*Ini adalah salah satu reportase penulis untuk website http://www.unpad.ac.id/
Syahdan, ada seorang perempuan yang bernama Jennifer Thomas.
Sejak usia SD, ia sudah memiliki nilai IQ 110, nilai tertinggi untuk seorang
anak SD. Berkat kemampuannya, ia pun akhirnya diterima di University of Cambridge, Amerika. Ternyata, ia seorang penderita Down Syndrome, kelainan yang berdampak
pada keterbelakangan fisik dan mental, sejak kecil. Ajaibnya, kecerdasan dan IQ
Jennifer yang tinggi bermula dari ketekunan kedua orang tuanya menceritakan
dongeng sejak ia masih kecil.
Itulah sekelumit fakta tentang keajaiban mendongeng yang
diungkap oleh Mochamad Ariyo Faridh Zidni, S.Hum., pendongeng dan pendiri
komunitas Ayo Mendongeng Indonesia saat Workshop
“The Magical Theory of Storytelling”,
yang digelar oleh Puslitbang Gender dan Anak (P3GA) LPPM Unpad, Sabtu (08/12)
di Bale Rumawat Kampus Unpad Bandung. Pria yang akrab dipanggil Ariyo ini
menjelaskan, mendongeng menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam perkembangan
anak.
“Pada dasarnya dongeng adalah media terbaik dalam mendidik
anak. Anak akan cepat menerima dan melakukan sesuatu apabila disampaikan lewat
cerita dongeng,” ungkapnya.
Melalui dongeng, anak akan mudah menangkap pesan-pesan moral
yang disampaikan. Hal ini tentunya berbeda dengan menyampaikannya secara
langsung atau bahkan dengan sikap yang keras. Bagi anak, mendongeng termasuk ke
dalam multisensorik activity, dimana
anak bisa bergerak, menyentuh, dan tertawa. Aktivitas tersebut membuat mereka
bisa melakukan dan mendapatkan banyak hal. “Mendongeng juga lebih efektif
daripada pendidikan melalui teknologi,” tambahnya.
Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi yang semakin
pesat turut pula membawa pengaruh kepada anak. Menurut Ariyo, apabila sedari
kecil anak telah dibiasakan untuk menonton TV, bermain game, tab, komputer, atau
laptop justru akan memperburuk pertumbuhan anak. Efeknya, anak akan bersifat
individual, antisosial, tidak komunikatif, dan tidak peduli dengan orang lain.
Dari segi perkembangan motorik pun, pergerakan anak hanya sebatas di mata saja,
padahal anak usia golden age (0-12)
memerlukan kondisi tubuh yang terus bergerak dan aktif.
Mengacu pada fakta sosok Jennifer Thomas, dongeng apabila
disampaikan dengan teknik yang tepat akan dapat ditangkap oleh anak. Oleh karena
itu, dalam workshop tersebut Ariyo mengajak peserta untuk mampu mengembangkan
kemampuan mendongeng agar anak tidak selalu bergantung kepada teknologi.
“Pada dasarnya mendongeng bisa dilakukan dengan cara
sederhana. Hal terpenting ialah suara, ekspresi dan gestur yang mendukung sehingga
membuat anak nyaman mendengarnya. Alat bantu lain bisa memakai properti seperti
boneka dan kostum,” ujar pria yang pernah mendongeng bagi anak-anak korban
bencana Tsunami di Aceh dan Merapi di Jogjakarta.
Ariyo sendiri berharap bahwa masyarakat, khususnya orang tua
mampu mendidik anaknya dengan media dongeng. Sebab, meskipun terbilang sepele,
aktivitas mendongeng ternyata mampu mengubah perilaku anak. Hal inilah yang
sering tidak disadari oleh orang tua yang lebih menggunakan media teknologi
dalam mendidik anak-anaknya.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Ketua P3GA Unpad, Dr. Nina
Djustiana, drg., M.Kes. Menurutnya, dunia kreativitas dan imajinasi anak tidak
berbatas, namun selalu dibangun tidak dengan konteks pendidikan yang benar.
Aktivitas mendongeng dapat menghasilkan anak-anak yang mandiri dan tidak
seterusnya menjadi seorang follower. “Aktivitas
mendongeng dapat menghasilkan anak menjadi seorang inovator karena kekayaan
kreativitasnya,” Dr. Nina menjelaskan.
Gambar dari sini
No comments:
Post a Comment