Selalu ada kesedihan, kesepian, dan
wanita yang menunggu setiap kali aku berada di stasiun ini. Berjuta kenangan
seakan terurai ketika bunyi kereta memasuki stasiun dan orang-orang berdiri
menanti kereta yang akan membawanya pulang.
Aku masih tetap dengan lamunanku, menikmati senja yang sendu
yang tersembunyi di sela-sela pilar stasiun. Kereta datang dan pergi, membawa
manusia mencapai tujuannya. Namun, adakah kereta yang khusus membawa manusia
menuju Tujuan Abadi? Kuharap dongeng tentang sebuah kereta senja yang khusus
membawa manusia menuju ke Negeri Senja, sebuah negeri dimana senja tidak pernah
hilang dan ketika kau berkunjung ke sana kau tidak akan pernah kembali lagi ke
tempat asalmu itu benar-benar ada.
Kulihat perempuan itu, sederhana rupanya. Rambutnya hitam
panjang tergerai di bahunya. Bajunya baju sederhana. Kemeja putih yang agak
pudar dan rok selutut yang entah menjadi trend pada tahun berapa. Wajahnya
cantik, namun memancarkan kesedihan. Manis dan sendu.
Setiap kali aku berada di stasiun ini, aku selalu menemukan
perempuan itu. Duduk di bangku yang sama dengan tas lusuh dan bungkusan yang
dlletakkan di bangku sebelahnya. Barangkali aku mengalami semacam deja vu.
Namun, aku yakin, setiap kali melihat perempuan itu, aku selalu berada dalam
keadaan yang sadar. Satu hal lagi, mataku tidak pernah berdebu.
Tatapannya kosong, sekosong wajahnya. Ia hanya memandang
lurus ke depan dan sekali-kali mengamati kereta yang berhenti di jalur di
hadapannya. Seperti berharap menanti seseorang—mungkin kekasih atau
suaminya—turun dari kereta tersebut.
Di Jatinegara, banyak orang yang datang mengadu nasib di
Jakarta . Bahkan mereka baru datang pertama kali ke Jakarta. Berharap nasib
akan mengubah dirinya begitu mereka tiba di Jakarta. Namun, tidak sedikit dari
mereka yang diubah secara menyedihkan oleh nasib. Banyak yang menjadi miskin
bahkan sengsara di sana. Hidup di Jakarta tidak seindah yang mereka bayangkan.
Hidup enak dengan gaji besar dan mobil mewah. Kenyataannya, pekerjaan yang
layak pun belum tentu mereka dapatkan.
Begitu halnya dengan perempuan itu. Kukira, ia pun dari desa
dilihat dari pakaian dan sikapnya. Entah akan kemana ia di Jakarta ini. Entah
akan bekerja dimana ia. Yang jelas, ia selalu menunggu dengan sikap yang sendu
dan air mata yang selalu menetes dari pipinya yang putih alami. Sangat cantik
ia, untuk ukuran seorang wanita.
Ada seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya. Mencoba
bersikap ramah dengan menawarkan makanan dan mencoba mengajak ngobrol. Namun,
wanita itu selalu diam dan menolak dengan halus sambil mengeluarkan gestur
bahwa ia tidak ingin diganggu. Perbincangan pun terputus dan lelaki yang putus
asa itu pun kemudian pergi meninggalkannya.
Tadinya banyak orang, termasuk diriku, menganggapnya gila.
Petugas keamanan pun sudah sering mengusir dia. Namun, perempuan itu enggan
beranjak dari tempat duduknya. Dari keterangan yang kudapat, seorang petugas
pernah hendak mengusirnya, namun, perempuan itu berkilah bahwa ia sedang
menunggu temannya—atau mungkin kekasihnya—yang akan menyusulnya ke Jakarta.
Sang petugas pun akan terdiam melihat perempuan itu lambat laun mulai
meneteskan air matanya. Dengan rasa iba petugas mencoba mengajak untuk
sementara tinggal di kantor stasiun, namun ia selalu berkilah dan bersikeras
ingin duduk di bangku tersebut. Lagi-lagi keputusasan pun tampak di wajah sang
petugas.
Mendengar penuturan tersebut, aku hanya tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepalaku. Ia seorang perempuan yang malang.
***
Senja semakin tua dan kegelapan
menyelubungi stasiun. Lampu-lampu stasiun mulai dinyalakan. Orang-orang hilir
mudik menunggu kereta yang akan membawa mereka kembali ke rumah. Kereta komuter
datang dan pergi. Kereta bisnis dan ekonomi datang dan pergi membawa menurunkan
penumpangnya. Aku masih diam di stasiun, menghabiskan rokokku yang ketiga.
Perempuan itu masih disana, duduk
dengan gelisah dan pandangannya mengamati kereta yang berhenti di jalur 2.
Siapakah yang dtunggu olehnya? Malam selalu berganti malam, lalu kembali
menjadi pagi. Tapi, seseorang yang ditunggunya selalu tak ada.
Aku mulai mendekatinya, dengan
harapan perempuan tersebut mau kuajak pindah. Sudah banyak orang yang iba
kepadanya, namun lagi-lagi ia menolak dengan halus dan berkilah bahwa ia sedang
menunggu seseorang. Bahkan saat tengah malam, dimana kereta yang hilir mudik
sudah jarang, ia masih menunggu di sana, dengan pandangan yang selalu mengarah
ke timur.
Aku duduk di sebelah bangkunya.
Dengan penuh rasa iba kuberanikan diri untuk berincang dengannya.
“Nunggu siapa mbak? Kok dari tadi
di sini?” tanyaku ramah.
Perempuan itu hanya tersenyum
dingin. Kulihat matanya yang lara. Ah, sudah berapa kesedihan kiranya yang
menggelayut di pelupuk matanya.
“Aku nunggu teman mas, katanya
teman saya mau nyusul tapi kok belum datang aja,” jawabnya lembut.
“Memangnya mbak mau kemana di
Jakarta? Nanti aku tunjukkan saja daerahnya.”
Perempuan itu hanya menggeleng
dengan tatapan yang gelisah. Ia diam, aku mencoba menjernihkan suasana dengan
mengajaknya berbincang ini itu. Tapi ia selalu diam. Matanya nanar dan lara. Ia
pun mulai memperlihatkan gestur bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.
Kujelaskan bahwa aku adalah orang
yang baik-baik. Maksudku tulus dan bukan tipuan. Namun, ia tetap saja dingin
dan menolakku dengan halus. Aku pun mulai digelayuti rasa putus asa. Mengapa ia
begitu keras kepala?
Aku pun menyerah. Sambil beranjak
dari bangku, aku berkata dengan putus asa.
“Mbak, teman mbak tidak akan
datang. Aku yakin!” gerutuku sambil meninggalkannya pergi.
Dan malam semakin bertambah
malam.
***
Seperti kataku tadi, selalu ada kesedihan, kesepian, dan
wanita yang menunggu setiap kali aku berada di stasiun ini. Berjuta kenangan
seakan terurai ketika bunyi kereta memasuki stasiun dan orang-orang berdiri
menanti kereta yang akan membawanya pulang.
Pagi yang muram, hujan turun dengan tiba-tiba. Aku terbangun
dari tidurku, ketika terdengar petugas stasiun tiba-tiba berlari ke sana
kemari. Sudah dua hari aku menginap di stasiun ini. Aku seorang petualang,
tidak punya rumah dan tujuan. Aku hanya punya mimpi dan niat untuk pergi
menyusuri daerah yang belum pernah kutemui.
Stasiun mulai ramai. Orang-orang berkerumun di salah satu
jalur kereta. Terihat polisi tengah memasangkan police line di jalur tersebut.
Wartawan sibuk bertanya kepada petugas dan sebagian lainnya sibuk memotret
tempat.
Dengan rasa penasaran aku menghampiri kerumunan tersebut. Aku
baru menyadari bahwa tempat kerumunan orang tersebut berada tepat di depan
posisi bangku perempuan yang selalu duduk dengan perasaan sendu dan menunggu.
Kulihat bangku yang sering didudukinya, tidak ada sosoknya. Hanya ada tas lusuh
dan bungkusan yang selama ini berada di sampingnya.
Aku tak lagi menghiraukan kerumunan itu. Yang kucari adalah
sosoknya. Kemanakah ia? Apakah ia sudah menemukan teman yang ditunggunya?
Lantas mengapa barang-barangnya ditinggal begitu saja?
Segera kutemui petugas yang pernah mengusirnya. Ia terlihat
begitu sibuk. Tanpa berpikir panjang kutanya ia.
“Lho, masa Adik nggak tahu? Dia sudah meninggal baru saja.
Dan mayatnya, ya itu... yang sedang dikerumuni orang-orang.”
Cililitan dan Sepanjang
Tol Jakarta Cikampek, 2 September 2012
18: 36
No comments:
Post a Comment