Sunday, 19 August 2012

ADA LASTRI YANG MENUNGGUKU DI JOGJA




Kukenal ia saat aku akan naik Trans Jogja di Halte Malioboro 2. Wajahnya yang ayu dan senyumnya yang cantik khas Putri Jawa. Saat itu ia menjadi petugas tiket sekaligus pemberi informasi bagi-bagi turis-turis yang akan berwisata menggunakan Trans Jogja.

Aku belum pernah naik Trans Jogja sebelumnya. Kesempatan mengunjungi Jogja kali ini kugunakan untuk mencoba bus yang satu ini. Kata orang-orang, ini adalah angkutan alternatif untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di Jogja. Dengan harga yang relatif murah, kita bisa sampai di tempat wisata tanpa perlu bingung lagi memikirkan angkutan.


Lastri adalah petugas tiket di Halte Malioboro 2. Namanya pertama kali kuketahui dari seragam yang dikenakannya. Aku pun refleks bertanya kepadanya (mungkin juga siasat agar aku bisa berbicang dengannya).

“Mbak, kalau ke Prambanan naik rute yang mana ya?” tanyaku.

Lastri tersenyum sebelum memulai penjelasannya. Aku mendengar ucapannya yang lembut dan sinar matanya yang bercahaya membuatku takjub, ternyata masih ada perempuan yang memiliki mata yang bercahaya.

“Mas naik jalur 1A saja. Nanti turun di halte terakhir ya Mas,” ucapnya lembut.

Aku ingin bertanya hal-hal lain tentang rute bus ini, namun Lastri sudah melemparkan senyum manisnya ke calon penumpang lain. Memberi tiket dan menjelaskan informasi kepada turis-turis yang bertanya rute. Aku hanya bisa mengingat senyumnya yang manis dan sesekali mencuri pandang ke arahnya. Lastri.... gumamku. L-A-S-T-R-I. Nama yang indah, seindah orangnya.

Tak lama kemudian Trans Joga rute 1A tiba. Orang-orang sabar mengantre untuk masuk ke dalam. Petugas mengatur jalannya penumpang yang turun dari bus kemudian mempersilakan penumpang lain untuk masuk ke dalam bus. Sebelum masuk ke bus, aku sempatkan melihat Lastri. Wajahnya lembut, putih, dan teduh. Bibirnya yang tipis dan basah. Dan yang paling aku suka ialah sinar matanya yang bercahaya dan menari-nari.

Bus pun melaju meninggalkan Malioboro yang penuh dengan kenangan baru.

***
Sudah dua hari aku mengitari kota Jogja. Kata orang, Jogja adalah kota romantis dalam balutan keantikan dan kebersahajaan. Setiap jengkal jalan yang dilewati adalah kenangan. Setiap orang-orang dengan senyum keramahan adalah kenangan. Setiap bangunan tua yang masih kokoh berdiri adalah kenangan. Tidak heran jika banyak orang yang ingin kembali ke kota ini.

Aku menyusuri trotoar sepanjang Malioboro. Malam-malam yang romantik kuhabiskan dengan mengelilingi Malioboro. Pedagang oleh-oleh sudah banyak yang menutup dagangannya. Ada pula yang masih bertahan dengan harapan masih banya turis yang berlalu lalang mengabadikan keindahan malam di Jogjakarta.

Aku teringat Lastri, pasti ia pun sudah bersiap untuk pulang. Semenjak pertemuan pertama tempo hari, aku jadi sering naik Trans Jogja. Lastri pun semakin sering menyapa kedatanganku. Dengan senyumnya yang khas, ia memberikan tiket masuk setelah kubayar dengan tiga lembar uang seribuan.

“Hari ini, mau kemana Mas?” tanyanya ramah.

Lalu aku pun bertanya banyak kepadanya. Kebetulan, tidak banyak penumpang yang mengantre sehingga aku pun leluasa bertanya tentang rute Trans Jogja kepadanya. Ia pun antusias memberikan informasi mengenai rute-rute bus yang dapat digunakan untuk menuju ke tempat-tempat wisata. Aku pun menjadi lebih tahu tentang rute Trans Jogja, namun yang lebih penting adalah aku bisa berbincang banyak dengan Lastri.
Di depan halte Malioboro 2, aku menyeberang untuk mencari angkringan yang banyak mangkal di sekitaran halteu. Halte sudah sepi, tidak ada siapa-siapa di sana. Pasti Lastri sudah pulang, pikirku. Lagi-lagi Lastri yang kuingat di memoriku.

Melewati parkiran motor yang mulai sepi, kutangkap sosok yang membuatku kaget sekaligus bahagia. Lastri ada di situ, memakai jaket dan bersiap-siap untuk pulang. Kontan kupanggil ia.

“Hai!”

Lastri pun menoleh dan tersenyum ketika tahu bahwa aku yang memanggilnya.

“Pulang?” tanyaku.

“Iya Mas. Mas sendiri mau kemana?”

“Aku mau cari makan,” jawabku sambil menjabat tangannya.

Hening. Aku tidak pernah berhasil membangun pembicaraan yang hangat dengan seorang perempuan yang baru kukenal. Namun, Lastri sangat berbeda. Dalam setiap perjalananku, baru kali ini aku menyukai seorang wanita.

“Sendiri saja?” tanyaku memecah kesunyian.

Lastri tersenyum, mungkin ia mengerti maksud dari pertanyaanku.

“Mas sendiri sendiri saja?” ia balik bertanya padaku. Mati aku!

“Ah, aku cuma bawa diri saja ke Jogja ini, selebihnya ransel, uang, dan keberanian.”

Lastri pun tertawa mendengar jawabanku. Dengan sedikit keberanian, kuajak ia makan di angkringan. Tanpa diduga sebelumnya,Lastri pun menyetujui usulku karena memang ia pun berasa lapar.

Begitulah, pembicaraan pun mulai menghangat di angkringan. Ia pun mengenalkan dirinya meski sebelumnya aku sudah tahu namanya. Ia berasal dari Purworejo dan mengontrak rumah di daerah Sleman. Menjadi petugas tiket Trans Jogja sudah setahun lamanya. Dan ia pun menikmati profesinya tersebut.

“Tau gak Mas, aku jadi bisa bahasa Inggris sedikit-sedikit. Gara-gara aku sering menjelaskan rute kepada turis-turis asing. Mosok iya aku menjelaskan dengan bahasa Jawa ke mereka?” ujarnya dengan logat Jawa yang kental.

“Lho, siapa tahu diantara mereka keturunan Londo yang pernah ke sini dulu,” jawabku.

Kami pun tertawa menghangatkan malam di Malioboro. Perbincangan pun semakin menghangat, segelas teh poci ternyata belum cukup menemani pembicaraan kita. Meskipun malam semakin betambah malam, kami belum mau beranjak dari tempat itu.

“Mas sendiri kerjanya apa?”

“Aku seorang petualang, Lastri. Hidupku kuhabiskan dengan mengunjungi satu tempat ke tempat lainnya. Dan kali ini aku sedang singgah di Jogja untuk kemudian kulanjutkan ke Solo, Wonogiri, Magetan, dan kota-kota di Jawa Timur.”

“Berarti mas seorang backpacker ya? Terus, darimana mas dapat uang?”

“Haha, aku tidak pernah berpikir tentang uang, Lastri. Dalam setiap perjalananku, aku hanya berpikir ‘aku ingin pergi ke tempat yang lebih jauh dari ini’. Mengunjungi daerah yang belum pernah dikunjungi orang, lalu menuliskan setiap perjalananku dan mengirimnya ke majalah. Dari sana aku dapatkan uang. Kadang aku bekerja di setiap kota yang kudatangi, menjadi apa saja. Itulah pekerjaannku sehari-hari.”

Lastri terdiam. Mungkin dalam pikirannya belum pernah ia temui turis yang sepertiku. Menjalani hidup dengan mengalir dan berjalan. Menggantungkan hidup benar-benar pada alam. “Kenapa terdiam?” tanyaku.
“Gak apa-apa mas. Baru kali ini aku bertemu dengan turis seperti Mas. Biasanya orang-orang berwisata karena memang ingin berlibur,” ujar Lastri.

“Aku juga menganggap kehidupanku adalah sebuah liburan. Makanya sepanjang hidupku hanya kugunakan dengan liburan dan petualangan. Ini adalah petualangan yang mengasyikkan bagiku Lastri.”

Lastri menyeruput teh pocinya. Kupandangi wajahnya yang sendu oleh lampu remang di angkringan. Malam di Jogja, malam di Malioboro. Adakah yang lebih indah selain itu?

“Jogja itu indah ya Lastri?”

Lastri tersenyum. Lagi-lagi senyumnya memabukkan mataku.

“Sudah setahun aku di sini. Menghadapi kehidupan di Jogja, bertemu dengan turis-turis dan orang-orang dari berbagai daerah. Aku belajar banyak dari mereka. Dari dulu aku memang suka kota ini. Banyak kenangan yang kuingat di Jogja.”

“Kenanganmu rupanya bertambah satu, yakni makan di angkringan malam-malam dengan seorang petualang kumal,” candaku.

Kami tertawa, menikmati malam yang syahdu. Setelah membayar ini itu kami berpisah. Lastri pulang ke kontrakannya, dan aku ke penginapan. Kami pun bersalaman.

“Mas, besok mau berpetualang ke mana?” tanyanya.

“Yang jelas aku akan memulai petualanganku dari Halte Malioboro 2,” jawabku.

Kami kembali tertawa. Merasakan hangatnya pertemuan yang kelak akan menjadi kenangan. Esoknya, kami kembali bertemu dan terus mengulang pertemuan itu setiap malam seusai ia bekerja. Malam yang indah selalu kita lewati dengan sebuah perbincangan hangat.

Aku adalah seorang petualang kumal. Tidak punya rumah. Mengunjungi satu kota ke kota lainnya dengan harapan mencari tujuan dari kehidupan. Yang kubutuhkan hanya cinta yang kelak akan kutemui di setiap petualanganku. Aku tidak pernah menemui cinta seutuhnya. Tapi pertemuan dengan Lastri membuatku sadar bahwa cinta bukanlah sesuatu hal yang mesti dicari. Ia akan datang dengan sendirinya.

Setiap pertemuan memang berujung pada perpisahan. Rencana mengunjungi Jogja yang hanya seminggu, molor hingga beberapa minggu. Lastrilah yang membuat perjalanan ke Jogja menjadi mengesankan. Mau tidak mau, aku harus melanjutkan petualanganku untuk bisa hidup.

“Aku akan kembali ke Jogja dan bertemu kamu Lastri. Itu pasti,” kataku.

“Aku tunggu itu Mas. Aku akan selalu menunggumu di Jogja,” jawabnya sebelum kami berpisah.

***
Aku adalah petualang. Setiap daerah yang kukunjungi, aku selalu menulis kisah petualanganku. Mencatat apa yang kutemui, kulihat, kudengar, dan kurasakan. Pertemuan, perpisahan, cinta, makanan, dan apapun yang menarik untuk kutulis.

Terkadang, aku menulis kesepian yang kurasakan di daerah yang kukunjungi. Di kota lain justru aku menulis ingar bingar dan kehangatan yang kudapatkan di kota. Akan tetapi, aku belum pernah menulis kesedihan, karena bagiku petualang bukanlah untuk mencari kesedihan.

Stasiun Tugu di depan mata. Sudah setahun lebih aku tidak mengunjungi Jogja lagi. Banyak kenangan yang takterlupakan di kota ini, termasuk bayangan Lastri. Bagaimana kabarnya kini? Apakah senyumnya masih bisa ditemui di halte Malioboro 2?

Setelah menemukan penginapan di sekitar Sosrowijayan, aku pun mandi dan bersiap menjelajahi kembali kenangan yang tersimpan setahun yang lalu. Semoga Lastri masih ada di halte itu, pikirku. Tentu alangkah bahagianya ia ketika melihat aku kembali menginjakkan kaki di halte Malioboro 2.

Di halte Malioboro 2 aku mencari Lastri. Namun, petugas tiket di sana ternyata bukan Lastri. Kemanakah ia? Di halte manakah ia kini bertugas? Aku mencoba bertanya pada petugas tiket.

“Mbak, kenal Lastri?” tanyaku.

“Lastri?”

“Iya, Lastri yang dulu petugas tiket di sini.”

“Maaf mas, saya pegawai baru jadi saya tidak kenal Lastri,” jawaban yang membuatku kecewa.

Aku harus mencari kemana ia? Kuputuskan untuk mencarinya di setiap halte Trans Jogja. Setiap rute kunaiki hanya untuk mencari keberadaannya. Dari halte Jombor hingga Prambanan aku mencari Lastri. Akh, Lastri dimanakah kamu kini?

Suatu senja, hujan bermain di cakrawala kelabu. Pada sebuah halte di kawasan Kridosono, aku berteduh sembari menunggu Trans Jogja rute 2A lewat. Iseng-iseng kutanyakan perihal Lastri kepada petugas tiket di halte itu.

“Lastri? Lastri yang dulu di halte Malioboro? Hmm...,” ucap petugas itu.

Hening, petugas itu seakan mengingat sesuatu. Sorot matanya berubah menjadi kesedihan. Aku paham maksudnya. Bahkan, ketika petugas itu berkata soal kematian Lastri 3 bulan yang lalu, aku sudah bisa mengira sebelumnya. Mungkin inilah saatnya aku menulis kesedihan dalam catatan perjalananku



Bandung, 20 Agustus 2012



No comments:

Post a Comment