Di suatu kafe, dalam senja yang mulai tua, kurekam pembicaraan antara sepasang manusia dalam ingatan.
“Kamu tahu kenapa aku mengajakmu ke sini?” Tanya si lelaki kepada wanita di hadapannya.
Wanita itu terdiam sambil mengaduk-aduk cappuccino yang ia pesan. Barangkali jika kuterka di dalam jiwanya bergemuruh sebuah perasaan yang campur aduk, antara bahagia dan galau yang berdebar.
“Aku tidak tahu, memangnya ada apa? Ini bukan hari ulang tahunmu kan?”
Lelaki itu tersenyum dan lama tidak berkata-kata kembali. Mencoba memancing rasa penasaran si wanita.
“Ada apa sih? Kok mukamu beda?” Tanya si wanita taksabar.
“Ah, tidak apa-apa. Sebenarnya aku mengajakmu kemari karena ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
“Sesuatu apa?” Tanya si wanita sambil terus mengaduk-ngaduk sendok di cangkirnya.
“Emm… Sesuatu tentang perasaanku selama ini… padamu.”
Wanita itu berhenti memainkan sendok, menatap tajam ke arah mata si lelaki. Mencoba membaca dan mengerti isi hatinya. Aku tersenyum sambil menghirup kopiku yang mulai dingin. Pasangan itu duduk tepat di sebelah mejaku, sehingga aku dengan jelas mendengar pembicaraan mereka. Maaf, aku bukan penyadap. Barangkali jika kutulis pembicaraan mereka, akan menjadi bahan tulisan yang penuh makna.
Kuteruskan mendengar percakapan mereka.
“Ya, perasaan aneh yang akhir-akhir ini selalu mengguncangkan pikiranku. Setiap malam, aku tidak bisa tidur memikirkan perasaan aneh ini. Ia begitu asing, sampai-sampai dalam doaku hanya ada kamu…”
“Aku mencintai kamu Laras,” sambung si Lelaki. Oh, jadi wanita cantik itu namanya Laras.
Wanita yang bernama Laras itu terkejut, tidak tahu harus berkata apa. Matanya yang tadi menatap tajam ke arah lelaki seketika menunduk dan kembali memainkan sendok cappuccinonya.
“Laras?” panggil si Lelaki lembut.
Laras terkejut, “Hah? Ya? Kenapa?”
Lelaki itu tersenyum, “Kamu dengar kan perkataan aku?”
“Ya, aku dengar Ben…” Laras kembali menatap kosong ke arah lain.
“Aku mencintai kamu, Laras. Kamu mau jadi kekasih aku? Kamu mau jadi pendamping hidup aku?” Ben mencoba mengulangi perkataannya. Busyet, romantis sekali ia!
Laras kembali terdiam. Dalam hatinya terjadi peperangan antara menerima atau menolak. Ini sudah lumrah terjadi dalam setiap wanita ketika ia dinyatakan cinta oleh lelaki yang mencintainya. Istilah kekiniannya, ketika ia “ditembak” oleh lelaki. Kudengar mereka tidak lagi berbicara, masing-masing sibuk mengaduk sendok kopinya yang mungkin mulai dingin. Kuhirup kopiku, lama-lama bosan juga jika mereka tidak berbicara. Kalau mereka masing-masing membisu, apa yang harus kuceritakan?
“Ben…” tiba-tiba Laras angkat bicara. Suaranya lembut dan pelan.
“Ya, Laras? Bagaimana?”
“Kamu nunggu aku untuk menjawab?”
“Ya, kalau kamu sudah punya jawabannya.”
“Aku bingung Ben…”
Ben sabar menenangkan Laras, “Ya sudah, kalau kamu belum mau untuk menjawab cinta aku sekarang, tidak apa-apa. Aku sabar menunggu jawaban kamu.”
“Bukan itu Ben. Aku bukan bingung antara menerima atau pun menolak. Aku bingung membaca perasaan kamu.”
Ben mengernyit tidak mengerti. Ia tutupi ketidakmengertiannya dengan meminum kopi.
“Apa yang kau bingungkan Laras? Perasaan aku tulus kepadamu. Aku sungguh-sungguh mencintai kamu.”
“Hal itulah yang membuat aku bingung Ben. Aku belum memahami seberapa dalam kau membangun cintamu itu. Aku menghargai perasaanmu, dan aku sangat berterima kasih kepadamu karena kau mencintai aku. Sejujurnya aku pun menyukaimu sedari dulu. Namun, ketika perasaan suka itu datang, aku selalu dirundung kebimbangan. Bagaimana jadinya nanti jika aku mencintai kamu. Apakah cintaku akan tetap sama dari hari ke hari?
Ben, aku bukan wanita yang terburu-buru. Aku bukan wanita yang langsung menerima begitu ada seseorang yang menyatakan cinta kepadaku. Aku harus memahami dulu seperti apakah cinta yang sedang menggelayuti kita saat ini? Apakah cinta anak remaja, cinta karena kecantikan, cinta karena dorongan nafsu, ataukah memang benar cinta yang benar-benar suci. Cinta itu bukanlah sesuatu yang mudah diucapkan. Cinta butuh pengakuan yang lebih, bukan sekadar mengubah status kita menjadi sepasang kekasih saja. Cinta bagiku adalah tonggak untuk mengubah hidup. Apakah cinta itu benar-benar ada di perasaanmu saat ini Ben?”
Laras terdiam. Ben juga ikut terdiam, barangkali takmenyangka bahwa Laras memiliki pandangan seperti ini. Siapa sangka, dalam suasana kafe yang romantis ini sedang berlangsung sebuah pertarungan. Pertarungan melawan kegalauan dan kebimbangan.
“Jujur Ben,” lanjut Laras, “bukan berarti aku menolak cintamu. Hanya, aku butuh waktu untuk memahamimu. Selama ini aku belum bisa memahami perasaanmu karena kemarin-kemarin kau tidak menunjukkan padaku sebuah perhatian yang lebih, sebuah perasaan yang bukan sebuah perasaan biasa kepadaku. Kita sudah dewasa, bukan lagi remaja yang sangat mudah menyatakan cinta. Ada kalanya kita menganggap bahwa jatuh cinta itu biasa saja, namun bukan berarti kita harus menyepelekannya. Cinta yang sejati aku kira adalah cinta mampu mengubah kita dari keterpurukan menjadi kebahagiaan. Cinta yang membuat kita pantang menyerah menghadapi cobaan. Cinta sejati adalah cinta yang penuh dengan cobaan Ben, bukan cinta yang semata-mata memeluk dan mencium.”
Hmm, aku teringat nukilan sajak Chairil Anwar.
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Pada akhirnya, Ben pun bicara.
“Aku tahu maksudmu Laras, dan aku menyetujui semua kata-katamu. Aku sadar, selama ini aku tidak pernah memberi perhatian yang lebih padamu. Aku hanya selalu terjebak dalam delusi. Setiap malam bayangmu hadir dalam mimpiku. Wujudmu utuh hadir di setiap aktivitasku. Aku tidak tahu perasaan apakah yang hinggap di jiwaku ini, begitu asing dan misteri. Aku hanya menerka-nerka perasaan asing itu. Jawabannya adalah aku mencintai kamu.
Aku memang terjebak dalam cinta, entah cinta apa. Tetapi, dalam pikiranku aku selalu berusaha mewujudkan cinta itu menjadi sebuah cinta yang nyata, cinta yang bernilai kepadamu. Aku sadar, kita sudah dewasa. Seharusnya kita harus berhati-hati ketika mengucap cinta, karena kini cinta bukanlah menjadi barang yang mudah untuk diperjualbelikan. Dan kau, kaulah wanita yang aku harap mampu menjawab cintaku. Bukan siapa-siapa. Dan aku yakin bahwa cintaku ini benar kepadamu.”
“Ben, dalam hidup kita harus memilih. Dalam cinta pun aku harus memilih, mana cinta yang baik untukku. Aku bisa merasakan makna cintamu, begitu aku melihat matamu yang dalam. Matamu memancarkan kebimbangan yang luar biasa ketika aku mencoba memahamimu. Rasa bimbang kehilangan aku. Aku tahu, kita sama-sama terjebak oleh sebuah perasaan yang asing, yang kita namakan cinta. Kau mencintaiku, dan aku pun mencintaimu. Tetapi kita tidak lantas berpedoman pada cinta itu. Jalanilah dulu sekuat apa pun usaha kita, suatu saat nanti cinta yang ada di antara kita saat ini menjadi kuat dan kokoh dan itulah saatnya kita untuk menyatu. Aku yakin cinta kita kuat Ben sampai kapan pun,” kata Laras.
“Jadi kesimpulannya?” Tanya Ben.
“Kita jalani dulu hidup kita seperti kemarin ya Ben?”
Ben tersenyum.
“Aku siap menjalaninya Laras.”
“Kamu percaya kan cinta kita akan menjadi kuat?”
Ben mengangguk.
“Kamu yakin kan, suatu saat nanti kamu akan ikat aku lewat cintamu?”
“Aku yakin, karena aku mencintai wanita yang tepat, Laras.”
Laras tersenyum, memegang tangan Ben erat seolah-olah dunia akan menjadi hancur jika Laras tidak menggenggam tangannya. Hmm, pasangan yang sudah mengerti hakikat percintaan. Aku tersenyum dan kuhabiskan kopiku. Malam tampak membayang di jendela kafe. Aku larut dalam perbincangan mereka. Ben bahagia dan Laras pun bahagia. Tidak ada yang kecewa karena mereka tidak memutuskan untuk pacaran. Sepertinya mereka bahagia menjalani hubungan meraka yang mereka sendiri tidak mengetahui apa nama hubungan mereka.
Itulah cinta. Itulah kasih sayang. Cinta yang suci adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu duniawi. Seringkali orang bertemu untuk menyatakan cinta dan seringkali pula mereka mengakhiri sebuah cinta dan membuangnya ke tempat yang tidak terjamah manusia. Manusia membutuhkan cinta, dan cinta bukanlah barang yang tersedia di warung-warung mudah untuk diperjualbelikan. Aku menulis ini bukan karena sok tahu tentang cinta. Aku hanya mendokumentasikan sebuah pemikiran yang begitu asing tentang cinta.
Ben dan Laras beranjak dari mejanya. Setelah membayar, mereka berdua pergi meninggalkan kafe. Kebahagiaan selalu terpancar jelas di wajah mereka. Aku tersenyum melihat kepergian mereka. Meskipun aku tidak mengenal mereka, aku mengenal bagaimana kekuatan cinta mereka.
Semoga ada hal menakjubkan lain tentang cinta yang bisa kutulis di luar sana. Dan aku menulis semua ini untukmu, Mira.
Dalam Kafe, 12 November 2011
Aku menulis karena aku hidup, aku bercerita karena aku ada, dan dunia ini terlalu egois bagi ucapan yang selalu dibungkam
Tuesday, 27 December 2011
BELAJAR DARI SHAUN THE SHEEP (Menguak Mitos Budaya Masa Roland Barthes)
Jika ada orang yang berkata ‘belajarlah pada hewan’, kita jangan langsung menganggap perkataan itu adalah omong kosong belaka. Kenyataannya, hewan-hewan sering dijadikan contoh bagi manusia untuk melakukan sesuatu, misalnya membaca arah mata angin, penanda pergantian cuaca, bahkan ide utama untuk membuat sebuah teknologi baru.
Baru-baru ini saya sering menonton film animasi Shaun the Sheep. Film anmasi ini bercerita tentang kehidupan seekor domba yang bernama Shaun dengan kelompok domba yang lain di sebuah peternakan. Film animasi yang pertama kali disiarkan di stasiun televisi ternama BBC tahun 1995 ini, memang mengangkat tentang sebuah kehidupan peternakan di Inggris. Dengan mengambil konsep folklor yang berupa fabel, tokoh Shaun dalam film ini bukan hanya diposisikan sebagai domba belaka. Ia bisa melakukan aktivitas manusia (main bola, menyetir mobil, dll) dan tertawa nyengir setiap kali film tersebut berakhir.
Shaun seringkali menjadi otak untuk menyelesaikan permasalahan dalam cerita dengan caranya sendiri. Ada hal yang menarik dalam film ini, yakni antara Shaun dengan kelompok domba lainnya selalu kompak dan saling membantu satu sama lain. Film nirkata ini seakan-akan melupakan dialog yang menjadi sarana untuk menyampaikan maksud cerita. Namun, kita bisa menangkap apa yang terjadi, serta apa yang dilakukan oleh domba-domba tersebut melalui aktivitas visual mereka yang lucu, namun sederhana.
Film tersebut bukan hanya ditampilkan sekelompok domba saja. Ada Bitzer, anjing Dingo Australia yang bertugas untuk mengawasi kelompok domba tersebut. Seringkali Bitzer bertindak lugu, namun keluguannya selalu membantu Shaun dan kawan-kawannya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Ada juga, kelompok babi yang berasal dari peternakan sebelah yang selalu menjadi “musuh bebuyutan” Shaun dan kawan-kawan. Ada pemilik peternakan Shaun (saya lupa namanya) yang juga lugu dan tidak mengetahui jika Shaun dan kawan-kawan bisa “beraktivitas” seperti manusia. Terakhir, kucing manja peliharaan pemilik peternakan tersebut yang maunya ingin menang sendiri. Atas kecerdikan Shaun dan kekompakan domba-domba lainnya, kucing tersebut akan dengan mudah untuk dikalahkan.
Film ini memang bersifat menghibur, khususnya bagi kalangan anak kecil. Akan tetapi, saya menangkap lain. Di balik keluguan, di balik kecerdikan Shaun, di balik kekompakan para domba, ada nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh pembuat cerita. Shaun dijadikan posisi sentral sebagai tokoh yang selalu dihadapkan pada masalah, namun ia dituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam waktu yang singkat. Dengan tingkahnya yang lugu Shaun bisa menyelesaikan masalahnya, tentunya atas bantuan dari sesama domba dan terkadang Bitzer si anjing juga sering membantunya. Perbuatan tersebut secara tersirat menegaskan bahwa seringkali manusia melupakan hakikat dari sikap tolong menolong. Istilah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing” sudah tidak lagi dijadikan pedoman hidup manusia. Manusia menjadi karakter individualis yang hanya mementingan kepentingan diri sendiri.
Setiap tokoh dalam film StS memiliki karakter yang masing-masing mencerminkan pribadi manusia yang berlainan. Namanya juga fabel, tokoh hewan akan diperlakukan sama seperti sikap manusia. Pandangan tersebut merupakan pandangan yang stereotipe. Orang-orang banyak menganalisis dongeng fabel tapi sangat jarang yang becermin dari cerita tersebut. Mereka hanya memosisikan fabel sebagai hiburan anak kecil, dan bacaan untuk meninabobokan mereka sebelum tidur. Para orang tua memperingati anak-anaknya untuk belajar dari sikap maisng-masing tokoh hewan. Akan tetapi, adakah di antara para orang tua yang menjadikan dongeng tersebut sebagai introspeksi diri sendiri?
Ini adalah rangkaian dari penyampaian makna sebuah mitos pada publik. Roland Barthes mendefinisikan mitos-mitos dalam budaya masa sebagai media penyampaian pesan yang berfungsi untuk mendistorsi suatu makna, sehingga mitos tersebut akan melahirkan suatu makna yang dikehendaki oleh pembuat mitos tersebut. Film animasi merupakan produk dari budaya masa. Oleh karena itu—mengacu pada Roland Barthes—film StS diposisikan bukan hanya sebagai film hiburan untuk anak kecil, tetapi film cerminan untuk orang dewasa. Kenyataannya, di balik keluguan tingkah domba-domba tersebut, ada nilai-nilai yang telah didistorsi oleh pembuat film menjadi ideologi yang disampaikan kepada penontonnya.
Barangkali, saya mencoba membandingkan film StS dengan film kartun nirkata lainnya, yakni film Tom and Jerry. Film tersebut diproduksi hampir setengah abad yang lalu, namun tetap menarik perhatian para penonton di hampir seluruh belahan dunia sampai sekarang. Film TaJ bercerita mengenai seorang kucing yang bernama Tom yang memiliki musuh bebuyutan seekor tikus yang bernama Jerry. Namun, kenyataannya Tomlah yang selalu dikalahkan oleh Jerry karena Jerry sedikit lebih cerdik dibandingkan dengan Tom. Aksi-aksi mereka selalu menghibur, sehingga film tersebut dibuat sekuel dan diangkat ke layar lebar. Melihat kesuksesan pendahulunya, StS muncul dengan tata animasi yang baik, cerita yang sederhana, dan konsep penyelesaian masalah yang sederhana pula, tetapi bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Ada satu hal yang menarik dari film StS ini, yakni ketidaktahuan pemilik peternakan domba atas tingkah Shaun dan domba lainnya padahal seringkali Shaun terjebak dalam situasi bertemu dengan pemilik peternakan. Namun, Shaun selalu bisa menghindar dan luput dari penglihatan si pemilik tersebut. Ini menjadi sebuah anekdot bagi saya, pemilik peternakan tidak mengetahui kecerdikan dari Shaun dan kawan-kawan karena memang manusia pada kenyataannya tidak mengetahui bahwa hewan—yang katanya lebih rendah dari manusia—ternyata memiliki keunikan dan kecerdikan masing-masing. Percaya atau tidak, Anda menerima atau tidak, dongeng tidak selamanya memberikan edukasi hanya untuk anak kecil saja, orang dewasa dan orang tua pun sesungguhnya pembaca yang cocok untuk menginterpretasi makna dari dongeng tersebut.
Sekali-kali nontonlah film animasi sederhana ini, daripada kebanyakan emosi nonton sinteron J. Salam...
Bandung, 26 Desember 2011
23.21
Baru-baru ini saya sering menonton film animasi Shaun the Sheep. Film anmasi ini bercerita tentang kehidupan seekor domba yang bernama Shaun dengan kelompok domba yang lain di sebuah peternakan. Film animasi yang pertama kali disiarkan di stasiun televisi ternama BBC tahun 1995 ini, memang mengangkat tentang sebuah kehidupan peternakan di Inggris. Dengan mengambil konsep folklor yang berupa fabel, tokoh Shaun dalam film ini bukan hanya diposisikan sebagai domba belaka. Ia bisa melakukan aktivitas manusia (main bola, menyetir mobil, dll) dan tertawa nyengir setiap kali film tersebut berakhir.
Shaun seringkali menjadi otak untuk menyelesaikan permasalahan dalam cerita dengan caranya sendiri. Ada hal yang menarik dalam film ini, yakni antara Shaun dengan kelompok domba lainnya selalu kompak dan saling membantu satu sama lain. Film nirkata ini seakan-akan melupakan dialog yang menjadi sarana untuk menyampaikan maksud cerita. Namun, kita bisa menangkap apa yang terjadi, serta apa yang dilakukan oleh domba-domba tersebut melalui aktivitas visual mereka yang lucu, namun sederhana.
Film tersebut bukan hanya ditampilkan sekelompok domba saja. Ada Bitzer, anjing Dingo Australia yang bertugas untuk mengawasi kelompok domba tersebut. Seringkali Bitzer bertindak lugu, namun keluguannya selalu membantu Shaun dan kawan-kawannya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Ada juga, kelompok babi yang berasal dari peternakan sebelah yang selalu menjadi “musuh bebuyutan” Shaun dan kawan-kawan. Ada pemilik peternakan Shaun (saya lupa namanya) yang juga lugu dan tidak mengetahui jika Shaun dan kawan-kawan bisa “beraktivitas” seperti manusia. Terakhir, kucing manja peliharaan pemilik peternakan tersebut yang maunya ingin menang sendiri. Atas kecerdikan Shaun dan kekompakan domba-domba lainnya, kucing tersebut akan dengan mudah untuk dikalahkan.
Film ini memang bersifat menghibur, khususnya bagi kalangan anak kecil. Akan tetapi, saya menangkap lain. Di balik keluguan, di balik kecerdikan Shaun, di balik kekompakan para domba, ada nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh pembuat cerita. Shaun dijadikan posisi sentral sebagai tokoh yang selalu dihadapkan pada masalah, namun ia dituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam waktu yang singkat. Dengan tingkahnya yang lugu Shaun bisa menyelesaikan masalahnya, tentunya atas bantuan dari sesama domba dan terkadang Bitzer si anjing juga sering membantunya. Perbuatan tersebut secara tersirat menegaskan bahwa seringkali manusia melupakan hakikat dari sikap tolong menolong. Istilah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing” sudah tidak lagi dijadikan pedoman hidup manusia. Manusia menjadi karakter individualis yang hanya mementingan kepentingan diri sendiri.
Setiap tokoh dalam film StS memiliki karakter yang masing-masing mencerminkan pribadi manusia yang berlainan. Namanya juga fabel, tokoh hewan akan diperlakukan sama seperti sikap manusia. Pandangan tersebut merupakan pandangan yang stereotipe. Orang-orang banyak menganalisis dongeng fabel tapi sangat jarang yang becermin dari cerita tersebut. Mereka hanya memosisikan fabel sebagai hiburan anak kecil, dan bacaan untuk meninabobokan mereka sebelum tidur. Para orang tua memperingati anak-anaknya untuk belajar dari sikap maisng-masing tokoh hewan. Akan tetapi, adakah di antara para orang tua yang menjadikan dongeng tersebut sebagai introspeksi diri sendiri?
Ini adalah rangkaian dari penyampaian makna sebuah mitos pada publik. Roland Barthes mendefinisikan mitos-mitos dalam budaya masa sebagai media penyampaian pesan yang berfungsi untuk mendistorsi suatu makna, sehingga mitos tersebut akan melahirkan suatu makna yang dikehendaki oleh pembuat mitos tersebut. Film animasi merupakan produk dari budaya masa. Oleh karena itu—mengacu pada Roland Barthes—film StS diposisikan bukan hanya sebagai film hiburan untuk anak kecil, tetapi film cerminan untuk orang dewasa. Kenyataannya, di balik keluguan tingkah domba-domba tersebut, ada nilai-nilai yang telah didistorsi oleh pembuat film menjadi ideologi yang disampaikan kepada penontonnya.
Barangkali, saya mencoba membandingkan film StS dengan film kartun nirkata lainnya, yakni film Tom and Jerry. Film tersebut diproduksi hampir setengah abad yang lalu, namun tetap menarik perhatian para penonton di hampir seluruh belahan dunia sampai sekarang. Film TaJ bercerita mengenai seorang kucing yang bernama Tom yang memiliki musuh bebuyutan seekor tikus yang bernama Jerry. Namun, kenyataannya Tomlah yang selalu dikalahkan oleh Jerry karena Jerry sedikit lebih cerdik dibandingkan dengan Tom. Aksi-aksi mereka selalu menghibur, sehingga film tersebut dibuat sekuel dan diangkat ke layar lebar. Melihat kesuksesan pendahulunya, StS muncul dengan tata animasi yang baik, cerita yang sederhana, dan konsep penyelesaian masalah yang sederhana pula, tetapi bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Ada satu hal yang menarik dari film StS ini, yakni ketidaktahuan pemilik peternakan domba atas tingkah Shaun dan domba lainnya padahal seringkali Shaun terjebak dalam situasi bertemu dengan pemilik peternakan. Namun, Shaun selalu bisa menghindar dan luput dari penglihatan si pemilik tersebut. Ini menjadi sebuah anekdot bagi saya, pemilik peternakan tidak mengetahui kecerdikan dari Shaun dan kawan-kawan karena memang manusia pada kenyataannya tidak mengetahui bahwa hewan—yang katanya lebih rendah dari manusia—ternyata memiliki keunikan dan kecerdikan masing-masing. Percaya atau tidak, Anda menerima atau tidak, dongeng tidak selamanya memberikan edukasi hanya untuk anak kecil saja, orang dewasa dan orang tua pun sesungguhnya pembaca yang cocok untuk menginterpretasi makna dari dongeng tersebut.
Sekali-kali nontonlah film animasi sederhana ini, daripada kebanyakan emosi nonton sinteron J. Salam...
Bandung, 26 Desember 2011
23.21
PANTAI
Untuk jiwa yang berada dalam sunyi
16.35
Perempuan itu berdiri mematung di tepi pantai. Air laut memainkan kakinya, dan pasir basah pun ikut menempel di kakinya yang putih. Senja masih terlalu lama untuk tenggelam ke dalam lautan, dan agaknya ia memang ingin menunggu senja menghilang. Matanya sayu. Bajunya yang putih kini telah lusuh dan basah oleh airlaut. Angin yang bergaram memainkan rambutnya yang panjang, sangat panjang. Dan entah sampai kapan lagi ia akan mematung di sana, memandangi airlaut yang tertawa lepas, dan senja belum sampai pada batasnya. Ia masih menunggu senja itu berakhir.
“Cepatlah menjadi malam, dan datanglah kembali,” katanya.
Perempuan itu taktahu bahwa hari terlampau panjang untuk menjadi malam. Matahari belum mau menyudahi ceritanya. Ia masih ingin bermain-main dengan cakrawala. Dan perempuan itu agaknya takmengerti tentang matahari, mengapa sudah jam segini hari masih senja padahal seharusnya sudah malam. Ah, barangkali jam ini ngaco, atau memang waktu sudah takberaturan? Tidak ada lagi malam? Tidak ada lagi rembulan? Entahlah.
Waktu terus bergulir dan perempuan itu masih di sana.
“Mungkin kita selalu terjebak sunyi,” katanya.
17.35
Cakrawala merah saga. Matahari masih berada di sana. Dan pantai masih seperti dulu. Laki-laki itu berjalan di antara pasir basah. Bulu babi bergelinding tertiup angin yang bergaram. O, laut tetap saja masih menjadi misteri. Melenyapkan segala kenangan dan waktu yang bergulir. Biarlah, pikirnya. Biarlah segalanya lenyap dan dilarung ombak, barangkali ia memang pantas dilarung ombak. Burung camar terbang rendah mencari ikan di permukaan laut. Laki-laki itu, siapa ia? Entahlah. Ia memang terbuang. Dan mencoba mengais-ngais sisa waktu yang dahulu pernah ia gunakan bersama kekasihnya. Sudah tenggelamkah kiranya waktu dan kenangan itu di dasar lautan? Apakah bisa diselami lagi olehnya untuk mengangkat kembali ke permukaan?
Laut mengungkap perpisahan. Pertemuan selalu akan berujung dengan perpisahan. Laut itu hanya sekali saja menyapa pasir, menyapa pantai, menyapa daratan. Dan setelah itu ia kembali bertualang di samudera. Berbeda dunia. Mengunjungi pantai-pantai di belahan dunia lain. Laki-laki itu berpikir, apakah hidup seperti air laut? Datang hanya sebentar, sangat sebentar, dan kembali pergi menuju kehidupan selanjutnya? Seperti cinta, ya seperti cinta. Datang dan pergi bergantung pada waktu. Cinta terlalu indah untuk dipisahkan.
“Senja… Aku jadi ingat kamu,” bisiknya pada angin.
Siapakah ia? Dan mengapa langit masih bercahaya keemasan? Ia ingat, sangat ingat, bahkan selalu akan ingat sepanjang hayat bagaimana ia bercinta di kala malam. Cinta memang melankolis, namun bisa menjadi tragis. Dan malam pula yang melenyapkan cinta itu. Senja dan malam, benderang dan muram. Tiba-tiba laki-laki itu tertawa. Sangat terbahak-bahak, seakan-akan pantai, laut dan senja adalah lelucon belaka. Ia tertawa, dan hanya ia saja di pantai itu. Tawanya mengalahkan deru air laut yang riang menyapa pantai.
“Hahahaha! Sudahlah takada gunanya memikirkan ia!”
Lalu ia mengeluarkan handphone di saku bajunya. Dompet di saku celana pun ia keluarkan. Ia lemparkan benda-benda itu ke lautan lepas. Ia masih bisa melihat semua benda yang kini telah melayang di udara sebelum akhirnya lenyap di lautan. Ia kembali tertawa.
“Selesai sudah! Goodbye, so long!”
Perpisahan memang menyakitkan. Dan laki-laki itu kini telah merasakannya, bagaimana sebuah perpisahan bisa mengubah waktu dan kenangan. Bagaimana perpisahan bisa membawanya ke dalam ruang yang takberwaktu, atau barangkali memang takdikenal waktu. Senja masih bercahaya keemasan. Laki-laki itu akan kembali pada senja, pada cakrawala yang selalu melingkupinya. Dan laut masih bercerita, melepas rindu yang menggebu pada pantai.
“Tidak mudah bagi kita untuk melupakan sunyi!” teriaknya pada senja.
19.35
Waktu sudah menunjukkan malam, namun ini masih senja. Oladalah, mengapa hari belum menjadi malam? Senja masih bercahaya, dengan lempeng-lempeng kemilaunya yang selalu bercahaya. Matahari belum mau tenggelam ke dalam lautan. Dan pantai masih menyisakan seonggok cerita bagi laut.
Pantai berbisik lirih, dan laut mendengarnya dengan syahdu. O, manusia memang takakan selamanya sama. Manusia mempunyai dua dunia. Dan dunia itu akan selalu berbenturan, takpernah bisa beriringan. Sudahlah, meskipun hari sudah menunjukkan malam, matahari masih ingin bercerita pada cakrawala dan pantai pun masih ingin bercerita pada laut. Sudah berapa banyakkah laut menenggelamkan cinta dua manusia? Kadangkala mereka bertengkar di dermaga atau tepi pantai kala senja dan membuang segala cintanya ke laut pada malam harinya. Bukankah cinta didapat dengan sangat berharga dan menyusahkan? Lantas mengapa membuang cinta begitu mudah?
Air laut menyapa pantai, “Hai!”. Begitulah, sepanjang waktu. Dan perahu nelayan masih teronggok bisu menunggu malam tiba. Angin masih membawa kabar dari senja bahwa ia masih ingin berdiam di cakrawala. Dan burung camar terbang riuh rendah, semakin banyak, mencari ikan-ikan yang berenang bebas. Pantai sepi. Deru ombaknya menjadi suatu orkestra. Bisa jadi menjadi sebuah lagu jazz, ataupun keroncong. Di dunia ini, segala sesuatu bisa menjadi sebuah irama. Deru ombak pun bisa menjadi suatu lagu, dan iramanya akan selalu terkenang sepanjang masa.
Di pantai itu, sudah tidak ada lagi cinta. Kemarin ataupun esok. Segala sesuatu akan berujung pada perpisahan dan takdir. Ya, segala sesuatu memiliki takdirnya masing-masing. Angin tidak lagi membawa kabar. Dan senja masih berkuasa atas segala.
Malam takpernah datang di pantai itu. Takpernah. Yang datang hanya kesunyian dan air laut yang selalu ingin mendengar semua cerita dari pantai.
Sayup-sayup terdengar elegi yang lirih dan sendu. Oh, bertapa sendu…
Laut akan selalu menyampaikan sunyi.
21.35
“Hei bukankah ini sudah malam? Kenapa masih senja?” protes perempuan itu pada langit. Namun langit masih tetap senja. Senja masih tetap kemerahan. Dan matahari masih tetap berbingkai dalam lempeng cahaya. Ia tercenung, barangkali arlojinya rusak atau ngaco. Dibukanya arloji itu dan dilemparkan ke laut. Tenggelam di laut. Hilang dalam biru. Apakah ia menyesal membuang arlojinya yang sangat berharga tersebut? Tidak. Ia harus melenyapkan semua. Ia harus melenyapkan kenangan. Dan kenangan pahit sudah semestinya dilupakan.
Kini ia tidak punya lagi penunjuk waktu. Atau mungkin ia sudah tidak lagi mengenal waktu, dan punya waktu. Ia lumpuh di tepi pantai itu. Pandangannya masih lurus ke depan. Memandang ombak berkecipak dan burung camar yang masih mencari ikan. Ia ingat sebuah lagu lama:
Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan di balik awan*)
Ia ingin pulang, sungguh. Tapi ia mesti pulang ke mana? Di dunia ini tidak ada lagi saudaranya. Ia hilang ditelan peradaban, bahkan kini ia pun terdampar di sebuah pantai yang takbernama, takberwaktu. Dan pantai itu kini memunculkan senja. Mega-mega berarak dalam cahaya, dan tidak pernah diketahui kapan senja dan segala yang bercahaya itu akan berakhir.
“Please, datanglah padaku malam, sebelum aku mati,” ujarnya lirih.
Ia taklagi mengenal lapar. O, ia taklagi mengenal dahaga. Ia hanya ingin malam menjelang. Dan ia akan rebah, jatuh terlentang dalam pasir yang basah dan rembulan purnama yang memayunginya. Bagai lagu keroncong, ia pun akan menjadi bahagia**). Bahagia dan tersenyum manis di bawah rembulan. Dan ia pun akan merasakan kenikmatan. Lebih indah dari pelukan. Lebih indah dari dekapan. Dan lebih panas dari sebuah ciuman. Ia akan merasakan segalanya, dimana malam akan selalu memayunginya dan membacakan sebuah sajak untuknya. Ya, sebuah sajak. Sajak yang berarti akhir dari segala.
“Dan senja akan selalu membawaku bercerita tentang sunyi,” katanya dalam linangan airmata.
24.35
Sepertinya waktu hanya merayap kosong belaka. Waktu berjalan hanya sepenggal saja. Ia hanya berjalan sampai senja, dan ketika senja waktu itu takberjalan lagi. Laki-laki itu masih berjalan di pantai. Tidak pernah ada ujung, dan memang sejauh mata memandang hanya lautan pasir belaka. Segalanya hanya pasir dan airlaut, dan senja. Bagaimana pun ia juga ingin pulang. Mengunjungi segala yang dicintai dan yang pernah dicintainya. Ia akan selalu bertanya, apa kabar rumah? Apa kabar Jakarta? Apa kabar Indonesia? Apa kabar…Oiya, apa kabar kamu? Apakah kamu baik-baik saja selama kita berpisah? Bagaimana pun. Tentunya ia takmungkin bisa pulang sekarang, karena waktu masih beranjak di senja. Terus berputar-putar di senja. Dan tidak tahu kapan akan berpaling dari senja. Senja akan abadi di sini, pikirnya. Ah, ia sudah lelah untuk berpikir. Ia terlalu lelah untuk berjalan-jalan lagi.
“Ah, sialan! Shit shit shit! Kenapa masih senja?”
Air laut masih bermain dengan pasir pantai.
“Kamu egois! Ingin menang sendiri!”
“Di mana kau!”
Taksatupun yang mendengarnya. Suaranya kalah oleh air laut. Cakrawala masih senja. Tentunya akan selalu senja. Karena di pantai ini, taksatu orang jua pun yang mampu mengubah cakrawala. Hanya Dia. Namun, Dia pun masih ingin bermain dengan senja. Takada satu kuasa pun yang bisa melarangNya.
Ia sudah lelah berjalan. Entah sudah berapa puluh kilometer. Namun perjalanannya itu tidak akan ada akhir dan tujuan. Ia berjalan bagai dalam labirin, berputar-putar dan tidak pernah temukan akhir. Ia sudah putus asa. Rasa sesal sudah terlanjur datang terlambat. Ia tahu perpisahan akan menyakitkan, dan kehidupan setelah perpisahan yang menyakitkan itu pun akan lebih menyakitkan karena ia takpernah memikirkannya matang-matang.
Syahdan, hari masih saja senja meski waktu telah menunjukkan malam di pantai itu. Laki-laki itu—ya hanya laki-laki itu saja—dalam kemeja putih yang sudah lusuh dan celana hitam yang telah robek sana-sini. Mega-mega selalu memantulkan cahaya. Matahari takkan pernah tenggelam ke balik lautan. Laki-laki itu taktahu bagaimana mengubah senja yang berkilauan tersebut. Tidak akan pernah tahu.
“Bagaimana aku bisa keluar dari sunyi?” teriaknya.
Suatu Senja di Masa Depan
“Kakek lihat ada dua mayat!”
Seorang anak kecil berlari-lari di pasir pantai yang basah senja itu. Kakeknya sedang membetulkan perahunya yang sedikit pecah dihantam karang. Ia tertegun mendengar kabar yang dibawa anaknya tersebut. Lagi-lagi laut membawa mayat. Dan laut akan selalu membawa apa saja, karena laut bagai sebuah cerita.
“Hmm…Seorang laki-laki dan perempuan,” ujar kakek tersebut.
“Bau busuk kek! Kira-kira darimana ya?”
Kakek itu terdiam.
“Barangkali dua mayat ini adalah korban ketidakbahagiaan, nak,” jawabnya datar.
Dan pantai akan selalu bercerita tentang air laut dan senja.
Bandung, 23 Mei 2010
19:43
*)lirik lagu “Burung Camar”-Vina Panduwinata
**)dimabil dari isi lirik lagu keroncong “Di Bawah Sinar Bulan Purnama”
16.35
Perempuan itu berdiri mematung di tepi pantai. Air laut memainkan kakinya, dan pasir basah pun ikut menempel di kakinya yang putih. Senja masih terlalu lama untuk tenggelam ke dalam lautan, dan agaknya ia memang ingin menunggu senja menghilang. Matanya sayu. Bajunya yang putih kini telah lusuh dan basah oleh airlaut. Angin yang bergaram memainkan rambutnya yang panjang, sangat panjang. Dan entah sampai kapan lagi ia akan mematung di sana, memandangi airlaut yang tertawa lepas, dan senja belum sampai pada batasnya. Ia masih menunggu senja itu berakhir.
“Cepatlah menjadi malam, dan datanglah kembali,” katanya.
Perempuan itu taktahu bahwa hari terlampau panjang untuk menjadi malam. Matahari belum mau menyudahi ceritanya. Ia masih ingin bermain-main dengan cakrawala. Dan perempuan itu agaknya takmengerti tentang matahari, mengapa sudah jam segini hari masih senja padahal seharusnya sudah malam. Ah, barangkali jam ini ngaco, atau memang waktu sudah takberaturan? Tidak ada lagi malam? Tidak ada lagi rembulan? Entahlah.
Waktu terus bergulir dan perempuan itu masih di sana.
“Mungkin kita selalu terjebak sunyi,” katanya.
17.35
Cakrawala merah saga. Matahari masih berada di sana. Dan pantai masih seperti dulu. Laki-laki itu berjalan di antara pasir basah. Bulu babi bergelinding tertiup angin yang bergaram. O, laut tetap saja masih menjadi misteri. Melenyapkan segala kenangan dan waktu yang bergulir. Biarlah, pikirnya. Biarlah segalanya lenyap dan dilarung ombak, barangkali ia memang pantas dilarung ombak. Burung camar terbang rendah mencari ikan di permukaan laut. Laki-laki itu, siapa ia? Entahlah. Ia memang terbuang. Dan mencoba mengais-ngais sisa waktu yang dahulu pernah ia gunakan bersama kekasihnya. Sudah tenggelamkah kiranya waktu dan kenangan itu di dasar lautan? Apakah bisa diselami lagi olehnya untuk mengangkat kembali ke permukaan?
Laut mengungkap perpisahan. Pertemuan selalu akan berujung dengan perpisahan. Laut itu hanya sekali saja menyapa pasir, menyapa pantai, menyapa daratan. Dan setelah itu ia kembali bertualang di samudera. Berbeda dunia. Mengunjungi pantai-pantai di belahan dunia lain. Laki-laki itu berpikir, apakah hidup seperti air laut? Datang hanya sebentar, sangat sebentar, dan kembali pergi menuju kehidupan selanjutnya? Seperti cinta, ya seperti cinta. Datang dan pergi bergantung pada waktu. Cinta terlalu indah untuk dipisahkan.
“Senja… Aku jadi ingat kamu,” bisiknya pada angin.
Siapakah ia? Dan mengapa langit masih bercahaya keemasan? Ia ingat, sangat ingat, bahkan selalu akan ingat sepanjang hayat bagaimana ia bercinta di kala malam. Cinta memang melankolis, namun bisa menjadi tragis. Dan malam pula yang melenyapkan cinta itu. Senja dan malam, benderang dan muram. Tiba-tiba laki-laki itu tertawa. Sangat terbahak-bahak, seakan-akan pantai, laut dan senja adalah lelucon belaka. Ia tertawa, dan hanya ia saja di pantai itu. Tawanya mengalahkan deru air laut yang riang menyapa pantai.
“Hahahaha! Sudahlah takada gunanya memikirkan ia!”
Lalu ia mengeluarkan handphone di saku bajunya. Dompet di saku celana pun ia keluarkan. Ia lemparkan benda-benda itu ke lautan lepas. Ia masih bisa melihat semua benda yang kini telah melayang di udara sebelum akhirnya lenyap di lautan. Ia kembali tertawa.
“Selesai sudah! Goodbye, so long!”
Perpisahan memang menyakitkan. Dan laki-laki itu kini telah merasakannya, bagaimana sebuah perpisahan bisa mengubah waktu dan kenangan. Bagaimana perpisahan bisa membawanya ke dalam ruang yang takberwaktu, atau barangkali memang takdikenal waktu. Senja masih bercahaya keemasan. Laki-laki itu akan kembali pada senja, pada cakrawala yang selalu melingkupinya. Dan laut masih bercerita, melepas rindu yang menggebu pada pantai.
“Tidak mudah bagi kita untuk melupakan sunyi!” teriaknya pada senja.
19.35
Waktu sudah menunjukkan malam, namun ini masih senja. Oladalah, mengapa hari belum menjadi malam? Senja masih bercahaya, dengan lempeng-lempeng kemilaunya yang selalu bercahaya. Matahari belum mau tenggelam ke dalam lautan. Dan pantai masih menyisakan seonggok cerita bagi laut.
Pantai berbisik lirih, dan laut mendengarnya dengan syahdu. O, manusia memang takakan selamanya sama. Manusia mempunyai dua dunia. Dan dunia itu akan selalu berbenturan, takpernah bisa beriringan. Sudahlah, meskipun hari sudah menunjukkan malam, matahari masih ingin bercerita pada cakrawala dan pantai pun masih ingin bercerita pada laut. Sudah berapa banyakkah laut menenggelamkan cinta dua manusia? Kadangkala mereka bertengkar di dermaga atau tepi pantai kala senja dan membuang segala cintanya ke laut pada malam harinya. Bukankah cinta didapat dengan sangat berharga dan menyusahkan? Lantas mengapa membuang cinta begitu mudah?
Air laut menyapa pantai, “Hai!”. Begitulah, sepanjang waktu. Dan perahu nelayan masih teronggok bisu menunggu malam tiba. Angin masih membawa kabar dari senja bahwa ia masih ingin berdiam di cakrawala. Dan burung camar terbang riuh rendah, semakin banyak, mencari ikan-ikan yang berenang bebas. Pantai sepi. Deru ombaknya menjadi suatu orkestra. Bisa jadi menjadi sebuah lagu jazz, ataupun keroncong. Di dunia ini, segala sesuatu bisa menjadi sebuah irama. Deru ombak pun bisa menjadi suatu lagu, dan iramanya akan selalu terkenang sepanjang masa.
Di pantai itu, sudah tidak ada lagi cinta. Kemarin ataupun esok. Segala sesuatu akan berujung pada perpisahan dan takdir. Ya, segala sesuatu memiliki takdirnya masing-masing. Angin tidak lagi membawa kabar. Dan senja masih berkuasa atas segala.
Malam takpernah datang di pantai itu. Takpernah. Yang datang hanya kesunyian dan air laut yang selalu ingin mendengar semua cerita dari pantai.
Sayup-sayup terdengar elegi yang lirih dan sendu. Oh, bertapa sendu…
Laut akan selalu menyampaikan sunyi.
21.35
“Hei bukankah ini sudah malam? Kenapa masih senja?” protes perempuan itu pada langit. Namun langit masih tetap senja. Senja masih tetap kemerahan. Dan matahari masih tetap berbingkai dalam lempeng cahaya. Ia tercenung, barangkali arlojinya rusak atau ngaco. Dibukanya arloji itu dan dilemparkan ke laut. Tenggelam di laut. Hilang dalam biru. Apakah ia menyesal membuang arlojinya yang sangat berharga tersebut? Tidak. Ia harus melenyapkan semua. Ia harus melenyapkan kenangan. Dan kenangan pahit sudah semestinya dilupakan.
Kini ia tidak punya lagi penunjuk waktu. Atau mungkin ia sudah tidak lagi mengenal waktu, dan punya waktu. Ia lumpuh di tepi pantai itu. Pandangannya masih lurus ke depan. Memandang ombak berkecipak dan burung camar yang masih mencari ikan. Ia ingat sebuah lagu lama:
Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan di balik awan*)
Ia ingin pulang, sungguh. Tapi ia mesti pulang ke mana? Di dunia ini tidak ada lagi saudaranya. Ia hilang ditelan peradaban, bahkan kini ia pun terdampar di sebuah pantai yang takbernama, takberwaktu. Dan pantai itu kini memunculkan senja. Mega-mega berarak dalam cahaya, dan tidak pernah diketahui kapan senja dan segala yang bercahaya itu akan berakhir.
“Please, datanglah padaku malam, sebelum aku mati,” ujarnya lirih.
Ia taklagi mengenal lapar. O, ia taklagi mengenal dahaga. Ia hanya ingin malam menjelang. Dan ia akan rebah, jatuh terlentang dalam pasir yang basah dan rembulan purnama yang memayunginya. Bagai lagu keroncong, ia pun akan menjadi bahagia**). Bahagia dan tersenyum manis di bawah rembulan. Dan ia pun akan merasakan kenikmatan. Lebih indah dari pelukan. Lebih indah dari dekapan. Dan lebih panas dari sebuah ciuman. Ia akan merasakan segalanya, dimana malam akan selalu memayunginya dan membacakan sebuah sajak untuknya. Ya, sebuah sajak. Sajak yang berarti akhir dari segala.
“Dan senja akan selalu membawaku bercerita tentang sunyi,” katanya dalam linangan airmata.
24.35
Sepertinya waktu hanya merayap kosong belaka. Waktu berjalan hanya sepenggal saja. Ia hanya berjalan sampai senja, dan ketika senja waktu itu takberjalan lagi. Laki-laki itu masih berjalan di pantai. Tidak pernah ada ujung, dan memang sejauh mata memandang hanya lautan pasir belaka. Segalanya hanya pasir dan airlaut, dan senja. Bagaimana pun ia juga ingin pulang. Mengunjungi segala yang dicintai dan yang pernah dicintainya. Ia akan selalu bertanya, apa kabar rumah? Apa kabar Jakarta? Apa kabar Indonesia? Apa kabar…Oiya, apa kabar kamu? Apakah kamu baik-baik saja selama kita berpisah? Bagaimana pun. Tentunya ia takmungkin bisa pulang sekarang, karena waktu masih beranjak di senja. Terus berputar-putar di senja. Dan tidak tahu kapan akan berpaling dari senja. Senja akan abadi di sini, pikirnya. Ah, ia sudah lelah untuk berpikir. Ia terlalu lelah untuk berjalan-jalan lagi.
“Ah, sialan! Shit shit shit! Kenapa masih senja?”
Air laut masih bermain dengan pasir pantai.
“Kamu egois! Ingin menang sendiri!”
“Di mana kau!”
Taksatupun yang mendengarnya. Suaranya kalah oleh air laut. Cakrawala masih senja. Tentunya akan selalu senja. Karena di pantai ini, taksatu orang jua pun yang mampu mengubah cakrawala. Hanya Dia. Namun, Dia pun masih ingin bermain dengan senja. Takada satu kuasa pun yang bisa melarangNya.
Ia sudah lelah berjalan. Entah sudah berapa puluh kilometer. Namun perjalanannya itu tidak akan ada akhir dan tujuan. Ia berjalan bagai dalam labirin, berputar-putar dan tidak pernah temukan akhir. Ia sudah putus asa. Rasa sesal sudah terlanjur datang terlambat. Ia tahu perpisahan akan menyakitkan, dan kehidupan setelah perpisahan yang menyakitkan itu pun akan lebih menyakitkan karena ia takpernah memikirkannya matang-matang.
Syahdan, hari masih saja senja meski waktu telah menunjukkan malam di pantai itu. Laki-laki itu—ya hanya laki-laki itu saja—dalam kemeja putih yang sudah lusuh dan celana hitam yang telah robek sana-sini. Mega-mega selalu memantulkan cahaya. Matahari takkan pernah tenggelam ke balik lautan. Laki-laki itu taktahu bagaimana mengubah senja yang berkilauan tersebut. Tidak akan pernah tahu.
“Bagaimana aku bisa keluar dari sunyi?” teriaknya.
Suatu Senja di Masa Depan
“Kakek lihat ada dua mayat!”
Seorang anak kecil berlari-lari di pasir pantai yang basah senja itu. Kakeknya sedang membetulkan perahunya yang sedikit pecah dihantam karang. Ia tertegun mendengar kabar yang dibawa anaknya tersebut. Lagi-lagi laut membawa mayat. Dan laut akan selalu membawa apa saja, karena laut bagai sebuah cerita.
“Hmm…Seorang laki-laki dan perempuan,” ujar kakek tersebut.
“Bau busuk kek! Kira-kira darimana ya?”
Kakek itu terdiam.
“Barangkali dua mayat ini adalah korban ketidakbahagiaan, nak,” jawabnya datar.
Dan pantai akan selalu bercerita tentang air laut dan senja.
Bandung, 23 Mei 2010
19:43
*)lirik lagu “Burung Camar”-Vina Panduwinata
**)dimabil dari isi lirik lagu keroncong “Di Bawah Sinar Bulan Purnama”
Sunday, 25 December 2011
Malam Minggu, 24 September 2011, 23:22
Tiba-tiba aku ingin menulis. Detik ini juga kupaksakan diri untuk menulis meskipun aku lelah. Entahlah, akhir-akhir ini aku sering lelah walaupun kenyataannya sehari-hari aku tidak punya kerjaan apa-apa. Mungkin karena ketidakpunya kerjaan itulah tubuhku menjadi lemah dan mudah lelah. Lelah fisik maupun lelah pikiran. Aku terlalu banyak berpikir, berpikri tentang bagaimana masa depanku, bagaimana mengubah negara ini dengan pikiranku.
Setiap hari aku menunggu kabar dari kekasihku. Namun, terkadang tidak selamanya ia “ada”. Aku sering mendapati ia “menghilang” dari kehidupanku. Aku tidak tahu kabarnya, sedang apa di sana, dan apakah ia juga sedang memikirkanku atau tidak (maaf sayang kutulis ini karena memang perasaanku selalu gundah). Suara merdumu belum mampu untuk meredam rasa gundahku. Aku ingin bertemu denganmu, mungkin.
Aku terlalu sering memikirkan situasi di luar sana. Apakah memang orang-orang sudah melupakan nilai-nilai kemanusiaan? Seminggu lagi tahun berganti, dan kenyataanya tidak ada perubahan baik yang terjadi akhir-akhir ini. Aku selalu memiliki pertanyaan besar dalam hidupku sekarang. Bagaimana jika nanti aku punya anak? Apakah ia akan hidup dengan aman di kotanya? Apakah ia akan hidup sejahtera di negaranya sendiri?
Aku ingat, ini adalah malam Natal. Malam yang disakralkan oleh umat Kristiani. Malam yang Kudus. Suci. Mereka merayakannya dengan penuh khidmat. Aku bukan pengikut mereka, maka aku akan merayakan malam ini dengan perasaan yang rawan. Yeah, barangkali kita semua tahu, setiap kali ada perayaan hari besar agama lain, kaum-kaum proletar di segenap penjuru kota akan mendatangi tempat-tempat ibadah umat mereka. Ketika Natal, kaum-kaum tersebut akan mendatangi gereja-gereja dan siap menjalankan aktivitasnya dengan menengadahkan tangan 01meminta rezeki di hari yang suci (padahal mereka semua punya hape). Ketika tahun baru Imlek, mereka akan menyerbu kuil-kuil dan berebut sembako serta sedekah gratis. Aku malu. Rata-rata mereka mempunyai agama yang sama dengan agama yang kuanut. Agama yang katanya penuh rahmat dan saling mengasihi di antara sesama umatnya. Maaf, aku bukan menjelekkan agamaku. Aku hanya sedih membayangkan kemiskinan masih membayangi negara religius ini. Aku sedih melihat mereka berebut sekadar makanan dan uang yang tidak seberapa (bagi umat agama lain) jumlahnya itu. Aku sedih sekaligus kecewa melihat kemiskinan telah membutakan mata mereka. Mereka tidak lagi sungkan melanggar ketertiban, rasa lapar telah membuat mereka beringas. Barangkali aku lebih memuji seorang pemulung di Bantar Gebang, miskin tapi masih bisa bekerja. Aku masih salut kepada pengamen tua yang sendiri saja mengamen, dengan instrumen gitar yang ia mainkan tanpa nyanyian, tanpa suara gendang, dan aku mendengarnya dengan penuh keharuan di depan rumahku tadi siang. Inikah wajah negaraku? Orang miskin dipelihara oleh negara, setidaknya itu kata Undang-undang. Ya, barangkali mereka dipelihara untuk dijadikan boneka, boneka kekuasaan, boneka politik uang, serta boneka kepuasan pribadi.
Apakah kaum-kaum tersebut akan menjadi kaum-kaum marjinal di negara bahkan di agamanya sendiri? Kaum-kaum feodal yang mengatasnamakan dirinya penguasa akan dengan mudah memarjinalkan mereka. Kaum lelaki akan dengan mudahnya mematriarki perempuan. Aku sendiri pun terkadang sering menjadi kaum yang marjinal. Kaum yang selalu beronani untuk melangsungkan hidupnya. Marjinal tanpa sengaja. Marjinal yang buta. Berbahagialah mereka yang merasa dirinya penguasa. Penguasa yang menjual basa-basi.
Mira…
Jika kau membaca tulisan ini, apakah kau akan bisa membaca kegelisahanku tentang hidup? Apakah kau akan bisa menenangkanku seperti kau menenangkan air mata cengengku tempo hari? Maaf jika aku menjadi jarang untuk mengirimkan puisi padamu. Aku sangat lelah berpikir. Aku menjadi seseorang yang kritis. Aku menjadi tidak suka berbasa-basi. Aku akan selalu mengantuk dan ingin tidur jika kudengar orang-orang meributkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu untuk diributkan. Dan terkadang aku menjadi sangat jarang mempercayai orang. Aku ingin beristirahat dengan nyaman. Dan aku ingin kau ada di sisiku lagi…
Friday, 23 December 2011
POLITIK ADAT VS. POLITIK UANG : Mengenai Kasus Mesuji yang Tak Terselesaikan
Pembaca yang Baik…
Saya sudah dengar. Saya sudah baca. Saya sudah lihat semua. Barangkali Pembaca yang Baik pun sudah pada mengetahui semua, kasus apa yang kini tengah hangat dibicarakan di media. Kini, kita dihadapkan kepada sebuah kasus multidimensi, yakni kasus kekerasan yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan. Kasus yang menggemparkan Indonesia di akhir tahun ini hampir setiap hari kita temui kemuculannya di berbagai media. Barangkali, kita pun sudah menganggapnya sebagai berita menarik sebagai teman minum kopi, serta sebagai obrolan menarik yang boleh kita perbincangkan di warung-warung kopi.
Saya suka mengandaikan diri menjadi seorang redaktur di sebuah media masa. Ketika akhir pekan, seorang redaktur biasanya akan menulis editorial atau tajuk rencana. Maka saya pun ikut-ikutan menulis tulisan yang saya anggap sebagai tajuk rencana versi blog pribadi saya J. Kekerasan di Mesuji merupakan kasus fenomenal yang terjadi di penghujung akhir tahun ini. Setidaknya, DPR pun turun tangan dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) guna menyelidiki kasus sengketa lahan yang mencuat akibat beredarnya video kekerasan tersebut. Dugaan pertama berdasarkan video, yang melakukan tindak kekerasan tersebut ialah kaum aparat keamanan. Pertanyaan yang terkait adalah apakah benar aparat (Polisi dan Pamong Praja) yang seharusnya melindungi rakyat malah menjadi alat pelindung penguasa yang haus uang?
Kasus Mesuji pertama kali dipicu oleh sengketa lahan antara warga sekitar dengan pihak perusahaan. Warga mengklaim tanah perkebunan kelapa sawit tersebut merupakan tanah warisan adat milik mereka. Klaim tersebut kemudian dibantah oleh pihak-pihak perusahaan yang menganggap bahwa area perkebunan kelapa sawit itu bukan milik rakyat, melainkan milik PT SWA (Sumber Wangi Alam). Tentunya klaim perusahaan tersebut ada “deking” surat izin dari instansi terkait. Marahlah pihak rakyat. Mereka menyerang perusahaan dan terjadilah kerusuhan. Tujuh orang tewas akibat insiden tersebut, dua dari pihak warga dan lima dari pihak perusahaan.
Kasus-kasus kekerasan seperti ini sepertinya sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan Indonesia. Bukan hanya di daerah Mesuji saja, tetapi daerah-daerah yang selama ini “kaya” selalu menjadi incaran para penguasa-penguasa yang haus uang. Mereka (rakyat, red) selama ini cukup bangga akan tanah warisan adat nenek moyang mereka karena mengandung kekayaan yang cukup untuk tujuh turunan. Tiba-tiba bencana datang. Perusahaan yang haus uang mengklaim tanah-tanah mereka menjadi milik perusahaan. Orang-orang yang berkantong tebal (tetapi tidak punya otak) seenaknya memasang patok pembatas dan orang-orang yang tidak punya kantong tebal (tapi punya otak) akan memprotes pemasangan sepihak tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, kekerasan sengketa tanah sering terjadi di negeri yang kaya ini. Lagi-lagi rakyat kecil yang tertindas. Mereka tidak bisa melawan, kalaupun melawan bias jadi nyawa mereka akan melayang. Namun, mereka sudah tidak memikirkan nyawa lagi demi mempertahankan tanah hak mereka. Baginya tanah lebih berharga daripada nyawa. Selama tanah tersebut menyimpan kekayaan alam, selama itu pula perang akan selalu terjadi di negeri yang katanya kaya ini.
Tanah adat merupakan tanah warisan dari nenek moyang suatu suku tertentu. Maka, bisa dikatakan bahwa tanah-tanah tersebut merupakan warisan budaya turun temurun yang harus dijaga kelestariannya. Namun, politik uang terkadang menghapus status warisan budaya tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang menjaga kebudayaannya. Sampai-sampai ada pasal yang mengatur tentang warisan budaya tersebut. Indonesia memang kaya dengan budaya, sehingga ketika ada satu kebudayaan yang diklaim negara lain, rakyatnya takgentar untuk mempertahankannya. Barangkali budaya mempertahankan warisannya sendiri melekat erat dalam kehidupan rakyatnya, sehingga ketika tanah adat mereka diambil oleh penguasa, mereka pun tidak akan tinggal diam.
Pembaca yang Baik…
Sudah saatnya pemerintah menjadi negosiator yang baik. Pemerintah harus mampu mencari jalan tengah antara sengketa politik adat dengan politik uang. Bukankah pemerintah berpihak kepada rakyat kecil? Saya tahu penguasa juga manusia biasa yang jika diberi di hadapannya segepok uang, air liur mereka menetes-netes semua. Orang butuh uang untuk hidup. Namun, ternyata uang tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat banyak. Uang hanya mampu menyejahterakan individu saja. Hati-hati dengan uang yang semacam itu.
O iya…
Kekerasan di Mesuji sebenarnya terjadi pada tahun 2010, pada bulan April dan November 2011. Nah, kenapa media baru marak memberitakannya sekarang akibat munculnya video kekerasan tersebut? Jangan-jangan ini juga karena politik uang.
Selamat liburan, selamat berakhir tahun.
Bandung, 24 Desember 2011
Sepasang Patung di Taman Kota
Kedua patung itu saling berhadapan. Di taman kota mereka bertemu dan saling bercinta. Kedua patung itu—patung laki-laki dan perempuan—dijadikan simbol peradaban kota yang katanya sudah berbudaya dan maju. Entahlah, aku tidak akan memasalahkan apakah kedua patung tersebut adalah lambang dari kebesaran kota. Yang akan aku ceritakan padamu adalah bagaimana patung itu saling mencinta satu sama lain.
Menjelang senja, taman tersebut dipenuhi banyak orang. Lelaki atau pun perempuan. Tua ataupun muda. Anak-anak ataupun orang tua, karena taman tersebut selalu berkilauan kala senja. Dan kedua patung tersebut pun seringkali dilihat banyak orang, dijadikan objek pemotretan sampai tempat untuk melepas lelah.
Seorang anak kecil bertanya pada kakeknya:
“Kakek, kedua patung itu siapa?”
“Oh, mereka adalah pangeran dan putri yang abadi, nak.”
“Mengapa disebut abadi?”
“Karena dahulu kisah cinta mereka selalu terkenang, bahkan hingga zaman sekarang.”
“Apakah mereka saling mencintai?”
“Ya, karena cinta merekalah kota ini ada.”
“Kok bisa?”
“Kamu harus tahu legendanya. Kapan-kapan kakek akan ceritakan.”
“Oh jadi karena itulah mereka dibuat patung?”
“Ya, kau benar.”
Begitulah, kedua patung itu dibuat atas dasar cinta. Cinta yang kekal, abadi, dan takkan pernah hilang termakan oleh usia. Mereka telah lama tiada, namun patung mereka akan selalu melanjutkan sebuah kisah cinta. Ya, cinta dua manusia itu tertanam dalam sosok kedua patung tersebut.
Ketika malam tiba dimana manusia sudah tidak ada lagi yang bermain di taman itu, sepasang patung itu turun dari tempatnya dan berpelukan dalam cahaya merkuri dan rembulan. Betapa tidak ada yang lebih indah selain berpelukan di bawah cahaya rembulan. Cinta akan selalu kekal, abadi meski cinta tersebut tidak lagi bersarang dalam jiwa manusia melainkan dalam sosok patung laki-laki hitam dan patung perempuan abu-abu. Mereka berpelukan sangat lama, seakan lama tidak berjumpa meski kenyataannya setiap hari mereka terdiam saling berhadapan.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya patung lelaki.
“Kabarku… ada tiga anak kecil yang mengencingiku. Kau bagaimana?” jawab patung perempuan.
“Haha, kabarku… hari ini banyak sekali orang membuang sampah ke tempatku. Ciih, jijik, bau!”
“Sabar sayang, namanya juga patung.”
Mereka pun selalu berpelukan.
“Kau kusam sekali. Betapa marmermu sudah taklagi bercahaya, sayang.” Kata patung lelaki.
“Kau sendiri semakin menghitam. Barangkali batu sungaimu sudah gosong terpanggang matahari selalu.”
“Haha, kau bisa saja, sayang!”
“Kau pun begitu…”
Selalu apabila mereka telah ditakdirkan untuk bertemu dan saling menguji cinta di bawah rembulan, mereka akan berpelukan, menanyakan kabar, dan berakhir dengan ciuman hangat di tengah pelukan mereka. O, sungguh dahsyat sekali kekuatan cinta itu. Meski mereka patung, mereka sudah melupakan siapa kini mereka dan tidak pernah alpa untuk tidak berjumpa di kala malam.
“Padahal aku ingin memelukmu kala senja, dimana cahaya keemasan menyinari kita dan kita akan bercahaya, lelakiku.”
“Aku pun begitu, tetapi kita adalah patung. Jika kita bertemu kala senja, orang-orang pasti akan kabur semua.”
“Ya, kau benar. Betapa kita hanya bercinta dalam remang saja.”
“Bukankah dalam remang itu lebih baik daripada tidak sama sekali?”
“Lelakiku, cinta pun butuh cahaya. Cinta takhanya terjadi dalam keremangan belaka. Cinta selalu membutuhkan cahaya.”
“Bagaimana dengan cahaya lampu dan rembulan ini, sayang?”
Patung perempuan itu menggeleng.
“Tidak, kedua cahaya itu takmampu membuat cinta kita bercahaya.”
“Lantas bagaimana?”
Keduanya terdiam.
“Akan kuusahakan kita bertemu kala senja,” kata si lelaki.
Malam semakin tua. Cahaya rembulan lambat laun tertutup awan. Ini sudah terlalu malam, namun tidak akan ada yang menghalangi kisah cinta mereka. Mereka saling berpelukan, saling memandang dengan penuh cinta, berciuman dan selalu memegang tangan masing-masing. Malam memang sudah tua, namun selalu saja ada satu dua manusia yang masih menyusuri taman. Dan jika ada manusia melihat mereka bercinta, mereka akan langsung menghentikan kisah cinta mereka dan kembali menjadi patung, bertengger tegap di tempatnya masing-masing. Kemudian, mereka akan selalu mendengar teriakan:
“Hoiii!!! Patung itu bisa bergerak!”
***
“Kakek apakah benar patung ini bergerak?” seorang anak kecil lagi bertanya di senja yang lain.
“Akh, itu hanya cerita bohong saja nak. Mana ada patung di dunia ini yang bisa bergerak?” jawab kakeknya.
“Sudahlah, lebih baik nikmati saja senja ini,” kata kakeknya lagi.
Senja kembali turun di taman ini. Cahaya matahari membiasi jalanan di taman sehingga jalanan menjadi keemasan. Kedua patung tersebut masih tegak diam di tempatnya. Patung laki-laki memandang patung perempuan kekasihnya di hadapannya. Sungguh cantik ia. Kalau saja ia tidak ditakdirkan menjadi patung maka ia sudah bercinta dengan kekasihnya itu pun di senja yang indah tersebut. Sayang, mereka hanya patung sahaja. O, cinta abadi memang begitu penuh pengorbanan.
Patung wanita pun balas memandang tajam padanya, seakan ada sesuatu yang hendak disampaikan padanya. Patung laki-laki selalu ingat apa yang diinginkan patung perempuan tersebut semalam. Ia ingin bercinta kala senja. Bisakah ia melakukannya? Bisa saja, namun begitu banyak orang yang berkunjung ke taman ini. Apakah ia mau menimbulkan keonaran dengan bergeraknya ia? Namun, akh cinta memang butuh pengorbanan dan ia sendiri pun telah berjanji untuk mengusahakan agar mereka bisa bercinta kala senja. Ia tatap lagi kekasihnya, matanya yang abu-abu seakan mengisyaratkan sesuatu. Namun ia tidak pernah bisa tahu dengan tepat apakah maksud dari isyarat tersebut. Ia mengikuti nalurinya, dan nalurinya seakan bilang bahwa kekasihnya tersebut sedang berkata:
“Kemarilah, ajaklah aku bercinta senja ini.”
Ia tidak bisa berpikir logis. Matahari senja semakin menyeruak di antara dedaunan. Cahayanya mulai menyinari tubuh kekasihnya. Oh, ternyata memang sangat anggun jika kekasihnya tersebut disinari cahaya senja yang berkilauan. Ia pandang kembali kekasihnya, dan siap mengambil keputusan.
Ia pun turun dari tempatnya.
***
Suatu senja, taman itu menjadi sepi. Tidak ramai lagi seperti dahulu. Orang-orang tidak lagi mengunjungi taman tersebut kala senja meski senja begitu berkilauan begitu keemasan. Kedua patung tersebut masih berada di sana. Patung yang selalu disinari cinta. O, semenjak kejadian tersebut, orang-orang menjadi histeris dan ketakutan. Mereka menganggap kedua patung tersebut berhantu. Mereka semua takut pada kedua patung tersebut. Dan akhirnya mereka pun enggan berjalan-jalan di taman tersebut.
Taman lengang, dedaunan berserakan di jalannya tidak ada yang membersihkan. Kedua patung tersebut taklagi terurus, masing-masing kusam tidak menampakkan kegagahan dan keanggunan lagi. Kedua patung itu membisu. Pandangan matanya layu. Namun cinta mereka takkan pernah layu bahkan semakin berkobar dan membara seperti cahaya senja yang keemasan.
“Katakan, bahwa cinta kita akan selalu ada kan?” tanya patung perempuan.
Patung lelaki hanya terdiam. Hanya pandangan matanyalah yang mampu ia ungkapkan.
“Katakan lelakiku, katakan. Apakah cinta kita selalu ada?”
Patung lelaki memandangnya dengan penuh haru dan sayu.
“Sampai kapan pun aku akan mencintaimu!”
Mereka akan tetap berada di sana, meski malam cahaya rembulan yang dulu sering mereka tunggu. Mereka takberanjak dari tempatnya masing-masing, entah mengapa. Semenjak kejadian nekat tersebut, keduanya seakan memiliki jarak namun mereka tetap saling mencinta. Entahlah, mereka hanya tercipta sebagai patung sahaja. Mereka tidak pernah mengetahui mengapa mereka dilahirkan kembali menjadi sepasang patung dengan cinta yang sama, dan tempat yang sama. Meski semua sama, tubuh mereka menjadi tidak sama.
“Katakan, mengapa kita tidak lagi bisa bertemu lelakiku?”
“Maaf.”
“Maaf? Maaf untuk apa?”
“Maaf atas perbuatanku senja itu.”
“Kau masih memikirkannya? Dan makanya kita jadi begini karena kejadian itu?”
Patung lelaki terdiam.
“Lelakiku! Sampai kapan pun kau tidak pernah menyadari bahwa cinta yang abadi selalu didera rintangan, selalu diuji yang membutuhkan pengorbanan. Kau tidak pernah menyadari bahwa cinta kita abadi, dan karena abadi itulah kita sering diuji oleh kehidupan. Perahu yang terus berlayar ke tengah samudera pun makin ke tengah makin hebat gelombang yang mendera!” seru patung perempuan.
Patung lelaki terdiam. Ia hanyut dalam kekalutan pikirannya. Oh, masih pantaskah ia mencintainya hanya karena ia dihidupkan kembali menjadi sebuah patung. Masih pantaskah? Masih pantaskah? Masih pantaskah? Masih pantaskah?
Patung lelaki larut dalam pikirannya sehingga ia tidak menyadari… Ya, ia tidak menyadari bahwa seseorang telah memasang semacam papan di tempat yang ia pijak. Ia tidak menyadari bahwa papan itu bertuliskan:
PATUNG INI AKAN DIROBOHKAN
Ia takpernah menyadari, atau mungkin ia sadar tetapi pura-pura tidak tahu karena barangkali ia belum siap berpisah lagi dengan kekasihnya yang kini sedang berlinang airmata ketika membaca tulisan yang tertera di hadapannya.
***
Seminggu kemudian seorang anak kecil dan kakeknya kembali berjalan-jalan di taman itu.
“Kakek, kok patung laki-lakinya dihancurkan?”
“Nak, mungkin patung tersebut dihancurkan karena ia berhantu. Makanya agar hantunya hilang, patung tersebut harus dihancurkan.”
“Lantas kenapa patung perempuannya tidak dihancurkan pula?”
“Itulah masalahnya, mungkin patung laki-laki itu akan menangis harus pergi meninggalkan patung perempuan itu,” kakek itu menggandeng tangan cucunya dengan erat mendekati patung perempuan itu.
“Kakek, kok patung ini penuh bercak hitam?” tanya cucunya.
“Mungkin ini adalah sisa-sisa patung laki-laki hitam itu…”
“Kalau ia manusia, pasti patung ini menangis yang kek?”
“Haha, anak lucu. Mungkin saja patung ini akan menangis.”
Taman disinari cahaya senja. Menyelusup dari celah dedaunan yang sesekali bergoyang ditiup angin. Patung perempuan itu masih tetap berdiri pada tempatnya, namun ia hanya memandang kekosongan belaka. Tiada lagi kekasihnya. Tiada lagi cerita. Yang ada hanya cinta, kenangan, dan serpihan debu-debu hitam kekasihnya yang tidak akan ia hapus begitu saja.
“Kakek, patung itu menangis!”
Bandung, 28 Mei 2010
22.42
EL DE ER : Perbincangan Kontemporer Tentang Cinta Lintas Lokasi
-->
Dari jauh kudengar lagu yang berlirik seperti berikut.
Boga kabogoh jauh
Mentas laut leuweung gunung
Tapi apél teu bingung
Cukup hallo na telepon[1]
Lagu Sunda tersebut menceritakan tentang perjalanan cinta beda daerah. Dalam dunia percintaan di Indonesia, kita mengenal ada istilah LDR (bukan Lelaki Duda Rawasari). Nah, LDR itu sendiri merupakan kepanjangan dari Long Distance Relationship (Hubungan jarak jauh). Istilah LDR memang dipakai untuk menyatakan hubungan percintaan antar lawan jenis yang memiliki perbedaan lokasi, misalnya laki-laki Bandung berpacaran dengan perempuan yang berasal dari Jakarta.
Hubungan LDR biasanya terjadi karena ada salah satu dari pasangan yang terpaksa harus pergi ke luar kota. Entah itu untuk menuntut ilmu, pindah tempat tinggal, pindah kerja, ditugaskan, dibuang ketika dipenjara, atau memang ketika mereka memutuskan untuk berpacaran, mereka telah dipisah oleh jarak.
Istilah ini memang tidak semua orang tahu. Barangkali yang tahu istilah ini hanya orang-orang yang pernah jatuh cinta, pernah merasakan hubungan jarak jauh, serta orang yang up to date mengenai masalah percintaan. Yeah, hubungan percintaan jarak jauh dilakukan karena cinta memang tidak mengenal jarak. Kita tidak pernah tahu bahwa kita kelak akan jatuh cinta dengan siapa, dimana, dan kapan terjadinya. Semua selalu menjadi misteri.
Pasangan yang melakukan LDR sudah pasti memiliki komitmen. Biasanya komitmen yang terjadi adalah menetukan kapan waktu yang pas untuk bertemu, pengikatan sebuah kepercayaan antara kedua belah pihak, bahkan perjanjian untuk sehidup semati. Memang, masalah utama yang mendasari hubungan LDR adalah sulitnya bertemu bahkan terkadang satu sama lain tidak tahu kapan lagi bisa bertemu dan memadu kasih. Mereka hanya mengandalkan komunikasi. Di era teknologi yang canggih di masa sekarang, meskipun raga tidak bisa bertemu, mereka masih bisa mengetahui kabar masing-masing dengan berkomunikasi via handphone, telepon, juga via dunia maya. Cukup bermodal pulsa yang banyak, mereka bisa berkomunikasi dengan cara telepon atau pun SMS kepada kekasihnya nun jauh di sana. Dengan teknologi, jarak yang jauh serasa menjadi dekat.
Akan tetapi, manusia terkadang tidak selalu merasa puas atas apa yang dimilikinya. Meskipun sudah bisa berkomunikasi satu sama lain, selalu saja ada keinginan untuk bertemu dan bertatap wajah. Hal ini memang manusiawi. Manusia tidak bisa dilepaskan dari manusia lain. Saling membutuhkan. Seorang laki-laki akan selalu merasa sendiri sebelum ia bertemu dengan kekasihnya yang jauh di sana. Pertemuan demi pertemuan akan selalu diidam-idamkan bagi pasangan yang memutuskan untuk melakukan hubungan LDR.
Tidak mudah memang untuk melakukannya. Selain komunikasi seperti di atas, kita butuh semacam kepercayaan yang mengikat masing-masing pasangan. Namun, apakah kita lantas bisa percaya begitu saja kepada kekasih kita di zaman yang kata Ronggowarsito disebut dengan Kalatidha[2]? Di zaman sekarang, kepercayaan memang mahal harganya. Orang bisa melanggar kepercayaan yang telah ia buat dengan seenaknya. Pasangan yang telah berjanji untuk tidak akan selingkuh selama hubungan LDR acapkali melupakan janji mereka. Malah, perselingkuhan seperti inilah yang lebih menyakitkan. Ketika menjalani LDR, seseorang tidak akan bisa untuk mengawasi pasangannya. Kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan pasangan kita nun jauh di sana. Bagaimana aktivitas mereka, mereka jalan dengan siapa, mereka berkomunikasi di HP dengan siapa saja. Hal-hal itulah yang selalu menghantui kekuatan cinta pasangan LDR. Mereka hanya mengandalkan kepercayaan dari pasangan bahwa di sana mereka tidak akan berbuat selingkuh, dan mau tidak mau kita harus mempercayainya bukan?
Di sinilah kekuatan cinta antara pasangan LDR. Apakah mereka akan selalu meneguhkan hubungan mereka meski mereka telah melakukan hubungan LDR lebih dari setahun? Cinta yang sejati, kukira, adalah cinta yang tahan uji. Hubungan LDR salah satunya adalah ujian yang baik untuk menguji sebuah cinta. Apa pun aktivitas masing-masing pasangan, dengan siapa mereka berkomunikasi di sana, tentunya kita harus kembali lagi pada komitmen pasangan, bahwa kita saling mencintai satu sama lain. Percaya pada cinta yang telah dibangun merupakan kekuatan terbesar untuk menguatkan hubungan LDR ini.
Kepercayaan yang kuat akan dengan mudah mengalahkan gelombang-gelombang yang menghadang. Masing-masing pasangan percaya bahwa sejauh apa pun jarak memisahkan mereka, mereka akan dipersatukan oleh cinta itu sendiri. Sebab, menjalani hubungan LDR bagi mereka merupakan prosesi yang nantinya akan menyatukan mereka ke dalam pelaminan, terlebih bagi pasangan yang telah serius. Mereka akan berusaha untuk kuat, bertahan, dan menjalaninya. Seorang laki-laki yang bekerja di pulau lain dan terpaksa meninggalkan kekasihnya, sudah pasti akan berjanji di hadapan kekasihnya kelak jika ia kembali akan meminang kekasihnya tersebut.
Pembaca yang Baik…
Cinta memang menjadi barang yang penuh misteri dalam kehidupan ini. Kita bisa menjadi kuat karena cinta, namun, kita bisa menjadi lemah karena cinta itu sendiri. Hubungan LDR bukanlah menjadi momok yang menakutkan, akan tetapi kita tidak lantas untuk menyepelekannya. Jalanilah sebuah hubungan apa pun kondisinya, karena jika memang Tuhan berkata lain, hubungan yang dibangun dengan sungguh-sungguh pun bisa menjadi hancur begitu saja. Jika sudah menjalani hubungan LDR, bersabar dan percayalah, bahwa suatu saat nanti kita akan mendapatkan hasil dari kesabaran kita ketika menjalani hubungan LDR itu sendiri. Jangan takut untuk jatuh cinta ketika jarak takterbahasakan oleh kata-kata, dan pertemuan tidak selalu beranak-pinak.
Ketika mengakhiri tulisan ini, saya teringat tentang nukilan surat yang dikirimkan serdadu Jerman yang sedang bertugas di Stalingrad pada zaman kekuasaan Hitler kepada kekasihnya. Surat itu berbunyi seperti berikut.
“Fotomu kukeluarkan kembali, dan kupandangi lama-lama. Aku ingat pengalaman kita bersama di suatu sore di musim panas tahun-tahun terakhir sebelum perang pecah, ketika kita berjalan pulang melintasi lembah yang sedang mengembang menuju rumah kita. Ketika kita bertemu untuk pertama kali, hanya suara hati yang berbicara dalam diri kita; sesudah itu adalah suara cinta dan kebahagiaan. Kita saling bercerita tentang diri kita sendiri dan tentang masa depan yang terhampar di depan kita seperti permadani berwarna-warni.
Permadani warna-warni itu tidak lagi di sana. Sore musim panas tiada lagi dan juga lembah yang mengembang. Dan kita tidak lagi bersama. Tidak ada lagi permadani, hanya ada padang putih takbertepi; tidak ada lagi musim panas, hanya ada musim dingin; dan tidak ada lagi masa depan, paling tidak bagiku, dan tentu saja juga tidak bagimu. Selama ini aku merasakan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, tetapi sekarang aku tahu bahwa aku mencemaskanmu. Aku merasa meskipun dalam jarak ribuan kilometer, kau merasakan hal yang sama…”[3]
Bandung, 23 Desember 2011
[1] Lirik diambil dari lagu “Kabogoh Jauh” cipta alm. Darso yang dinyanyikan sendiri olehnya.
[2] Zaman Kalatidha adalah sebuah zaman rusak yang diramalkan oleh penyair Ronggowarsito (1802—1873). Zaman ini merupakan zaman yang gila yang menyudutkan posisi manusia, yakni ikut-ikutan menjadi gila atau tidak ikut gila tapi mati kelaparan. Sumber: Novel “Kalatidha” karya Seno Gumira Ajidarma, Gramedia, 2006.
[3] Nukilan surat tersebut merupakan rangkaian dari surat-surat terakhir yang berhasil dikirm pasukan Jerman ketika mereka bertempur di Stalingrad, Rusia, ketika Hitler berkuasa. Surat-surat terakhir tersebut berhasil diterbangkan menuju Jerman sebelum akhirnya mereka tewas oleh peluru Tentara Merah Uni Soviet, tertangkap atau menyerah hingga akhirnya dikirim ke kamp tawanan di Siberia. Baca Schneider, Franz, dkk. 2007. Neraka di Stalingrad. Schneider, Franz, dkk. 2007. Neraka di Stalingrad. Hlm. 57—58.
Sunday, 18 December 2011
PEREMPUAN KEMUNING
Wanita tersebut namanya Kemuning, namun itu bukanlah nama asli. Orang-orang biasa menyebut wanita tersebut dengan nama kemuning karena ia selalu membawa bunga kemuning*) di tangannya. Bunga kemuning nan harum baunya selalu ia pegang ke mana pun ia ada, ke mana pun ia pergi. Aku pun heran dengan tingkahnya itu. Meski begitu, tetap kuacungi jempol padanya karena wajahnya yang cantik dan ayu dengan rambut panjang tergerai semakin menambah pesona kecantikannya. Barangkali aku terpesona karena aku bajingan atau memang benar-benar aku mengaguminya.
Ia selalu terlihat di pantai kala senja. Memandang lautan sunyi yang sesekali menyapanya lewat kecipak ombak di kakinya. Kuperhatikan saja ia dari belakang, atau dari balik pohon kelapa ketika senjahari tiba. Begitulah selalu ia selalu berada di pantai itu memandang desir ombak yang berubah menjadi desir mimpi sehingga orang-orang yang kebetulan di sana pun telah hafal dan seringkali menyapanya.
“Suka pemandangan laut ya mbak?” tanya salah seorang nelayan yang hendak berlayar.
Ia hanya tersenyum manis sambil tetap memegang bunga kemuningnya.
“Ah tidak, saya hanya ingin dolan**) saja,” jawabnya lembut.
Dan ketika ia telah menjawab seperti itu, orang-orang yang bertanya padanya itu akan berlalu dengan tidak bertanya dan berkata lagi. Ia kembali dirundung sunyi, dengan setangkai bunga kemuning nan harum baunya dan kebaya hijau berkain singkap coklat—meski semuanya telah lusuh tersapu angin dan airlaut—ia selalu memesona hatiku.
***
Senja telah tiba. Matahari keemasan bagai lempengan cahaya di cakrawala jingga.
Aku telah siap pergi ke pantai, melihat perempuan yang bernama kemuning tersebut dari balik pohon sahaja. Barangkali aku pecundang, barangkali aku pengec
Saturday, 17 December 2011
MEMANDANG JAKARTA
Jakarta. Sebuah kota yang dahulu bernama Batavia, dan dahulunya lagi bernama Sunda Kelapa. Dalam usianya yang sudah tua, fungsi Jakarta tidak berubah sejak dahulu, yakni sebagai kota perdagangan. Kini merambat menjadi kota industri, pusat pemerintahan, perkantoran, hingga pusat kemegahan dan kesejahteraan manusia Indonesia. Berduyun-duyun orang ke Jakarta, mengadu nasib dan berusaha mencari arti kesejahteraan dan berduyun-duyun pula Jakarta dimasuki oleh masalah-masalah sosial baru yang seperti sengaja dikirim dari kota-kota tempat manusia pencari kerja itu berasal.
Akan sangat menyenangkan jika kita membahas masalah Jakarta bukan dalam situasi yang formal, tetapi dalam obrolan-obrolan ringan di warung kopi sambil mereguk kopi atau bir plethok, makan pisang goreng dan sebatang rokok kretek. Betapa tidak, masalah Jakarta sudah menjadi santapan sehari-hari bagi manusia Jakarta yang mau tidak mau harus terjun ke dalam jurang masalah tersebut. Ya, Jakarta adalah satu dari sekian kota besar lainnya di Indonesia yang memiliki jurang-jurang masalah yang jika dibiarkan terus menerus bisa menjadi semakin dalam dan semakin dalam.
Dalam umur yang tidak lagi muda, Jakarta sudah seharusnya terbiasa untuk membenahi jurang-jurang tersebut. Apalagi dengan menyandang status sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta seharusnya menjadi panutan bagi kota-kota lainnya di Indonesia dalam hal menata kota sebagai pusat aktivitas manusia. Jakarta perlu membutuhkan ruang—bukan hanya ruang terbuka hijau, namun butuh juga ruang untuk berpikir. Kita perlu konsepsi ulang untuk membangun struktur kota, karena konsepsi-konsepsi terdahulu sudah saatnya untuk dikembangkan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.
Manusia semakin berkembang, dan kita pasti yakin bahwa setiap pikiran manusia akan berkembang. Manusia akan selalu mengembangkan diri, mengembangkan pikiran (mengembangkan badan juga?) karena manusia bersifat dinamik. Manusia Jakarta tidak akan selamanya betah berlama-lama terjebak macet di jalan. Manusia Jakarta tidak akan selamanya kuat menahan hawa panas Jakarta yang bisa mencapai suhu 40° Celsius setiap harinya. Manusia Jakarta tidak akan selamanya betah dikirimi banjir dari Bogor. Oleh karena itulah perlu diadakan semacam konsepsi ulang mengenai Jakarta.
Apa itu konsepsi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsepsi adalah rancangan yang ada di dalam pikiran. Sederhana saja. Kita tidak perlu capek-capek membuat Ruang Terbuka Hijau, toh ujung-ujungnya ia tidak akan terawat dan malah menjadi semacam hal yang mubazir belaka. Pembangunan-pembangunan yang dilaksanakan terkadang menjadi tidak tepat guna, dan menjadi kado untuk kelompok tertentu saja. Tengoklah pembangunan Banjir Kanal. Setelah proyek mega tersebut rampung, belum musim hujan saja bantaran di sekitar kanal malah menjadi ladang kangkung darat oleh warga sekitar. Kita lihat bagaimana pembangunan monorail yang terpaksa terhenti di tengah jalan hanya karena pergantian Gubernur. Kini, tiang-tiang beton penyangga monorail tersebut hanya menjadi tiang-tiang berkarat dimakan waktu di Jalan Sudirman.
Saya percaya manusia Jakarta adalah manusia yang dinamik (kalau tidak percaya lihat saja ketika mereka mengejar-ngejar Metro Mini, berebut naik Bus Trans Jakarta, KRL, dsb., J), dan tentunya dinamik itu sendiri dibutuhkan untuk merancang konsepsi tersebut. Kita perlu ubah paradigma kita, jangan cuma maunya protes dan protes. Jika banjir datang, mereka protes sambil berenang-renang ria karena pemerintah kota dinilai lamban untuk menangani banjir. Jika busway telat datang, kita protes bahwa kinerja bus Trans Jakarta buruk. Paradigma itulah yang kebanyakan melanda manusia Jakarta, barangkali manusia-manusia lainnya di Indonesia.
Paradigma terlalu menuntut dan terlalu protes adalah solusi yang tidak baik untuk mewujudkan sebuah perubahan. Jika Anda berprotes untuk mengubah sesuatu, jangan harap perubahan itu akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Benahi pikiran, ubah cara pandang. Kedua hal itulah yang menjadi konsepsi teranyar untuk mengubah kota Jakarta. Apakah bisa dua hal yang sangat sederhana itu bisa mengubah kota yang demikian luasnya? Akal manusia tidak akan pernah terhenti, ia selalu tidak puas dengan apa yang ada. Manusia Jakarta akan selalu tidak puas dengan kondisi transportasi Jakarta. Siapa yang salah? Semua bisa menjadi penyebab semua kesalahan. Pemilik bus, supir, dan penumpang bisa menjadi penyebab buruknya kinerja transportasi Jakarta.
Bung, Nona, dan Nyonya…
Kiranya kita harus selalu mawas diri. Ulama-ulama pun banyak yang bilang seperti itu. Tujuannya agar kita tahu, seberapa besar posisi kita di antara manusia-manusia lainnya. Ketika kita dengan lantang membicarakan kesalahan-kesalahan orang, mungkin orang lain akan berpikir, “memangnye ente udeh jadi orang alim ape?”. Begitulah, kata orang Jakarta adalah kota yang romantis. Namun, kini perlahan keromantisan tersebut hilang seiring dengan berubahnya sikap masyarakat Jakarta yang keras karena terbiasa menjalani kehidupan Jakarta yang keras. Kita mencintai Jakarta, maka kita seharusnya ikut memikirkan solusi apakah yang paling baik untuk membuat Jakarta menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali, menjadi kota yang bisa membuat sembilan juta warganya sejahtera, bukan malah menghujat dan berprotes ria.
Tiba-tiba saya ingin dengar Gambang Kromong. Nyok bang kite mainin lagi!!
Jakarta 26—27 Nopember 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)