Kendaraan ini bukanlah termasuk kendaraan bermotor. Rodanya tiga, dan dikayuh oleh manusia. Di zaman serbamodern ini, becak masih bertahan sebagai angkutan transportasi ramah lingkungan.
Barangkali kita sudah sangat akrab dengan transportasi roda
tiga yang satu ini. Moda transportasi ramah lingkungan ini sangat populer
sebagai alat transportasi untuk angkutan jarak dekat, khususnya di wilayah
Indonesia dan sebagian Asia. Namun, tahukah Anda sejak kapan becak menjadi
sarana transportasi di Indonesia?
Becak diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20. Seperti
dikutip dari situs id.wikibooks.org
awalnya becak digunakan untuk mengangkut barang-barang para pedagang
Tionghoa. Baru pada tahun 1940-an becak digunakan sebagai angkutan umum dengan
kapasitas penumpang 2 orang ditambah pengemudi satu orang.
Saat Jepang masuk ke Indonesia dimana pada saat itu telah
diberlakukan larangan penggunaan kendaraan pribadi serta kontrol yang ketat
terhadap penggunaan bensin, becak pun mulai menjamur. Di kota-kota besar
seperti Jakarta dan Surabaya, becak kemudian menjadi kendaraan alternatif yang
digunakan masyarakat untuk berangkat ke tempat yang dituju.
Bahkan, becak pun kemudian dijadikan alat politisasi. Penguasa pada saat itu mengumpulkan massa, termasuk kelompok tukang becak,
untuk kemudian dimobilisasi dengan tujuan untuk kepentingan perang melalui
penggemblengan dan pelatihan pemuda. Pelatihan tersebut diantaranya berisi
tentang pengajaran konsep politik, organisasi, hingga latihan berperang.
Pascakemerdekaan, becak masih menjadi sarana angkutan
transportasi yang populer. Pada masa ketika taksi, angkot, dan bus kota belum
menjamur seperti sekarang, masyarakat meggunakan becak dan delman sebagai alat
transortasi mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, becak seringkali dianggap
sebagai “alat transportasi yang tidak manusiawi”, sebab kenyataannya pengemudi
becak dipaksa mengangkut tumpangan yang terkadang melebihi kapasitas yang
ditentukan.
Hal tersebut diperkuat dengan munculnya Peraturan Daerah
(Perda) No. 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Kota Jakarta. Isi dari
Perda tersebut diantaranya ialah larangan transportasi becak di Kota Jakarta.
Alasan pelarangan tersebut ialah becak seringkali mengganggu ketertiban umum.
Selain itu, becak dianggap “eksploitasi manusia atas manusia” sehingga pada
akhir 1980-an becak secara resmi “dibinasakan” di kota Jakarta dan digantikan
dengan alat tranportasi yang lebih manusiawi, yakni Bajaj dan Helicak. Ratusan
hingga ribuan pengemudi becak kehilangan lapangan pekerjaannya.
Meskipun begitu, di beberapa kota besar lainnya, becak masih
menjadi alat transportasi yang jumlahnya masih banyak. Di kota-kota seperti
Jogjakarta dan Solo, becak menjadi salah satu sarana transportasi wisata untuk
menuju ke tempat-tempat wisata dan belanja oleh-oleh.
Baru-baru ini, muncul recana untuk memodernisasi becak,
yakni mengubah desain becak menjadi becak modern yang aerodinamis. Hal tersebut
bertujuan untuk lebih memanusiawikan becak juga sebagai salah satu pendongkrak
pariwisata. Dengan model becak yang semakin modern dan aerodinamis, apakah akan
turut mengubah taraf kehidupan para tukang becak yang selama ini harus bersaing
keras dengan alat transportasi modern, khususnya kendaraan bermotor?
Pengalaman Naik Becak
“Monggo mas, nanti
saya tunjukkan ke penginapan. Dijamin aman,” begitulah ajakan seorang tukang
becak di Stasiun Solo Balapan, Solo, saat saya baru keluar dari pintu stasiun.
Untuk pertama kalinya saya menelusuri kota yang berjuluk “Spirit of Java”
tersebut dan berencana untuk mencari penginapan di kawasan Jalan Slamet Riyadi.
Di tengah kebingungan untuk naik transportasi apa, seorang tukang becak pun
menghampiri saya.
Tukang becak pun secara aktif mengajak saya untuk tidak
mencari penginapan di daerah Slamet Riyadi, namun ia mengajak saya untuk
menginap di penginapan di belakang Terminal Tirtonadi. Ia mengajak saya dengan
kalimat yang telah disebutkan di atas. Ia pun meyakinkan saya bahwa di kawasan
penginapan tersebut akan aman.
“Percaya mas sama saya. Kalau di Slamet Riyadi itu sering
ada razia KTP. Kalau di Tirtonadi dijamin aman mas,” ujar tukang becak tersebut
sembari membawa ransel saya untuk kemudian disimpan di jok becak.
Masih diselimuti rasa bimbang, saya pun menuruti ajakan
tukang becak tersebut. Kawasan penginapan yang dimaksud tukang becak tersebut
ialah kawasan Jalan Setiabudi. Di sana terdapat banyak sekali penginapan dengan
harga yang murah. Namun ternyata saya tidak dibawa ke kawasan tersebut,
melainkan masuk ke gang sempit yang langsung berbatasan dengan terminal
Tirtonadi.
Becak pun sampailah di sebuah penginapan kecil. Kesan
pertama yang dirasa saat melihat bangunan penginapan tersebut, kumuh dan gelap.
Begitupun ketika saya masuk melihat-lihat kamar, lembap dan seperti tidak
pernah dibersihkan. Belakangan saya tahu kalau kawasan tersebut termasuk ke
dalam kawasan prostitusi kelas teri di Solo.
Pengalaman tentang tukang becak tersebut sangat melekat
dalam ingatan saya. Pada intinya, tukang becak rata-rata telah dipesan oleh
pemilik penginapan untuk memengaruhi penumpang yang sedang mencari penginapan.
Tidak hanya penginapan, para tukang becak pun seringkali diorder oleh pemilik
toko oleh-oleh atau pemilik sentra bisnis lainnya untuk mengajak penumpang datang
ke tempatnya.
Di beberapa kota dan negara, becak menjadi salah satu
alternatif transportasi wisata. Ada yang sekadar berkeliling kota atau juga
berkunjung ke tempat-tempat wisata atau belanja di tempat yang telah ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara tukang becak dengan pemilik toko.
Adakalanya menggunakan transportasi becak tidak semudah
menggunakan transportasi lainnya. Beberapa tukang becak ada yang mematok harga
tinggi untuk perjalanan ke tempat yang akan kita tuju.Mengingat, becak bukanlah
angkutan yang menggunakan tarif tetap. Mahal atau tidaknya ongkos bergantung
pada jarak yang akan ditempuh. Tukang becak pun akan berkilah jarak yang
dituju sangat jauh sehingga ongkos ikut membengkak naik.
Apalagi bagi wisatawan yang tidak mengetahui rute yang akan
dituju. Dibutuhkan keberanian untuk menawar agar ongkos yang dibayar akan
sesuai dengan jarak tempuh. Hal tersebut bukan hal yang tabu untuk
dilakukan agar tercipta proses komunikasi yang mungkin akan memudahkan kita
untuk mendapat informasi. Tawarlah dengan harga yang
wajar.
Menyadari bahwa penumpang yang dibawa adalah seorang
wisatawan, beberapa tukang becak biasanya akan memberikan informasi mengenai tempat-tempat
yang dilewati sepanjang perjalanan. Misalnya, ketika berkeliling kota Jogja
menggunakan becak, tukang becak akan menjelaskan kawasan-kawasan yang dilewati.
Jangan ragu untuk bertanya apa saja tentang kota yang kita datangi, tukang
becak dengan senang hati memberikan informasi yang lengkap bahkan bersedia
mengantar kita ke tempat-tempat yang ingin kita datangi. Tentunya dengan ongkos
yang disesuaikan.
Belajar dari Tukang
Becak
Pengalaman mencari nafkah di jalanan adakalanya menjadi
nafas para tukang becak untuk menjiwai kehidupan. Sulitnya mencari nafkah di
jalanan, berebut penumpang, persaingan dengan angkutan bermotor sudah sering
dialami oleh para tukang becak. Itulah alasan lain kenapa tukang becak
terkadang mematok tarif yang tinggi saat beroperasi.
Suatu malam kereta naik kereta ekonomi menuju Jakarta, saya
mengobrol dengan seorang bapak di bordes kereta. Sambil merokok dan menikmati
perjalanan malam, kami pun terlibat sebuah percakapan. Mulai dari obrolan
tentang kereta, tiket selundupan, hingga mendaki gunung. “Saya pernah naik
gunung Lawu, tadi saja ketika kereta lewat Gunung Lawu, matahari di sana
terlihat indah,” ujar bapak yang akhirnya saya ketahui bernama Sunaryo.
Sunaryo tetap tenang duduk di pintu kereta yang terbuka
sambil menikmati sebatang rokok yang saya sodorkan. Legam kulit tangannya
menandakan bahwa Sunaryo adalah seorang pekerja keras yang sehari-harinya
bergelut di lapangan. “Saya juga dulu pernah ke Gunung Slamet,” ujar Sunaryo
sambil mengisap rokoknya.
Sunaryo pun menceritakan tentang kisah hidupnya. Lelaki
berusia 45 tahun tersebut berasal dari Surabaya dan sehari-harinya berprofesi
sebagai tukang becak di kawasan Stasiun Gubeng, Surabaya. Setiap hari, Sunaryo
harus bersaing dengan angkot maupun ojek untuk mendapatkan penumpang. Ia pun
mengaku, pendapatan yang didapat seringkali tidak menentu.
“Pendapatan saya gak tentu, mas. Kadang sehari dapat 20 ribu
sampai 100 ribu. Tapi, sering juga saya tidak dapat apa-apa,” ujarnya.
"Saya yakin, rezeki saya sudah ada yang ngatur. Kalau saya memang gak dapet apa-apaberarti memang itu
rezeki saya,” tambahnya.
Sunaryo menuturkan, sudah 15 tahun ia menjadi tukang becak.
Ia pun merasakan setiap tahunnya penumpang yang mengandalkan becak semakin
berkurang. “Dulu angkot masih jarang. Kalau angkotnya lama, penumpang akan
memanggil tukang becak. Sekarang? Motor sudah banyak. orang-orang sudah jarang
pakai becak,” ungkapnya.
Tidak tampat gurat kesedihan di wajahnya. Yang tampak justru
ekspresi semangat di wajahnya untuk membagi kisah hidupnya kepada saya. Sunaryo
pun mengungkapkan, pada awal 2000-an, ia memiliki banyak sekali pelanggan
tetap. Rata-rata pelanggan tersebut sering meminta Sunaryo untuk mengirimkan
barang-barang ke alamat yang dituju. Dalam sehari, Sunaryo bisa dipanggil oleh
3 pelanggan sekaligus!
Namun, satu persatu pelanggan tersebut menghilang saat
sepeda motor dan mobil merajalela. Kemajuan zaman dan teknologi yang semakin
pesat pun turut berimbas pada perkembangan tukang becak. “Dulu sebelum handphone seramai sekarang, para tukang
becak gak ada tuh tukang becak yang
main handphone. Sekarang sudah beda,
ada tukang becak yang punya dua handphone
sekaligus, meskipun gak ada pulsanya, hahaha,” kelakar Sunaryo.
Sambil menyalakan kembali rokok, Sunaryo pun menceritakan
bagaimana ia sering ditipu bahkan oleh sesama tukang becak. Pernah pula ia
difitnah oleh temannya sehingga ia pun harus kehilangan kepercayaan dari
pelanggannya. Lantas bagaimana ia menghadapi hal tersebut? Ditanya seperti itu,
Sunaryo hanya tersenyum.
“Saya gak pernah marah orang lain berbuat jahat sama saya.
Yang penting saya gak pernah berbuat seperti itu sama orang lain,” jawaban
tersebut membuat saya tertegun.
Kereta melaju menembus malam, para pedagang asongan lewat di
hadapan kita. Sunaryo pun melanjutkan pembicaraannya, “Saya gak pernah takut
orang lain akan berbuat apa sehingga saya kehilangankepercayaan orang. Yang
saya lakuin hanya pasrah dan mendekatkan diri saja sama Allah,” ujarnya.
Jawaban tersebut serasa menampar saya. Betapa tidak,
seringkali profesi tukang becak tidak pernah dianggap berharga oleh
orang-orang. Seperti yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, ketika
proses tawar menawar antara penumpang dengan tukang becak, seringkali penumpang
menawar dengan harga yang sangat rendah tanpa memedulikan kondisi tukang becak.
Dari Sunaryo dan tukang-tukang becak lainnya saya sadar
bahwa manusia sebagai makhluk sosial terkadang tidak menunjukkan kepekaan
sosialnya. Sunaryo mungkin bukan bermaksud untuk menegur saya, namun
pandangannya tentang kehidupan membuat saya menganggap bahwa menjadi tukang
becak jauh lebih berharga dari seorang pejabat yang haus uang.
Sepanjang perjalanan
Kereta Gaya Baru Malam-Bandung, 18 Februari-12 Maret 2013
No comments:
Post a Comment