Sunday, 19 August 2012

Dua Bibir




Barangkali memang inilah caraku untuk mendapatkan hangat bibirnya. Dengan langsung mencium bibirnya tanpa ada prosesi permohonan izin apa pun yang sangat rumit. Aku tak mau harus menunggu sampai waktu yang entah kapan selesainya hanya untuk mendapatkan lembut bibirnya. Bagiku, tak peduli bagaimana caranya, bagaimana situasinya, bagaimana proses mendapatnya, aku akhirnya bisa mendapatkan hangat bibir miliknya. Hanya mencium saja. Tidak lainnya. Karena aku lebih suka ciuman yang sederhana dan masih dipayungi oleh cinta. Jika ciumanku itu tak lagi dipayungi oleh cinta, aku tak lagi bisa membayangkan betapa susahnya aku harus mencium bibir orang.

Dalam ciumanku itu padanya, kurasakan ia pun merasakan hal yang sama denganku. Kurasakan ada cinta di sela-sela bibirku dan bibirnya. Entah sedikit, entah banyak. Kami berciuman tak lebih dari sekadar ciuman. Hanya berciuman saja. Tak lebih dari itu. Mengapa orang-orang berpandangan bahwa berciuman itu merupakan sesuatu yang terkesan vulgar? Itu karena pikiran mereka teramat pendek. Mereka hanya terpaku pada statement bahwa orang tak boleh berciuman hangat sebelum waktunya memiliki pendamping hidupnya. Aku mendobrak statement itu. Aku lebih senang jika berciuman itu dilakukan sekarang-sekarang. Sebab, boleh jadi, aku tak pernah merasakan lagi nikmatnya berciuman itu nanti ketika aku telah menikah. Memang, setelah menikah kita bebas untuk melakukan hal apa saja, tetapi tak ada yang lebih indah bagiku selain merasakan hangatnya ciuman dengan kekasihku saat ini. Hanya sekadar untuk melepas penat dunia saja. Dan sisanya karena aku ingin melumuri bibirnya yang kering dengan air cintaku.


Mungkin, kami memang ditakdirkan untuk dapat berciuman saat ini. Itu karena kami masih ditakdirkan memiliki bibir yang kering dan masing-masing bibir itu ingin adanya suatu kehangatan yang tak bisa didapatkan dari apa pun yang bisa menghangatkan sifatnya. Bibir-bibir ini ingin dicium, dihangatkan dengan nafas kerinduan sehingga jiwa yang kesepian ini kembali lagi ceria seperti dulu. Bukan hanya mengecup kening, pipi, tangan, atau yang lainnya tapi bibir ingin mengecup bibir lainnya. Dan saat ini aku ingin sekali mencium bibir kekasihku. Barangkali, ciuman bibirku padanya itu bisa menjadikan sebuah kenangan yang tak akan pernah terhapus oleh waktu dan perubahan zaman yang selalu saja menghapus setiap kenangan yang tak pernah dibuka oleh pemiliknya. Kenangan yang mungkin bisa jadi penguatku dan dirinya ketika kami telah terpisah oleh jarak, waktu, dan kesedihan sehingga di mana saja, entah siang, senja, malam, pagi, siang, senja, lalu malam lagi. Di mana saja, di dalam kamar, kantor, gunung, laut, danau yang sunyi, aku bisa mengenang ciuman indah itu dan mungkin akan tumbuh kembali perasaan cinta yang dulu padanya.

Kali ini, ketika aku ingin mencium bibirnya yang lembut dan merah menyala semerah bunga mawar yang termerah, bahkan lebih merah dari mentari senja yang selalu menyinari jalanan yang sepi ia memeluk diriku sangat erat hingga tak ada lagi jarak antara aku dengannya. Ia bersandar di bahuku menikmati kehangatanku dan aku juga menikmati kehangatan dan kelembutan tubuhnya karena memang malam ini sedingin batu es yang ada di dalam sebuah kulkas. Ia memandang padaku dengan tatapannya yang penuh cinta. “Aku sayang padamu,” katanya sambil tak lepas memandang wajahku dan membelai pipiku. Hasrat ingin menciumnya sangatlah di dalam hatiku sehingga perlahan-lahan kusentuh bibirnya itu dengan bibirku. Sangat pelan, karena aku ingin ia merasakan apa yang kurasa sekarang.

Kucium bibirnya dan kami pun berciuman entah berapa lama. Yang jelas ada kehangatan yang sangat menjalar ke tubuh kami berdua. Ia memejamkan matanya dan menikmati apa yang sedang kami nikmati bersama. “Jangan hentikan,” katanya. “Tidak akan, entah sampai kapan aku akan menciumimu,” jawabku. Kami berciuman di sebuah ruang tanpa batas tanpa cahaya tanpa sekat waktu yang bisa menegurku. Tidak ada orang lain di sana, hanya berdua. Berdua saja.

“Ada rasa kerinduan yang mendalam ketika suatu hari nanti aku tak bisa lagi berciuman dengamu,” katanya padaku setelah kami berciuman. Entah apa maksud dari perkataannya itu, yang jelas setelah aku berciuman dengannya ia hilang bersama hilangnya merah senja yang seperti bibirnya yang memerahkan jalanan ini. Ia hilang entah ke mana.

Akh, belum sempat aku berkata padanya –tapi tidak apa-apa, ciumanku itu bisa berarti kata-kata cinta padanya.

***
“Izinkan aku berkata tentang cinta,” katanya padaku sehabis berciuman. Memang cinta sangat gampang diucapkan, namun tak pernah ada yang berkata tentang cinta yang sesungguhnya. Memang mudah dimengerti, tetapi sulit untuk dipahami dengan sungguh-sungguh. Itulah yang menyebabkan sangat sedikit orang yang mencintai secara sejati. “Sangat mudah mendapatkan cinta, tetapi sangat sulit mencari cinta yang cocok dengan hati kita,” katanya seperti menangkap pikiranku.

Kami memandang langit malam berdua saja. Memang dingin udara pada malam. Namun kami tetap saja hangat karena ciuman kami barusan mampu menghangatkan jiwa yang kesepian sampai malam tergantikan oleh pagi. Memandang langit yang gelap tak ada bulan tak ada bintang yang ada hanya kegelapan, namun bagi kami berdua tak menjadi masalah. Bagi kami malam tetaplah gelap meskipun disinari oleh bintang dan bulan. Kegelapan tetaplah kegelapan, tak pernah bisa berubah menjadi terang. Kecuali atas seizin-Nya. Di tengah kegelapan itu, aku memandang wajah kekasihku dengan penuh sayang. Ia pun melakukan hal yang sama padaku, memandang dengan penuh cinta. Namun kali ini aku menangkap sebuah sinar yang aneh dari pancaran matanya. Seberkas sinar yang sangat mengganggu pikiranku. Aku menangkap hal seakan-akan aku takakan pernah bisa melihatnya lagi di kemudian hari. Entah benar entah hanya ketakutanku saja. Yang jelas pikiran itu menguasai pikiranku.

***
“Aku harus pergi sekarang. Maaf jika aku harus meninggalkanmu selama beberapa lama,” katanya padaku.

“Pergi ke mana?”

“Entahlah, pergi tanpa tujuan memang mengasyikkan bagiku. Dan sekarang aku akan melakukannya.”

“Sangat aneh, pergi tanpa tujuan bu...”

“Memang aneh, tetapi aku sangat menyukainya. Bukankah kau juga menciumku kadang tanpa tujuan yang pasti?” ia memotong pembicaraanku.

“Dan kepergianmu itu tanpaku?”

“Aku takbisa mengajakmu karena aku ingin menikmatinya sendiri.”

Aku takbisa memaksanya untuk tidak pergi dariku. Ia memang begitu, jika ada keinginan ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginannya meski banyak halangan. Ia memelukku dengan erat seakan-akan ia menenangkan pikiranku yang kacau karena rencananya itu. Hangat terasa tubuhnya menempel di tubuhku. Pelukan yang mungkin takakan pernah kurasakan lagi setelah ia pergi. Ingin aku menciumnya sekali lagi, tetapi tak kulakukan hal itu. Aku malu untuk mengulangi ciuman itu. Aku tak ingin cintaku rusak hanya karena aku menciumnya dua kali. Kami diam tanpa kata. Tanpa suara. Tanpa desah. Tanpa gerak. Hanya diam saja. Berpikir tentang pikiran kami masing-masing.

“Kapan kau kembali lagi padaku?” tanyaku.

“Jika waktu memang menakdirkan kita bertemu, kita pasti bertemu. Tunggulah aku di sini selama kau mampu untuk menungguku. Jika kau percaya padaku, maka aku akan kembali padamu meski dalam jangka waktu yang tak ditentukan,” katanya dengan air mata mengalir di pipinya.

Kuusap air matanya dengan tanganku. Ia mencium bibirku dengan hangat. Hanya ciuman saja. Ciuman perpisahan. Ciuman yang penuh kenangan dan barangkali penuh luka.   

***
Di jalanan yang memerah karena sinar mentari senja ini. Aku menanti kedatangannya, tanpa suara, tanpa gerak yang menggerakkan otot-ototku yang mungkin saja telah kaku. Ia tak kunjung datang pasca ciuman itu. Entah ke mana kekasihku itu hilangnya. Mungkin karena ia dilahirkan dari mimpiku maka ia bebas untuk pergi ke mana pun ia suka. Tapi bukan berarti ia bebas pergi ke mana pun ia suka tanpa pamit padaku. Ia tidak tahu aku mulai bosan untuk menantinya, untuk menunggu hangat bibirnya. Ia tak tahu bibirku kering ketika aku terpaksa harus berciuman dengan bayangannya karena rasa rindu yang teramat sangat padanya. Aku tak mungkin terus menerus bercumbu dengan bayang-bayang dirinya.

Senja pun perlahan-lahan meninggalkanku hingga kegelapan malam datang. Malam semakin tua, namun aku tetap di sana menanti kedatangannya. Malam beranjak menghilang diganti oleh fajar pagi yang kembali mencerahkan jalanan ini dan aku masih tetap di sana. Sampai senja kembali muncul pun aku masih menunggu ia di sana. Begitulah aku menanti dia, dari hari berubah menjadi minggu berubah lagi menjadi bulan, tahun, dekade dan berabad-abad.

“Sampai mati aku akan menantinya,” kataku entah pada siapa. Mungkin bicara sendiri memang gila. Tapi jika memang itu yang terbaik untukku. Berbicara sendiri menjadi sebuah kenikmatan tersendiri bagiku saat ini.

Sampai daun berguguran lalu tumbuh lagi gugur lagi tumbuh lagi gugur lagi, aku masih di sana. Di jalan tempat aku bertemu dengan kekasihku yang dulu pernah aku cium bibirnya.

“Sampai mati aku mencintainya, sampai mati aku mencintainya,” kataku entah sampai kapan kuucapkan.

Malam gelap kembali menyelimutiku.





















Jakarta, 03 Juli 2008, 20.56
  

No comments:

Post a Comment