Tuesday, 4 September 2012

Kisah Perempuan yang Menunggu di Stasiun Jatinegara


Selalu ada kesedihan, kesepian, dan wanita yang menunggu setiap kali aku berada di stasiun ini. Berjuta kenangan seakan terurai ketika bunyi kereta memasuki stasiun dan orang-orang berdiri menanti kereta yang akan membawanya pulang.

Aku masih tetap dengan lamunanku, menikmati senja yang sendu yang tersembunyi di sela-sela pilar stasiun. Kereta datang dan pergi, membawa manusia mencapai tujuannya. Namun, adakah kereta yang khusus membawa manusia menuju Tujuan Abadi? Kuharap dongeng tentang sebuah kereta senja yang khusus membawa manusia menuju ke Negeri Senja, sebuah negeri dimana senja tidak pernah hilang dan ketika kau berkunjung ke sana kau tidak akan pernah kembali lagi ke tempat asalmu itu benar-benar ada.


Kulihat perempuan itu, sederhana rupanya. Rambutnya hitam panjang tergerai di bahunya. Bajunya baju sederhana. Kemeja putih yang agak pudar dan rok selutut yang entah menjadi trend pada tahun berapa. Wajahnya cantik, namun memancarkan kesedihan. Manis dan sendu.

Setiap kali aku berada di stasiun ini, aku selalu menemukan perempuan itu. Duduk di bangku yang sama dengan tas lusuh dan bungkusan yang dlletakkan di bangku sebelahnya. Barangkali aku mengalami semacam deja vu. Namun, aku yakin, setiap kali melihat perempuan itu, aku selalu berada dalam keadaan yang sadar. Satu hal lagi, mataku tidak pernah berdebu.

Tatapannya kosong, sekosong wajahnya. Ia hanya memandang lurus ke depan dan sekali-kali mengamati kereta yang berhenti di jalur di hadapannya. Seperti berharap menanti seseorang—mungkin kekasih atau suaminya—turun dari kereta tersebut.

Di Jatinegara, banyak orang yang datang mengadu nasib di Jakarta . Bahkan mereka baru datang pertama kali ke Jakarta. Berharap nasib akan mengubah dirinya begitu mereka tiba di Jakarta. Namun, tidak sedikit dari mereka yang diubah secara menyedihkan oleh nasib. Banyak yang menjadi miskin bahkan sengsara di sana. Hidup di Jakarta tidak seindah yang mereka bayangkan. Hidup enak dengan gaji besar dan mobil mewah. Kenyataannya, pekerjaan yang layak pun belum tentu mereka dapatkan.

Begitu halnya dengan perempuan itu. Kukira, ia pun dari desa dilihat dari pakaian dan sikapnya. Entah akan kemana ia di Jakarta ini. Entah akan bekerja dimana ia. Yang jelas, ia selalu menunggu dengan sikap yang sendu dan air mata yang selalu menetes dari pipinya yang putih alami. Sangat cantik ia, untuk ukuran seorang wanita.

Ada seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya. Mencoba bersikap ramah dengan menawarkan makanan dan mencoba mengajak ngobrol. Namun, wanita itu selalu diam dan menolak dengan halus sambil mengeluarkan gestur bahwa ia tidak ingin diganggu. Perbincangan pun terputus dan lelaki yang putus asa itu pun kemudian pergi meninggalkannya.

Tadinya banyak orang, termasuk diriku, menganggapnya gila. Petugas keamanan pun sudah sering mengusir dia. Namun, perempuan itu enggan beranjak dari tempat duduknya. Dari keterangan yang kudapat, seorang petugas pernah hendak mengusirnya, namun, perempuan itu berkilah bahwa ia sedang menunggu temannya—atau mungkin kekasihnya—yang akan menyusulnya ke Jakarta. Sang petugas pun akan terdiam melihat perempuan itu lambat laun mulai meneteskan air matanya. Dengan rasa iba petugas mencoba mengajak untuk sementara tinggal di kantor stasiun, namun ia selalu berkilah dan bersikeras ingin duduk di bangku tersebut. Lagi-lagi keputusasan pun tampak di wajah sang petugas.

Mendengar penuturan tersebut, aku hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Ia seorang perempuan yang malang.

***
Senja semakin tua dan kegelapan menyelubungi stasiun. Lampu-lampu stasiun mulai dinyalakan. Orang-orang hilir mudik menunggu kereta yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Kereta komuter datang dan pergi. Kereta bisnis dan ekonomi datang dan pergi membawa menurunkan penumpangnya. Aku masih diam di stasiun, menghabiskan rokokku yang ketiga.

Perempuan itu masih disana, duduk dengan gelisah dan pandangannya mengamati kereta yang berhenti di jalur 2. Siapakah yang dtunggu olehnya? Malam selalu berganti malam, lalu kembali menjadi pagi. Tapi, seseorang yang ditunggunya selalu tak ada.

Aku mulai mendekatinya, dengan harapan perempuan tersebut mau kuajak pindah. Sudah banyak orang yang iba kepadanya, namun lagi-lagi ia menolak dengan halus dan berkilah bahwa ia sedang menunggu seseorang. Bahkan saat tengah malam, dimana kereta yang hilir mudik sudah jarang, ia masih menunggu di sana, dengan pandangan yang selalu mengarah ke timur.

Aku duduk di sebelah bangkunya. Dengan penuh rasa iba kuberanikan diri untuk berincang dengannya.
“Nunggu siapa mbak? Kok dari tadi di sini?” tanyaku ramah.

Perempuan itu hanya tersenyum dingin. Kulihat matanya yang lara. Ah, sudah berapa kesedihan kiranya yang menggelayut di pelupuk matanya.

“Aku nunggu teman mas, katanya teman saya mau nyusul tapi kok belum datang aja,” jawabnya lembut.
“Memangnya mbak mau kemana di Jakarta? Nanti aku tunjukkan saja daerahnya.”

Perempuan itu hanya menggeleng dengan tatapan yang gelisah. Ia diam, aku mencoba menjernihkan suasana dengan mengajaknya berbincang ini itu. Tapi ia selalu diam. Matanya nanar dan lara. Ia pun mulai memperlihatkan gestur bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.

Kujelaskan bahwa aku adalah orang yang baik-baik. Maksudku tulus dan bukan tipuan. Namun, ia tetap saja dingin dan menolakku dengan halus. Aku pun mulai digelayuti rasa putus asa. Mengapa ia begitu keras kepala?

Aku pun menyerah. Sambil beranjak dari bangku, aku berkata dengan putus asa.

“Mbak, teman mbak tidak akan datang. Aku yakin!” gerutuku sambil meninggalkannya pergi.
Dan malam semakin bertambah malam.

***
Seperti kataku tadi, selalu ada kesedihan, kesepian, dan wanita yang menunggu setiap kali aku berada di stasiun ini. Berjuta kenangan seakan terurai ketika bunyi kereta memasuki stasiun dan orang-orang berdiri menanti kereta yang akan membawanya pulang.

Pagi yang muram, hujan turun dengan tiba-tiba. Aku terbangun dari tidurku, ketika terdengar petugas stasiun tiba-tiba berlari ke sana kemari. Sudah dua hari aku menginap di stasiun ini. Aku seorang petualang, tidak punya rumah dan tujuan. Aku hanya punya mimpi dan niat untuk pergi menyusuri daerah yang belum pernah kutemui.

Stasiun mulai ramai. Orang-orang berkerumun di salah satu jalur kereta. Terihat polisi tengah memasangkan police line di jalur tersebut. Wartawan sibuk bertanya kepada petugas dan sebagian lainnya sibuk memotret tempat.

Dengan rasa penasaran aku menghampiri kerumunan tersebut. Aku baru menyadari bahwa tempat kerumunan orang tersebut berada tepat di depan posisi bangku perempuan yang selalu duduk dengan perasaan sendu dan menunggu. Kulihat bangku yang sering didudukinya, tidak ada sosoknya. Hanya ada tas lusuh dan bungkusan yang selama ini berada di sampingnya.

Aku tak lagi menghiraukan kerumunan itu. Yang kucari adalah sosoknya. Kemanakah ia? Apakah ia sudah menemukan teman yang ditunggunya? Lantas mengapa barang-barangnya ditinggal begitu saja?

Segera kutemui petugas yang pernah mengusirnya. Ia terlihat begitu sibuk. Tanpa berpikir panjang kutanya ia.

“Lho, masa Adik nggak tahu? Dia sudah meninggal baru saja. Dan mayatnya, ya itu... yang sedang dikerumuni orang-orang.”




Cililitan dan Sepanjang Tol Jakarta Cikampek, 2 September 2012
18: 36

No comments:

Post a Comment