Tumpukan buku-buku tua maupun baru berjajar rapi di setiap
kios yang ada di Kompleks Pasar Buku Palasari, Bandung. Meskipun baru beberapa
kios yang buka, suasana lorong kompleks sudah mulai dipenuhi oleh beberapa
pengunjung yang mencari buku. Para pemilik kios pun dengan ramah dan sigap
bertanya kepada setiap pengunjung yang lewat perihal buku apa yang dicarinya.
“Mari mas, cari buku apa? Hukum, ekonomi, sosial?” tanya
salah seorang penjual.
Kompleks Pasar Buku Palasari |
Langkah kecil saya pun tertuju pada sebuah kios tanpa nama. Seorang
bapak usia 40 tahunan sedang duduk membaca koran sambil menanti pembeli tiba. Saya
pun menanyakan sebuah judul buku yang saya cari, Hukum Kewarganegaraan dan HAM.
Buku tersebut nyatanya termasuk ke dalam buku yang sulit dicari, sebab tidak
banyak ahli Hukum yang menulis buku itu.
Bapak tersebut mengernyitkan dahi. “Sebentar saya cari dulu
ya Mas?”, ujarnya sambil berlalu ke kios terdekat yang memiliki koleksi buku
lebih lengkap. Sambil menunggu bapak tersebut, saya pun melihat-lihat koleksi
buku yang bertumpuk di kios tersebut. Hukum, ekonomi, sosial, politik, dan
niaga mendominasi sebagian besar koleksi buku.
“Sebentar ya Mas, bukunya lagi dicari. Kita kan soalnya
swadaya,” jelas Bapak tersebut ketika kembali lagi ke kios.
Begitulah sistem kerja di kompleks Palasari tersebut. Setiap
kios memiliki koneksi untuk mencari buku-buku yang dibutuhkan pembeli. Apabila satu
kios tidak mempunyai satu judul buku, maka penjual akan mengontak kios lain
yang sekiranya memiliki judul buku tersebut. Tidak ada persaingan. Bahkan setiap
penjual pun bahu membahu mencari judul buku yang dibutuhkan.
Tidak heran, pasar buku Palasari menjadi ikon wisata belanja
buku di Kota Bandung. Kompleks yang memiliki ratusan kios buku tersebut sering
menjadi alternatif untuk membeli buku, khususnya pelajar dan mahasiswa. Sebab,
rata-rata buku dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari toko buku
konvensional. Selain itu, setiap penjual pun menyediakan layanan sampul buku
gratis bagi setiap buku yang dibeli.
Koleksi judul buku yang dijual pun terbilang sangat lengkap,
mulai dari buku baru hingga buku-buku bekas cetakan lama dan langka pun
tersedia. Hal itulah yang membuat Palasari ramai dikunjungi pembeli buku, baik lokal
maupun luar Bandung.
Setelah menunggu cukup lama, bapak penjual tersebut membawa
satu buku yang sesuai dengan yang saya cari. “Untung Mas, stoknya tinggal satu
lagi,” katanya. Sambil mengucap syukur atas ditemukannya buku yang “langka”
tersebut, tanpa pikir panjang saya pun merogoh kocek untuk membayar buku yang
harganya jauh di luar dugaan saya, sangat murah.
Dapat satu buku, saya pun mulai menyusuri kios selanjutnya. Takpuas
dengan satu kios, saya pun mencari kios-kios yang sekiranya menjual buku-buku
yang “unik”. Ingatan pun melayang pada satu kios yang dulu sering saya
kunjungi. Sebuah kios yang menjual buku-buku bahasa, sastra, dan budaya. Dari sekian
kios yang ada, hanya kios ini yang banyak menjual buku-buku bergenre tersebut.
Taksulit bagi saya menemukan kios tersebut. Toko Buku Ampera
namanya. Meskipun namanya mengingatkan kita pada nama sebuah Jembatan yang menjadi
ikon Kota Palembang, pemilik kios ternyata orang Sunda asli. Seorang bapak
berkacamata yang sangat saya hafal menyambut saya, Rusdimin namanya.
Toko buku ini sangat unik, meskipun kecil luasnya. Di rak-rak
kiosnya, berjejer buku-buku sastra, bahasa, budaya, dan teorinya. Buku-buku
karya pengarang besar dunia pun banyak dijual di sini. Di luar kategori
tersebut, Pak Rusdimin pun mau mencarikan buku-buku ber-genre lain selama ada pengunjung bertanya padanya.
Kemudian, Pak Rusdimin menyuguhkan saya beberapa judul buku
karya sastra klasik dunia yang membuat saya ngiler.
Betapa tidak, lelaki paruh baya tersebut banyak sekali menyuguhkan buku-buku
sehingga saya pun kebingungan memilih buku apa. Ibarat alm. Gito Rolies yang
mempromosikan buku-bukunya kepada Nicholas Saputra dalam film “Ada Apa dengan
Cinta?”, Pak Rusdimin pun menyilakan saya untuk membaca satu persatu buku-buku
tersebut.
Dua buku pun saya ambil, pertama buku epos Mahabharata,
kedua roman “Pulang” karya Toha Muchtar. Dari sudut kios kecilnya, Pak Rusdimin
hafal nama-nama pengarang sastra Indonesia maupun dunia, klasik maupun
kontemporer. Ini yang barangkali tidak akan ditemukan di toko buku besar yang
ada di setiap kota di Indonesia.
Selain dua toko buku tersebut, masih banyak kios yang
memiliki spesifikasi dari buku-buku jualannya. Misalnya, ada toko yang khusus menjual
buku-buku Kedokteran, Farmasi, Sosial, Hukum, bahkan ada pula toko yang khusus
menjual buku komik, baru ataupun bekas. Harga yang ditawarkan pun cukup
variatif, bergantung pada jenis buku yang dijual dan seberapa langkanya buku
tersebut. Uniknya, kita boleh menawar apabila harganya masih terlalu tinggi.
Pasar Buku Palasari merupakan satu dari kawasan pasar buku
yang mampu menjadi potensi wisata di Kota Bandung. Keberadaannya memunculkan
inspirasi dalam benak saya, bahwa ilmu tidak harus mahal. Anggapan bahwa harga
buku di Indonesia masih terlalu tinggi, agaknya tidak berlaku di Pasar Buku
Palasari.
Meskipun pengap dan panas, Pasar Buku Palasari akan menjadi
tempat favorit saya untuk mencari buku. Bagaimana dengan Anda, mau mencari buku
di tempat yang ber-AC dengan harga buku yang mahal, ataukah berpeluh keringat tetapi dengan buku yang harganya pas di kantong?
Bandung, 09 Mei 2013
No comments:
Post a Comment