Barangkali memang inilah caraku
untuk mendapatkan hangat bibirnya. Dengan langsung mencium bibirnya tanpa ada
prosesi permohonan izin apa pun yang sangat rumit. Aku tak mau harus menunggu
sampai waktu yang entah kapan selesainya hanya untuk mendapatkan lembut
bibirnya. Bagiku, tak peduli bagaimana caranya, bagaimana situasinya, bagaimana
proses mendapatnya, aku akhirnya bisa mendapatkan hangat bibir miliknya. Hanya
mencium saja. Tidak lainnya. Karena aku lebih suka ciuman yang sederhana dan
masih dipayungi oleh cinta. Jika ciumanku itu tak lagi dipayungi oleh cinta,
aku tak lagi bisa membayangkan betapa susahnya aku harus mencium bibir orang.
Dalam ciumanku itu padanya,
kurasakan ia pun merasakan hal yang sama denganku. Kurasakan ada cinta di sela-sela
bibirku dan bibirnya. Entah sedikit, entah banyak. Kami berciuman tak lebih
dari sekadar ciuman. Hanya berciuman saja. Tak lebih dari itu. Mengapa
orang-orang berpandangan bahwa berciuman itu merupakan sesuatu yang terkesan
vulgar? Itu karena pikiran mereka teramat pendek. Mereka hanya terpaku pada statement bahwa orang tak boleh
berciuman hangat sebelum waktunya memiliki pendamping hidupnya. Aku mendobrak
statement itu. Aku lebih senang jika berciuman itu dilakukan sekarang-sekarang.
Sebab, boleh jadi, aku tak pernah merasakan lagi nikmatnya berciuman itu nanti
ketika aku telah menikah. Memang, setelah menikah kita bebas untuk melakukan
hal apa saja, tetapi tak ada yang lebih indah bagiku selain merasakan hangatnya
ciuman dengan kekasihku saat ini. Hanya sekadar untuk melepas penat dunia saja.
Dan sisanya karena aku ingin melumuri bibirnya yang kering dengan air cintaku.
Mungkin, kami memang ditakdirkan
untuk dapat berciuman saat ini. Itu karena kami masih ditakdirkan memiliki
bibir yang kering dan masing-masing bibir itu ingin adanya suatu kehangatan
yang tak bisa didapatkan dari apa pun yang bisa menghangatkan sifatnya.
Bibir-bibir ini ingin dicium, dihangatkan dengan nafas kerinduan sehingga jiwa
yang kesepian ini kembali lagi ceria seperti dulu. Bukan hanya mengecup kening,
pipi, tangan, atau yang lainnya tapi bibir ingin mengecup bibir lainnya. Dan
saat ini aku ingin sekali mencium bibir kekasihku. Barangkali, ciuman bibirku
padanya itu bisa menjadikan sebuah kenangan yang tak akan pernah terhapus oleh
waktu dan perubahan zaman yang selalu saja menghapus setiap kenangan yang tak
pernah dibuka oleh pemiliknya. Kenangan yang mungkin bisa jadi penguatku dan
dirinya ketika kami telah terpisah oleh jarak, waktu, dan kesedihan sehingga di
mana saja, entah siang, senja, malam, pagi, siang, senja, lalu malam lagi. Di
mana saja, di dalam kamar, kantor, gunung, laut, danau yang sunyi, aku bisa
mengenang ciuman indah itu dan mungkin akan tumbuh kembali perasaan cinta yang
dulu padanya.
Kali ini, ketika aku ingin mencium
bibirnya yang lembut dan merah menyala semerah bunga mawar yang termerah,
bahkan lebih merah dari mentari senja yang selalu menyinari jalanan yang sepi
ia memeluk diriku sangat erat hingga tak ada lagi jarak antara aku dengannya.
Ia bersandar di bahuku menikmati kehangatanku dan aku juga menikmati kehangatan
dan kelembutan tubuhnya karena memang malam ini sedingin batu es yang ada di
dalam sebuah kulkas. Ia memandang padaku dengan tatapannya yang penuh cinta.
“Aku sayang padamu,” katanya sambil tak lepas memandang wajahku dan membelai
pipiku. Hasrat ingin menciumnya sangatlah di dalam hatiku sehingga
perlahan-lahan kusentuh bibirnya itu dengan bibirku. Sangat pelan, karena aku
ingin ia merasakan apa yang kurasa sekarang.
Kucium bibirnya dan kami pun
berciuman entah berapa lama. Yang jelas ada kehangatan yang sangat menjalar ke
tubuh kami berdua. Ia memejamkan matanya dan menikmati apa yang sedang kami
nikmati bersama. “Jangan hentikan,” katanya. “Tidak akan, entah sampai kapan
aku akan menciumimu,” jawabku. Kami berciuman di sebuah ruang tanpa batas tanpa
cahaya tanpa sekat waktu yang bisa menegurku. Tidak ada orang lain di sana,
hanya berdua. Berdua saja.
“Ada rasa kerinduan yang mendalam
ketika suatu hari nanti aku tak bisa lagi berciuman dengamu,” katanya padaku
setelah kami berciuman. Entah apa maksud dari perkataannya itu, yang jelas
setelah aku berciuman dengannya ia hilang bersama hilangnya merah senja yang
seperti bibirnya yang memerahkan jalanan ini. Ia hilang entah ke mana.
Akh, belum sempat aku berkata
padanya –tapi tidak apa-apa, ciumanku itu bisa berarti kata-kata cinta padanya.
***
“Izinkan aku berkata tentang
cinta,” katanya padaku sehabis berciuman. Memang cinta sangat gampang
diucapkan, namun tak pernah ada yang berkata tentang cinta yang sesungguhnya.
Memang mudah dimengerti, tetapi sulit untuk dipahami dengan sungguh-sungguh.
Itulah yang menyebabkan sangat sedikit orang yang mencintai secara sejati.
“Sangat mudah mendapatkan cinta, tetapi sangat sulit mencari cinta yang cocok dengan
hati kita,” katanya seperti menangkap pikiranku.
Kami memandang langit malam berdua
saja. Memang dingin udara pada malam. Namun kami tetap saja hangat karena
ciuman kami barusan mampu menghangatkan jiwa yang kesepian sampai malam
tergantikan oleh pagi. Memandang langit yang gelap tak ada bulan tak ada
bintang yang ada hanya kegelapan, namun bagi kami berdua tak menjadi masalah.
Bagi kami malam tetaplah gelap meskipun disinari oleh bintang dan bulan.
Kegelapan tetaplah kegelapan, tak pernah bisa berubah menjadi terang. Kecuali
atas seizin-Nya. Di tengah kegelapan itu, aku memandang wajah kekasihku dengan
penuh sayang. Ia pun melakukan hal yang sama padaku, memandang dengan penuh
cinta. Namun kali ini aku menangkap sebuah sinar yang aneh dari pancaran
matanya. Seberkas sinar yang sangat mengganggu pikiranku. Aku menangkap hal
seakan-akan aku takakan pernah bisa melihatnya lagi di kemudian hari. Entah
benar entah hanya ketakutanku saja. Yang jelas pikiran itu menguasai pikiranku.
***
“Aku harus pergi sekarang. Maaf
jika aku harus meninggalkanmu selama beberapa lama,” katanya padaku.
“Pergi ke mana?”
“Entahlah, pergi tanpa tujuan
memang mengasyikkan bagiku. Dan sekarang aku akan melakukannya.”
“Sangat aneh, pergi tanpa tujuan
bu...”
“Memang aneh, tetapi aku sangat menyukainya.
Bukankah kau juga menciumku kadang tanpa tujuan yang pasti?” ia memotong
pembicaraanku.
“Dan kepergianmu itu tanpaku?”
“Aku takbisa mengajakmu karena aku
ingin menikmatinya sendiri.”
Aku takbisa memaksanya untuk tidak
pergi dariku. Ia memang begitu, jika ada keinginan ia akan berusaha untuk
mengabulkan keinginannya meski banyak halangan. Ia memelukku dengan erat
seakan-akan ia menenangkan pikiranku yang kacau karena rencananya itu. Hangat
terasa tubuhnya menempel di tubuhku. Pelukan yang mungkin takakan pernah
kurasakan lagi setelah ia pergi. Ingin aku menciumnya sekali lagi, tetapi tak
kulakukan hal itu. Aku malu untuk mengulangi ciuman itu. Aku tak ingin cintaku
rusak hanya karena aku menciumnya dua kali. Kami diam tanpa kata. Tanpa suara. Tanpa
desah. Tanpa gerak. Hanya diam saja. Berpikir tentang pikiran kami
masing-masing.
“Kapan kau kembali lagi padaku?”
tanyaku.
“Jika waktu memang menakdirkan
kita bertemu, kita pasti bertemu. Tunggulah aku di sini selama kau mampu untuk
menungguku. Jika kau percaya padaku, maka aku akan kembali padamu meski dalam
jangka waktu yang tak ditentukan,” katanya dengan air mata mengalir di pipinya.
Kuusap air matanya dengan
tanganku. Ia mencium bibirku dengan hangat. Hanya ciuman saja. Ciuman
perpisahan. Ciuman yang penuh kenangan dan barangkali penuh luka.
***
Di jalanan yang memerah karena
sinar mentari senja ini. Aku menanti kedatangannya, tanpa suara, tanpa gerak
yang menggerakkan otot-ototku yang mungkin saja telah kaku. Ia tak kunjung
datang pasca ciuman itu. Entah ke mana kekasihku itu hilangnya. Mungkin karena
ia dilahirkan dari mimpiku maka ia bebas untuk pergi ke mana pun ia suka. Tapi
bukan berarti ia bebas pergi ke mana pun ia suka tanpa pamit padaku. Ia tidak
tahu aku mulai bosan untuk menantinya, untuk menunggu hangat bibirnya. Ia tak
tahu bibirku kering ketika aku terpaksa harus berciuman dengan bayangannya
karena rasa rindu yang teramat sangat padanya. Aku tak mungkin terus menerus
bercumbu dengan bayang-bayang dirinya.
Senja pun perlahan-lahan meninggalkanku
hingga kegelapan malam datang. Malam semakin tua, namun aku tetap di sana
menanti kedatangannya. Malam beranjak menghilang diganti oleh fajar pagi yang
kembali mencerahkan jalanan ini dan aku masih tetap di sana. Sampai senja
kembali muncul pun aku masih menunggu ia di sana. Begitulah aku menanti dia,
dari hari berubah menjadi minggu berubah lagi menjadi bulan, tahun, dekade dan
berabad-abad.
“Sampai mati aku akan menantinya,”
kataku entah pada siapa. Mungkin bicara sendiri memang gila. Tapi jika memang
itu yang terbaik untukku. Berbicara sendiri menjadi sebuah kenikmatan
tersendiri bagiku saat ini.
Sampai daun berguguran lalu tumbuh
lagi gugur lagi tumbuh lagi gugur lagi, aku masih di sana. Di jalan tempat aku
bertemu dengan kekasihku yang dulu pernah aku cium bibirnya.
“Sampai mati aku mencintainya,
sampai mati aku mencintainya,” kataku entah sampai kapan kuucapkan.
Malam gelap kembali menyelimutiku.
Jakarta, 03 Juli 2008, 20.56
No comments:
Post a Comment