Pada suatu malam sepasang
suami istri bertengkar hebat satu sama lain.
“Kau sudah berubah. Kau
tidak pernah cinta padaku. Apa kau kira pernikahan itu hanyalah sebuah
permainan belaka?” ucap istrinya dengan air mata yang deras.
“Bukannya kau yang tidak
cinta padaku? dari dulu kau selalu mementingkan urusan kerjamu. Apa uangku
takcukup buat membiayai hidupmu? Aku kerja dari pagi sampai malam hanya untuk
menghidupimu. Kalau bukan karena cinta, karena apalagi aku melakukan itu semua
untukmu?”
“Tetapi kau tidak pernah
peduli denganku!”
“Peduli apa? Kau yang tidak
pernah peduli padaku!”
“Kau yang tidak peduli!”
“Kau!”
“Kau!”
Malam semakin tua. Sisa-sisa
air hujan menggenang di halaman. Tetesan air yang jatuh dari talang begitu
menggema di hati mereka. Tetapi mereka tidak peduli. Siapa yang peduli dengan
semesta jika hatinya sedang dikuasai amarah? Mereka tidak peduli betapa malam
sehabis hujan begitu segar meski suasana ini mengingatkan mereka akan kisah
cintanya kemarin-kemarin.
“Hmm…Dingin ya malam ini?”
tanya istrinya tempo hari dengan manja.
“Barangkali tengah malam
hujan akan turun lagi sayang,” kata suaminya.
“Aku ingin berada di sisimu
selalu. Dingin.”
Suaminya mendesah pelan.
“Kau tahu aku harus bekerja
sekarang. Mana bisa aku temanimu sayang?”
Ia tahu bahwa istrinya
kecewa. Tetapi mau bagaimana lagi?
“Apa tidak bisa kau ganti
jadwal menjadi siang? Kau takpernah tahu aku selalu kesepian sepanjang malam,”
protes istrinya lembut.
“Aku juga kesepian sayang sepanjang siang.”
Hening, mereka larut dalam
pikiran masing-masing. Mereka tidak tahu bagaimana harus mengatur pertemuan
agar pertemuan yang sangat singkat itu dapat menjadi sebuah kenangan yang
indah. Sayang, waktu hanya duapuluhempat jam saja bagi mereka. Tidak bisa
ditambah. Malam yang begitu indah untuk bercinta sangat jarang sekali mereka
dapati meski kadangkala mereka ada saat malam tiba.
“Kau tahu! Aku tidak pernah
bahagia dengan pernikahan ini! Aku tidak pernah bahagia denganmu!” bentak
istrinya.
Suaminya terkejut. Tidak
pernah ia sangka istrinya itu mengalami keterpurukan dalam bahtera rumah
tangganya. Ia tidak pernah mengira betapa istrinya akan berbicara seperti itu
padanya.
“Kalau memang kau tidak
cinta dan bahagia, mengapa tidak kau layangkan saja surat cerai padaku?” balas
suaminya.
Istrinya terdiam. Kaget
juga. Namun amarahnya telah menutupi akal sehatnya. Amarahnya telah menutupi
perasaan cinta yang telah susah payah dibangun. Sambil menahan airmata yang
kunjung keluar, ia berkata:
“Besok, terimalah surat
cerai dariku! Kita cerai!” katanya sambil masuk ke kamar dan menguncinya.
Suaminya terdiam. Menghela
nafas panjang. Dari dalam kamar terdengar istrinya menangis tersedu-sedu. Ia
tahu, ia sendiri pun tidak mau bercerai dengan istrinya tersebut. Namun nasi
telah menjadi bubur, ucapan yang keluar dalam amarah tidak akan pernah terpikir
dahulu. Semua telah terucap dan tidak bisa ditarik kembali. Ia jatuh dalam
sofa, kembali menghela nafas dalam dan berat. Malam semakin tua. Telah ia
luangkan waktu malam ini hanya untuk bersama dengan istrinya tetapi semuanya
kandas. O, mengapa semuanya harus berujung seperti ini?
Ia bangkit dari sofa,
mematikan lampu. Ruangan menjadi gelap. Akh, mengapa aku mematikan lampu?
Pikirnya. Ia hendak menyalakan kembali namun urung dilakukan. Barangkali memang
ia butuh kekelaman untuk mengertikan semua. Dalam remang, cahaya hanya berasal
dari lampu luar yang nyasar masuk ke dalam, ia berpikir dan merenung. Apakah
istrinya memang tidak bahagia dengannya? Apakah ia hanya berpura-pura saja
berkata seperti itu? ataukah memang semuanya berasal dari hati?
Ia tidak pernah tahu. Dalam
keremangan itu, ia berjalan menuju meja makan. Barangkali kopi hitam akan
menjernihkan pikirannya. Namun, matanya taksengaja melihat secangkir kopi hitam
di meja makan. Apakah ini kopi istrinya yang belum sempat diminum? Masih
hangat. Sejenak ia sadar, istrinya tidak menyukai kopi. Lantas untuk siapa kopi
ini? pikirnya.
Diseruputnya sedikit kopi
itu. Hmm… rasanya memang seperti buatan istrinya ketika ia membuatkan kopi
untuknya. Istrinya tahu seleranya dan selera itu ia dapatkan pula pada
secangkir kopi ini. Apakah istrinya sengaja membuatkan kopi ini untuknya?
Ia tersenyum sambil memegang
cangkir.
Bagaimana pun isrinya masih
mencintainya dengan tulus.
***
Setahun setelah
perceraiannya wanita itu selalu kesepian. Ia tidak memungkiri bahwa ia masih
mencintai mantan suaminya itu. Dan kini ia tidak tahu di mana lelaki itu
berada. Ternyata baginya perceraian hanya menambah kesepiannya saja. Tiada
kehangatan cinta lagi dalam malam-malam sehabis hujan ia dapati, seperti
saat-saat dengan suaminya dulu. Meski hanya sebentar, ia begitu menikmatinya.
Wanita itu selalu kesepian
ketika malam menghampirinya. O, haruskah ia cari hiburan di luar sana? Tidak.
Ia seorang wanita yang beradab. Akh, dimanakah mantan suaminya itu berada? Ia
menyesal telah bercerai dengan suaminya itu. O, mengapa penyesalan selalu
datang terlambat? Dimanakah kamu? Biasanya pada malam-malam seperti ini aku
selalu merindukan kedatanganmu menjelang fajar nanti. O, apakah kau masih ingat
padaku? apakah kau masih ingat siapa aku? Tentunya kau belum pikun atau pun
amnesia. Aku yakin kau masih baik-baik saja. Apakah berarti ketika telah
bercerai maka sudahlah tiada kabar satu sama lain? Aku bodoh sayang, padahal
aku masih mencintaimu.
Wanita itu berjalan dalam
keremangan. Tubuhnya yang tipis hanya dibalut dengan gaun malam tipis sehingga
terkesan menggantung. Tubuhnya tidak lagi sekuat dahulu. Semenjak perceraiannya
setahun yang lalu, ia baru tahu jika ia mengidap kanker rahim. Dan bukannya ia
tidak mau untuk sembuh, ia selalu berjuang untuk sembuh namun bayangan mantan
suaminya itu mematahkan semangatnya. Ia selalu terjebak dalam kesepian dan
kesedihan.
Selalu terpikir olehnya
untuk rujuk, namun ia tidak pernah tahu di mana mantan suaminya itu berada. Ia
hilang, bagai ditelan malam. Barangkali ia ada di bulan? O, ia tahu bulan tidak
pernah bisa ditinggali. Lantas dimanakah ia berada?
Tubuhnya semakin lemah.
Kanker telah menggerogoti tubuhnya. Tapi ia ingin melihat mantan suaminya
tersebut agar ia memiliki harapan untuk hidup kembali. Dalam keremangan ruangan
tanpa lampu yang sengaja dimatikan olehnya, beribu-ribu kenangan kini muncul
kembali bahkan menyeruak taklagi menjelma di pikirannya. Kenangan-kenangan itu
keluar dan menjelma dalam kegelapan seakan di hadapannya terpancar televisi
yang menampilkan kenangan-kenangannya. Ia menangis. Airmatanya dingin mengucur
di pipinya yang pucat. Dimanakah kamu? Dimanakah kamu?
Ia tidak bisa bertahan lagi.
Diraihnya telefon genggamnya dan mengetik sebuah pesan yang ia tujukan pada
mantan suaminya tersebut. Sudah sekian kali ia mengirim pesan padanya dan sudah
sekian kali pula pesan tersebut tidak pernah dibalas olehnya. Sudah sekian kali
ia menelefonnnya dan sudah sekian kali juga telefonnya itu diabaikan. O, apakah
kau benci padaku hanya gara-gara perceraian ini? jika telah berpikir seperti
itu, ia ragu-ragu untuk kembali mengirimkan pesan padanya.
Sambil menahan dingin, ia
memencet tombol-tombol. Sejenak ia ragu, apakah maksudnya ini akan dibalas
dengan baik oleh mantan suaminya itu. Ia menjadi urung mengirimkan pesan, namun
kenangan-kenangan itu menjelma kembali menjadi cahaya yang menyinarinya kini
dalam remang. Ia bimbang, mana yang harus ia pilih. Namun, akhirnya dengan
mantap ia memilih untuk rujuk kembali.
Hans, km di mn? Aku kangen kmu,
Temuilah aku, aku ingin rujuk dngnmu. Vivi
Tidak! ia harus mantap. Ia
tidak boleh bimbang. Dipencetnya tombol kirim dan pesan itu dikirim ke
suaminya. Sejenak laporan yang menerangkan bahwa pesannya tersebut telah sampai
membuat ia ragu. Apakah mantan suaminya tersebut akan mengabulkannya?
Ia lemah. Tiada lagi daya
pada malam itu. Nafasnya naik turun. O, kanker keparat ini tidak bisa ditolerir.
Bisakah sebentar saja ia tahan kankernya itu dan bertemu dengan mantan suaminya
tersebut? ia tahu, kankernya itu telah mencapai stadium kritis. Barangkali
waktunya taklagi banyak, namun hasratnya begitu kuat. Ia ingin bertemu
dengannya. Ia ingin memeluknya. Ia ingin dipeluknya. Ia ingin menciumnya. Ia
ingin menangis di bahunya. Ia ingin berjalan-jalan memadu kasih berdua saja. Ia
ingin menyembuhkan penyakitnya dengan keberadaannya di sampingnya. Ia ingin
nonton film berdua dengannya. Ia ingin makan pizza berdua. Ia ingn naik vespa
keliling kota dengannya. O, ia ingin bertemu dengannya. Ia ingin bertemu
dengannya…
Esoknya, wanita itu
terlanjur meninggal karena kanker rahimnya yang sudah parah.
***
Nun jauh dalam gelap malam
sana, seorang lelaki termenung membaca sebuah pesan di hp-nya. Pesan dari
mantan istrinya:
Hans, km di mn? Aku kangen kmu,
Temuilah aku, aku ingin rujuk dngnmu. Vivi
Ia tahu dan sangat tahu,
mantan istrinya itu begitu mencintainya. Namun kekerasan hatinya karena
perceraian melemahkan rasa cinta itu. Kali ini ia takkuasa membaca pesan
tersebut. Ia juga tahu, bahwa ia sangat mencintai mantan istrinya tersebut.
Betapa tidak bisa ia bayangkan, bagaimana kesepian wanita itu tanpanya. Dan ia
juga sadar, bagaimana kesepiannya tanpa kehadian wanita itu di sisinya.
Barangkali cintanya itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Cinta telah
terpatri kuat, sekuat bagaimana ia bekeja membongkar batu-batu nun jauh di
tempat terpencil pada malam buta.
Ia memutuskan besok ia akan
pulang menemui mantan istrinya tersebut. Hatinya telah mantap untuk rujuk
dengannya…
“Apakah ia tahu bahwa mantan
istrinya itu telah meninggal?” tanyamu memotong ceritaku yang belum tuntas
kuceritakan.
“Kau saja yang memberitahunya,”
jawabku singkat.
Bandung, 23
Desember 2009,16.26
No comments:
Post a Comment