang berujung
pada perpisahan. Rencana mengunjungi Jogja yang hanya seminggu, molor hingga
beberapa minggu. Lastrilah yang membuat perjalanan ke Jogja menjadi mengesankan.
Mau tidak mau, aku harus melanjutkan petualanganku untuk bisa hidup.
“Aku akan kembali ke Jogja dan
bertemu kamu Lastri. Itu pasti,” kataku.
“Aku tunggu itu Mas. Aku akan
selalu menunggumu di Jogja,” jawabnya sebelum kami berpisah.
***
Aku adalah petualang. Setiap daerah
yang kukunjungi, aku selalu menulis kisah petualanganku. Mencatat apa yang
kutemui, kulihat, kudengar, dan kurasakan. Pertemuan, perpisahan, cinta,
makanan, dan apapun yang menarik untuk kutulis.
Terkadang, aku menulis kesepian
yang kurasakan di daerah yang kukunjungi. Di kota lain justru aku menulis ingar
bingar dan kehangatan yang kudapatkan di kota. Akan tetapi, aku belum pernah
menulis kesedihan, karena bagiku petualang bukanlah untuk mencari kesedihan.
Stasiun Tugu di depan mata. Sudah
setahun lebih aku tidak mengunjungi Jogja lagi. Banyak kenangan yang
takterlupakan di kota ini, termasuk bayangan Lastri. Bagaimana kabarnya kini?
Apakah senyumnya masih bisa ditemui di halte Malioboro 2?
Setelah menemukan penginapan di
sekitar Sosrowijayan, aku pun mandi dan bersiap menjelajahi kembali kenangan
yang tersimpan setahun yang lalu. Semoga Lastri masih ada di halte itu,
pikirku. Tentu alangkah bahagianya ia ketika melihat aku kembali menginjakkan
kaki di halte Malioboro 2.
Di halte Malioboro 2 aku mencari
Lastri. Namun, petugas tiket di sana ternyata bukan Lastri. Kemanakah ia?
Di halte manakah ia kini bertugas? Aku mencoba bertanya pada petugas tiket.
“Mbak, kenal Lastri?” tanyaku.
“Lastri?”
“Iya, Lastri yang dulu petugas
tiket di sini.”
“Maaf mas, saya pegawai baru jadi
saya tidak kenal Lastri,” jawaban yang membuatku kecewa.
Aku harus mencari kemana ia? Kuputuskan
untuk mencarinya di setiap halte Trans Jogja. Setiap rute kunaiki hanya untuk
mencari keberadaannya. Dari halte Jombor hingga Prambanan aku mencari Lastri. Akh,
Lastri dimanakah kamu kini?
Suatu senja, hujan bermain di
cakrawala kelabu. Pada sebuah halte di kawasan Kridosono, aku berteduh sembari
menunggu Trans Jogja rute 2A lewat. Iseng-iseng kutanyakan perihal Lastri kepada
petugas tiket di halte itu.
“Lastri? Lastri yang dulu di
halte Malioboro? Hmm...,” ucap petugas itu.
Hening, petugas itu seakan
mengingat sesuatu. Sorot matanya berubah menjadi kesedihan. Aku paham
maksudnya. Bahkan, ketika petugas itu berkata soal kematian Lastri 3 bulan yang
lalu, aku sudah bisa mengira sebelumnya. Mungkin inilah saatnya aku menulis kesedihan dalam catatan perjalananku
Bandung, 20 Agustus
2012
No comments:
Post a Comment