Sunday, 3 August 2014

Dari Cisanti Hingga Pangalengan, Napak Tilas Perjalanan Bujangga Manik

Sumber foto: hdmessa.wordpress.com

Jika ingin merasakan suasana Tatar Sunda Kuno versi Naskah Bujangga Manik, telusurilah jalur Ciparay-Pacet-Cisanti-Sentosa-Malabar-Pangalengan...


Bujangga Manik adalah seorang rahib pengelana Hindu-Sunda dari Kerajaan Pakuan Pajajaran pada abad ke-16. Meskipun bergelar rahib atau pendeta, ia sebenarnya merupakan seorang Pangeran di Istana Pakuan yang bergelar Pangeran Jaya Pakuan.

Layaknya seorang resi yang mencari makna hidup, Bujangga Manik telah melakukan perjalanan suci menyusuri Pulau Jawa dan Bali. Dalam setiap perjalanan, ia menuliskannya di atas daun lontar. Hingga akhirnya catatan perjalanan tersebut rampung diselesaikan dan dikenal dengan Naskah Bujangga Manik, berstruktur puisi dengan delapan suku kata, berbahasa Sunda Kuna, dan panjangnya mencapai sekitar 1.758 baris. Sejak tahun 1627, naskah tersebut menjadi koleksi Perpustakaan Bodlelan, Oxford University.

Monday, 7 July 2014

PESAN UNTUK SEORANG PEREMPUAN


*Untuk perempuan yang namanya selalu ada dalam doaku...

Aku mencintaimu dengan segenap kekuranganku. Ketika lelaki lain akan mencintaimu dengan segala yang dipunya, serta dengan kelebihan yang dimiliki, maka aku putuskan untuk mencintaimu tanpa melebih-lebihkan. Aku mencintaimu dengan segala usaha kecilku.

Kuisi hari-hari yang lalu dengan kebahagiaan seadanya. Senyum yang selalu mengembang tatkala bersamamu, tindakan konyol yang acapkali membuatmu menggelengkan kepala, serta sedikit sentuhan manis lewat kata-kata gombalku. Ah, kukira lelaki lain lebih fasih melakukannya. Namun, inilah aku, inilah segala kekuranganku.

Mencintaimu selalu tanpa alasan. Ketika banyak orang bertanya apa yang membuatku jatuh cinta kepadamu, kujawab singkat saja. Segalanya adalah takdir yang kini hinggap dalam kehidupanku. Tidak pernah tahu sampai kapan rasa ini akan ada di dalam kehidupanku.

Ya, cinta memang menjadi sebuah misteri. Takpernah dapat diterka kapan ia akan datang dan pergi.

Tuesday, 10 June 2014

MENGGENGGAM HUJAN

Aku selalu menyukai hujan...
Gambar: sini

Membiarkan titik airnya menyentuh kulitku, lalu segala amarah pun akan hilang. Seperti sebuah melodi orkestra yang meneduhkan malam. Lembut sentuhannya, hangat dekapannya, manis senyumannya terukir dalam titik-titik air yang membasahi rerumputan, membasahi jalanan yang sunyi, membasahi setiap bangunan yang kaku

Aku selalu merindukan hujan yang menetes di kaca jendela...

Kuhabiskan untuk memandanginya dengan segelas teh hangat di tangan. Membunuh waktu yang seringkali datang dan pergi. Senja berganti malam. Orang-orang kembali ke rumah. Dan aku masih terjaga memandangi hujan dari sini.

Sayup-sayup kudengar sebuah lagu, Rinai hujan basahi aku Temani sepi yang mengendap*)

Engkaukah itu yang bernanyi mengalahkan rinai hujan? Kulihat hujan selalu datang membawa beban. Kadang, ia selalu menumpahkan segala resahnya pada debu, pada tanah basah yang memunculkan aroma pretichor. Apakah kau masih suka dengan wangi itu?

Sungguh, hujan akan lebih indah bila diiringi dengan pelukanmu. Air mata yang perlahan muncul, segera tersapu oleh usapan lembut sang hujan. Kemarilah, kekasih. Datanglah dan usaplah kesepianku yang mulai berdebu. Roda zaman terus tergerus waktu. Matahari untuk sekian kalinya terbit dari timur lalu tenggelam di barat. Cerita kita, mimpi kita, dan kenangan kita selalu tesimpan oleh hujan.

Aku selalu menyukai hujan dan aku percaya ia hidup.

Terkadang, kita selalu lebih akrab dengan sepi, dengan hujan yang lebih memahami apa yang kita rasa.



NB: *lirik lagu Utopia - Hujan

Monday, 5 May 2014














"Terima kasih telah memberi kesempatan mencintaimu dengan sederhana. Dengan rasa yang menguatkan bahagia."

Monday, 20 January 2014

UNTUK GADIS YANG DATANG DARI KENANGAN



Aku selalu memanggilmu, gadis yang datang dari kenangan. Selalu tersenyum kala pikiran goyah, lalu membisikkan kata-kata yang membuatku kuat. Berabad-abad akan selalu kuingat bisikanmu.

Aku selalu menunggumu, gadisi yang datang dari kenangan. Di tepi jalan itu, di bawah hujan yang murung dan senja yang bergetar. Jalanan sepi, dan langkah kecilmu perlahan mengahmpiri. Sebuah payung berwarna biru muda kau pegang di tangan kananmu.

Aku selalu bercanda denganmu, gadis yang datang dari kenangan. Bicara tentang nyiur angin di sawah. Berkhayal tentang masa depan di bawah malam buta. Merencanakan petualangan seru yang akan kita arungi berdua. Hanya kita berdua. Dan di bawah rembulan, kita selalu bicara tentang cinta yang ringan dan mudah kita pahami.

Aku selalu menggenggam jemarimu, gadis yang datang dari kenangan. Angin perlahan berbisik mesra.
Jalanan yang penuh daun gugur. Langkahmu sesekali menginjak dedaunan hingga timbulkan bunyi yang renyah dan nyaring. Itulah bunyi yang suka. Sementara takhenti alunan nyanyian bunga-bunga mengalun dari mulut kita.

Waktu perlahan menuju tua, seperseribu detik menuju senja. Masihkah kau mengendap dalam kenangan?

Aku selalu merindukanmu, gadis yang datang dari kenangan. Perlahan air mata menetes, mengenangmu. Karena mengenangmu adalah candu yang takbisa kuenyahkan. Aku harus menelan luka jika ingin kutuntaskan segala kenanganmu.

Aku selalu mencintaimu, gadis yang datang dari kenangan. Selalu kucari jejak peradaban kita dalam setiap helai udara yang kuhirup.


Tuesday, 14 January 2014

MENUJU NEGERI DI ATAS AWAN (3): Menjelajahi Negeri Para Dewa

Kompleks Candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng
Benarkah Dieng dahulunya adalah negeri seribu Dewa?


“Sebentar lagi matahari terbit. Anda mau mengabadikannya?” tanya Ahmad Supangkat, pengojek yang saya sewa dari terminal Mendolo Wonosobo menuju Dieng. Motor meraung di jalan menanjak, angin dingin mulai membuat kaki saya sedikit linu sebab hanya memakai sandal gunung tanpa kaus kaki.

Supangkat pun menepikan motor ke Gardu Pandang Dieng, sekitar 2 kilometer sebelum kawasan wisata Dieng. Hari masih gelap. Kami berdua naik ke atas gardu yang memiliki ketinggian sekira 1.800 meter di atas permukaan laut. Masing-masing dari kami mulai mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momentum itu.

“Itu Gunung Sindoro,” ujarnya sambil menujuk sebuah gunung yang menjulang tinggi di sebelah timur. Dari balik gunung itu, matahari perlahan naik. Sinarnya yang kekuningan mulai mencuat di langit yang masih didominasi gelap.

Kami arahkan ponsel masing-masing ke arah matahari terbit. Sayang, sinarnya masih terhalangi oleh punggungan gunung yang memiliki ketinggian 3.136 meter di atas permukaan laut. Jika mengingat tentang nama gunung Sindoro, pikiran langsung melayang kepada satu gunung yang sering disebut sebagai “saudara kembarnya”, yakni Gunung Sumbing yang terletak di sebelah tenggara Sindoro.

Sunday, 12 January 2014

MENUJU NEGERI DI ATAS AWAN (2): Tiba di Terminal Mendolo


Terminal Mendolo, Wonosobo
Waktu menunjukkan pukul 3 pagi ketika bus yang saya tumpangi tiba di Terminal Mendolo, Wonosobo. Termometer menunjuk pada angka 15 derajat Celcius, suhu yang cukup dingin untuk kawasan tropis. Saya bergegas mencari tempat yang cocok untuk sekadar beristirahat sambil menunggu angkutan menuju ke Dieng. Terminal ini sepi sekali. Bahkan, sangat jauh berbeda dengan terminal bus antar kota lainnya seperti di Jakarta atau Bandung yang tidak mengenal waktu tidur. Letaknya pun lumayan jauh dari pusat kota Wonosobo.

Beberapa orang duduk di bangku terminal. Rata-rata mereka menyelimuti tubuhnya dengan sarung, layaknya orang-orang Tengger di ketinggian Bromo. Tidak ada warung yang buka 24 jam. Hal ini tentunya menyulitkan orang-orang yang pertama kali tiba di Wonosobo kala malam. Hal yang bisa dilakukan... menunggu sampai pagi tiba.

Friday, 10 January 2014

MENUJU NEGERI DI ATAS AWAN (1): Memulai Perjalanan

Angin kencang menyambut saya saat tiba di Terminal Cicaheum, Bandung. Tempat ini adalah titik awal untuk menuju Wonosobo, kota tujuan saya. Sementara dari arah barat, hujan mulai turun dengan deras. Beruntung, saya tidak menjadi "korban" keganasan hujan tersebut dan tiba di terminal tanpa basah kuyup.

Bus tujuan Bandung-Wonosobo masih lama berangkat. Terminal tidak terlalu sepi, namun juga tidak terlalu ramai. Saya memutuskan untuk menunggu sambil menulis di kursi yang disediakan terminal. Kondisi kursi tidak terlalu baik, sedikit keropos sana sini dimakan usia. Maklum, terminal ini termasuk terminal lawas di Kota Bandung. Letaknya yang berada di tengah kota sering menjadi penyebab kemacetan parah di sekitarnya. Belum lagi sarana lalu lintas yang seringkali tidak mendukung.

Tuesday, 7 January 2014

CATATAN KECIL TENTANG PERJALANAN MENYUSURI NEGERI

Kegelisahan memuncak, entah karena apa. Pikiran melayang, takpernah diam di tempat. Sementara tubuh ini masih melakukan aktivitas yang sama, bangun pagi, berangkat bekerja, makan, pulang, makan, dan tidur. Begitu setiap hari, sampai terkadang kau merasa bosan.

Suatu ketika, rasa gelisah itu semakin menjadi-jadi. Badan semakin luruh oleh keringat yang semu. Keringat yang tidak menjadi kebahagiaan. Hati selalu dipenuhi tanya, mengapa aku harus selalu diam di tempat? Mengapa aku selalu gelisah? Apa yang kucari dalam hidup ini?