Kabut masih berpendar di langit ketika motor saya menderu
melewati jalan raya Lembang-Subang. Seluas mata memandang, hamparan kebun teh
yang sedikit terkontaminasi oleh asap kendaraan bermotor—termasuk saya—serta matahari
yang malu-malu tersembunyi di balik kabut. Mungkin pemandangan indah seperti
ini seharusnya tidak dilintasi oleh jalan Provinsi, dimana asap-asap kendaraan
bermotor perlahan akan menghancurkannya.
Matahari dan perkebunan teh |
Melintasi daerah perbukitan dengan hamparan kebun teh di
kiri kanan jalan adalah keinginan saya kali ini,. Tidak perlu jauh-jauh ke
daerah Puncak, atau Ciwidey dan Pangalengan, rute Lembang-Subang sudah
menawarkan pemandangan kebun teh yang menakjubkan. Beberapa kali motor saya
berhenti untuk mengambil foto panorama yang selalu menggelitik saya setiap kali
hendak memutar gas lebih kencang. Maklum, di pagi hari, jalanan cenderung
lengang dan kondisinya yang baik selalu menggoda saya untuk memacu motor lebih
kencang.
Berangkat di pagi hari akan mendapatkan pemandangan yang
jauh lebih indah. Sinar matahari pagi yang menerobos sela-sela kabut, hawa yang
sejuk, serta jalanan yang sepi adalah keuntungan yang bisa didapat ketika
berangkat di pagi hari. Lewat siang, barangkali saya enggan melewati rute jalan
tersebut. Selain padat oleh kendaraan menuju tempat wisata, kondisi cuaca yang
susah ditebak pun menjadi faktor penghambat perjalanan kali ini.
Melewati tanjakan Emen, sebuah tanjakan yang konon penuh
aura mistik dan rawan kecelakaan, motor saya jalankan perlahan. Teringat akan
banyaknya kecelakaan, saya menimbang apakah kecelakaan tersebut memang
disebabkan ulah makhluk penunggu daerah itu?
Saya pun berhati-hati melintasi kawasan tersebut. Hal itu
disebabkan kondisi jalan yang menurun curam dan bergelombang. Selain itu,
banyak diantaranya yang rusak, berlubang, dan penuh tanah liat. Mungkin inilah
penyebab banyaknya kecelakaan tersebut. Bukankah kecelakaan lalu lintas itu
disebabkan oleh kelalaian pengemudi dan kondisi jalan yang rusak?
Lepas menuruni tanjakan Emen motor saya pacu ke arah Subang.
Perjalanan kali ini bukan tanpa alasan. Kerinduan menghirup aroma alam, melihat
pemandangan indah yang jarang ditemui adalah beberapa alasan mengapa saya nekat
membawa motor saya jauh hingga daerah Subang di pagi buta. Selain itu, saya
anggap perjalanan kali ini adalah perjalanan spiritual saya untuk dekat dengan
karya Sang Pencipta.
Sampailah saya di kawasan yang dikenal dengan Jalan Cagak. Kawasan
ini menjadi titik sentral pertemuan jalan ke tiga kota, yaitu jika ke arah kiri
jalan raya mengarah ke Purwakarta, sebelah kanan mengarah ke Sumedang, dan
lurus akan diteruskan ke Kota Subang. Daerah ini menjadi salah satu kecamatan
di Kabupaten Subang yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat.
Sepanjang jalan ini, banyak pedagang yang menjual nenas. Nenas
memang buah komoditas dari Kota Subang. Nenas Subang adalah salah satu nenas
unggul di Indonesia selain dari nenas Bogor dan Palembang. Tidak heran jika di Jalan
Cagak terdapat Tugu Nenas yang melambangkan betapa unggulnya si buah tersebut
di Kota Subang.
Tugu Nenas merupakan sebuah tugu yang berdiri di atas
bunderan jalan. Tugu Nenas ini menjadi patokan dua arah jalan, yakni sebelah
kiri ke Subang, dan serong kanan ke arah Sumedang. Saya pun mengambil jalan ke
arah Sumedang.
Jalan Cagak-Sumedang merupakan jalan provinsi yang menjadi
jalur alternatif menuju Sumedang. Jalur ini melewati daerah Jalan Cagak-Kasomalang-Cisalak-Cideukeut-Tanjungsiang-Sumedang.
Jalan ini sering dilintasi saat arus mudik dari kota Jakarta menuju ke daerah
di timur Jawa Barat. Kondisi jalan yang mulus, sepi, dan tidak terlalu lebar
pun saya nikmati dengan perasaan yang bergelora.
Selepas Tugu Nanas, penglihatan saya dihadapkan pada
perkebunan teh yang terhampar di kanan kiri jalan. Tidak seperti di kawasan
Tanjakan Emen, perkebunan teh di daerah ini cenderung lebih rimbun. Perkebunan
teh di sini juga diselingi oleh pohon-pohon perkebunan yang berjajar rapi. Jalanan
pun tidak berkelok-kelok, melainkan lurus bak tidak memiliki ujung.
Di sini, kabut tebal menghambat penglihatan. Beberapa kali
saya harus menghentikan laju sepeda motor akibat jarak pandang yang sulit dan
kacamata saya yang menjadi buram. Melintasi jalur ini sebenarnya tidak terlalu
sulit, kondisi jalan yang mulus, sepi, serta kontur jalan pun tidak terlalu
berkelok seperti jalan-jalan sebelumnya.
Memunggungi Gunung Bukittunggul dan perbukitan sekitarnya,
saya terkesima, benarkah perjalanan ini dilakukan oleh saya? Saya sendiri tidak
pernah menyangka keindahan alam di sini akan seindah ini. Betapa tidak, sebelum
melakukan perjalanan ini saya mencari informasi terkait di dunia maya. Namun tidak
banyak informasi yang membahas kawasan ini.
Lepas Kasomalang dan Cisalak, kabut tebal masih berpendar. Saya
pun kembali menghentikan laju motor saya untuk mengelap kaca mata sembari
beristirahat sejenak. Beberapa warga yang hendak berangkat ke sawah melewati
saya sambil menyapa dan melempar senyum seolah-olah saya adalah bagian dari
masyarakat di sana.
“Punteun Kang,” sapa salah seorang bapak sambil tersenyum
ramah.
Saya pun terlibat percakapan yang singkat. Ditanya masih
jauhkah perjalanan menuju Sumedang, saya mendapat jawaban yang menakjubkan.
“Wah ke Sumedang kira-kira 100 kilo lagi,” ujar Bapak
tersebut.
Saya pun kaget mendengar angka tersebut. 100 kilometer. Hampir
setara dengan jarak Bandung-Jakarta. Akan tetapi, apakah iya jaraknya sampai
sejauh itu?
Tanpa pikir panjang, saya pun mengucapkan terima kasih
kepada Bapak ramah tersebut. Masih terngiang dengan ucapan si Bapak, saya pun
kembali menjalankan motor saya. “Oke Boy, berangkat! Jarak kita 100 kilo lagi!”
canda saya kepada motor saya.
Sudah dipastikan, angka tersebut tidaklah benar.Kenyataannya,
tidak sampai satu jam saya pun melewati batas antara Subang dengan Sumedang. Namun,
tidak ada batas secara jelas dimana perbatasan tersebut. Sebab, saya sendiri
tidak melihat tugu perbatasan yang menjadi penegas batas. Menurut informasi,
batas Subang-Sumedang hanya dibatasi oleh jembatan kecil saja.
No comments:
Post a Comment