Monday, 20 February 2012

PEKERJA INDONESIA, SEJAHTERA DALAM ANGAN-ANGAN


Indonesia merupakan salah satu dari negara yang memiliki jumlah pencari kerja yang banyak. Setiap tahun, ribuan perguruan tinggi di Indonesia melepas ribuan sarjana-sarjana terbaiknya (menurut versi mereka). Sarjana-sarjana tersebut masing-masing berebut untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Jika ingin kerja di bank maka terjadi proses seleksi yang ketat untuk mendapatkan sarjana-sarjana yang berkualitas. Jika ingin kerja di kantoran serta instansi yang bergengsi pun persaingan untuk memperebutkannya semakin ketat dan sulit.
Fenomena tersebut kini lumrah terjadi di Indonesia, sebab lapangan pekerjaan yang ada belum mampu menampung para lulusan tersebut. Mau tidak mau mereka harus menjual kualitas mereka kepada perusahaan yang dilamar. Tidak heran jika dalam surat lamaran, mereka selalu mencantumkan kualifikasi dan kelebihan yang dimiliki agar perusahaan mempertimbangkan si pelamar tersebut (meskipun kebanyakan kualifikasi tersebut bersifat klise).
Sebagai negara yang akan menganut sistem pasar bebas, globalisasi mengharuskan manusia Indonesia memiliki kualitas dan daya saing yang baik dengan manusia dunia lainnya. Sebab, fenomena persaingan antar pencari kerja bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan hampir di seluruh belahan dunia. Organisasi Buruh PBB memprediksi bahwa dunia ini butuh lebih kurang 500 juta lapangan kerja baru untuk mempekerjakan para pencari kerja di seluruh dunia. Itu pun bagi yang sudah tercatat dalam data sensus pencari kerja. Masih banyak lagi kan para pencari kerja yang belum terdata oleh PBB?
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang dijerat masalah pengangguran. Bagaimana tidak, industri yang ada belum mampu menampung jumlah pencari kerja yang ada. Kalau pun dipaksakan menampung, buntutnya pekerja lagi yang dikorbankan. Kasus demo buruh di Cikarang kemarin merupakan bukti bahwa para buruh dari tahun ke tahun semakin menjalar bak tanaman merambat. Tiap tahun industri membuka lowongan pekerjaan, namun terkadang income perusahaan tidak sebanding dengan jumlah karyawan yang ada. Mau tidak mau kesejahteraan para buruh (yang notabene merupakan pekerja tingkat dasar) harus dikorbankan.
Buruh juga manusia. Ia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri. Bagi yang sudah kawin dan punya anak, ia tentu harus menghidupi pula istri dan anak-anaknya tersebut. Bagi yang belum kawin, toh setidaknya ia pun harus mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Mereka bekerja sebenarnya untuk kesejahteraan orang lain, kesejahteraan petinggi mereka, hingga kesejahteraan masyarakat pengguna produk yang dihasilkan mereka. Betul kan?
Kaum buruh sadar. Mereka bisa dikategorikan sebagai kaum yang terintimidasi. Bahasa sosialnya adalah kaum proletar. Akhrinya mereka turun ke jalan, menuntut hak-hak yang selama ini “disembunyikan” oleh demokrasi dan birokrasinya. Tentunya aksi demo buruh ini pun lebih hebat dari aksi pembunuh (siapa yang mampu memblokir jalan tol selain para buruh?)
Mereka berhak menuntut haknya. Namun, apakah mereka telah berhasil menjalankan kewajibannya sebagai pekerja dengan baik?
Muncul sebuah anekdot dalam pikiran saya. Untuk mengukur tingginya semangat kerja para pekerja di Indonesia salah satunya bisa dilihat dari seberat apa ia mengalami sebuah masalah dalam hidupnya. Semakin berat masalah yang dihadapi, apalagi jika sudah menyangkut masalah keuangan, maka semakin besar juga semangat pekerja untuk bekerja dengan giat. Misalnya, ia butuh uang untuk membayar kontrakan, biaya pengobatan rumah sakit, membiayai pernikahan atau kelahiran anaknya, hingga membiayai biaya pendidikan anak atau kerabat. Jika ia sudah memiliki latar belakang kebutuhan finansial, rangsangan untuk bekerja dan mencari uang dengan giat semakin muncul dalam pikiran pekerja Indonesia.
Namun, jika mereka tidak sedang terlibat masalah seperti di atas, adakalanya mereka selalu menomorduakan kedisiplinan. Toh dalam pikiran mereka, musibah sedang tidak berkunjung padanya. Kita sering menjumpai karyawan yang bolos tanpa alasan, pekerja yang masuk ke kantor terlambat, terlebih jika mereka sedang mengalami masa-masa cuti bersama. Rasa malas untuk masuk kerja biasanya selalu menggoda para pekerja di masa-masa pasca cuti bersama. Hal inilah yang saya maksud dengan menomorduakan kedisiplinan.
Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan para pekerja di negara-negara maju, dimana waktu begitu dihargai oleh mereka. Tengoklah Jepang, Korea, atau negara-negara maju di Eropa sana. Para pekerja di sana begitu memperhatikan waktu. Pepatah “waktu adalah uang” sangat dimaknai di dalam kehidupannya. Oleh karena itu mereka tidak mau menyia-nyiakan waktu. Jika bisa dipakai untuk bekerja mereka akan bekerja dengan giat.
Motivasi kerja mereka sudah bukan lagi menyangkut kesejahteraan individu, namun bekerja demi kemajuan bangsa dan negara. Berbeda dengan motivasi pekerja di Indonesia, kerja untuk cari uang, cari kesejahteraan, hingga cari biaya untuk nikah. Tidak heran jika pekerja di negara maju sanggup bekerja lebih dari dua belas jam setiap harinya.
Apakah hal tersebut akan terjadi pula di Indonesia. Tentunya hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pekerja saja. Saya yakin jika kesejahteraan sudah didapat oleh semua pekerja, bahkan sampai pekerja buruh sekali pun, kualitas pekerja di Indonesia pun akan meningkat. Kita bisa mulai dari hal yang paling kecil, yakni menghargai waktu. Jika setiap pekerja sadar bahwa waktu sangat berharga dalam kehidupannya, tentunya budaya terlambat pun menjadi berkurang dan hilang sama sekali. Waktu adalah uang. Semakin mampu kita menghargai waktu, semakin besar pula kesejahteraan bangsa ini akan diperoleh.
Mari bekerja, memulai dari hal-hal kecil yang terkadang sering kita abaikan. Setelah itu, mari disiplinkan diri sendiri.




Bandung, 18 Februari 2012

Friday, 17 February 2012

Sepotong Puisi untuk Kekasihku


Di sebuah senja yang kian meremang, sepasang kekasih bertemu untuk sebuah perpisahan di sebuah dunia yang barangkali tidak pernah mereka sadari sebelumnya. Mereka saling bercerita, dengan gaya bahasanya yang khas, dan tiadalah yang bisa mereka lakukan selain saling menguatkan cinta mereka satu sama lain.

Lelaki  : Di bis kota terakhir menuju kotaku, aku selalu menyayangimu…
Wanita : …Bis terakhir yang meninggalkan kerinduan padamu.
Lelaki  : Kerinduan yang takkan hilang meski senja telah berangsur merambah layu.
              Kerinduan padamu!!!
Wanita : Pada senja yang kian muram, dibayangi langit pekat menambah sendu suasana
              pada malam semu.
Lelaki  : Apakah di sana kau selalu menatap satu bintang yang kau yakini itu adalah
              jelmaan senyumanku yang tak kau sadari selalu menggenang di langit malam…
Wanita : Bintang terang, pada titik yang begitu jauh. Selalu ingin kurengkuh agar
              senyummu juga tak luput dalam mimpiku.
Lelaki  : Selalu juga kukejar bayang-bayangmu yang hilang tanpa arah. Begitulah selalu
              aku menampar wajahku sendiri ketika aku tidak bisa menyentuh bayangmu itu.
Wanita : Bayang-bayang hanyalah bayang-bayang yang selalu menjadi bayang-bayang
              dan akan tetap menjadi bayang-bayang…(terdiam) layaknya bayang-bayangmu
              yang juga hanya mampu kuikuti saat mata terpejam.
Lelaki  : Bayang-bayangmu selalu kucari dalam mimpiku antara ada dan tiada. (menatap
              wajah si wanita) bukankah bayang-bayang juga tidak ada yang abadi? (mema-
              lingkan pandangan, berpikir dan dengan bersuara lirih) tetapi kuharap bayang-
              bayang senyummu akan abadi terlukis di cakrawala.
Wanita : Janganlah terus menerus kau berkejaran dengan bayanganku pada mimpi, kare-
              na kelak mimpi juga menghapus keyakinanmu. Sedang cakrawala hanya mampu
              menyamarkan, bukan menyampaikan.
Lelaki  : Aku mencarimu sayang, namun tak kutemukan kau di sela-sela bintang yang
              bersinar itu. Apakah harus kubaca jiwamu agar aku tahu kemana engkau pergi?
              Aku mencarimu sungguh meski cakrawala itu taklagi benderang.
Keduanya terdiam, saling merangkai kata-kata dalam ingatan untuk kembali diucapkan. Mereka cari kata-kata yang bisa menguatkan, dan betapa sebuah kata mampu menguatkan cinta mereka tanpa pernah goyah sekalipun terhempas oleh gelombang besar yang bergelora.

Wanita : (mendekat) Aku tak ingin kau cari, aku akan datang sendiri sekalipun hanya
              menjelma sebagai langit malam ungu pekat. Wahai kau kekasihku…(seakan-
              iba melihat si lelaki) cakrawala itu akan kembali benderang kala kita hapus se-
              genap kerinduan.
Lelaki  : Aku selalu menunggumu meski kau menjelma menjadi titik-titik air hujan pun,
              karena aku hilang tanpamu. Wahai kau yang terindah… kita sama-sama terlahir
              untuk bersama dan tak ada yang memisahkan kita meski langit mendung pekat!

             

                           

Surat dari Desa


Anak-anak bermain di padang terbuka. Burung-burung merdu berkicau dalam kemilau senja dan mega-mega yang selalu berarak bermain dengan matahari. Dan kulihat semuanya tampak begitu nyata, kekasihku, seperti bayangan yang makin lama makin nyata penampakannya. Semuanya selalu nyata, karena segala yang ada—meski hanya  berbentuk bayang-bayang belaka—akan menjadi suatu hal yang nyata dan fana. Itulah hidup. Itulah kehidupan. Dan itulah desa, sayangku.
Barangkali kita akan menjadi fana dalam waktu. Namun perlu kau ingat, di desa ini kita takmesti harus berpaling dari kehidupan yang bengis. Inilah desa, tempat dimana segala makna ditemukan dan tidak akan ditemukan di belahan kota lain meski kota tersebut sudah rimbun oleh kemajuan teknologi dan asap. Dan di desa ini sayangku, kita akan mudah mengatur laju waktu. Kau akan tampak lebih muda dan cantik karena udara segar dan cahaya matahari yang murni akan selalu membuatmu merona. Percayalah, aku tidak pernah bohong.  Bukankah bohong itu dosa? Desa akan selalu membuatmu kaya, meski kaya bukan berarti bergelimang, kau akan kaya dengan ilmu dan makna.
Senja belum sampai pada batasnya, tenang saja. Di desa senja akan selalu ada, selalu bercahaya, selalu kemilauan, dan selalu merona. Aku berjalan di pematang sawah, menyusuri jalan yang kelak akan kita lalui bersama, dalam senja dan tempat yang sama. Kita menyusuri pematang, menyusuri jalan setapak dengan iring-iringan burung yang selalu mendendangkan kita sebuah nyanyian yang indah melebihi melodia orkestra yang diciptakan oleh manusia. Kita akan selalu mengenangnya, menyimpannya baik-baik dalam ingatan dan tidak akan mudah dilupakan begitu saja oleh waktu dan usia. Namun semuanya hanya harapan sahaja, karena kini, dalam remang senja yang memerahkan cakrawala, aku masih sendiri menyusuri pematang sawah tanpamu. Aku masih menyusuri segenggam harapan tentangmu yang selalu tersusun rapi dalam sanubari, mungkin saja hanya berujud sebuah harapan belaka. Hanya harapan sahaja.
Apa kabar kamu? Semoga di kota sana kau akan tampak selalu bahagia. Aku masih betah di sini, barangkali tidak akan kembali lagi ke sana. Namun jika kau masih sudi untuk menungguku dan bertatap muka denganku, kau tinggal bilang saja. Aku akan kembali padamu dan kuceritakan kisahku selama di desa dengan penuh hasrat agar kau mau mendengarnya. Karena di desa ini aku takkan pernah habis-habis mendulang sebuah kisah. Dan sebuah kisah akan menjadi sebuah kenangan sebuah penanda bahwa aku pernah berada di desa ini, desa yang selalu membuatku bahagia dan selalu mengingat dirimu.
Kau ingat kapan terakhir kali kita bertemu dalam waktu? Aku selalu menunggumu dalam waktu dan berharap akan bertemu bertatap muka dalam waktu pula. Karena di dalam waktulah ada suatu cinta yang akan aku kenang dan aku sembahkan hanya untukmu saja. Masalah perjumpaan atau tidak itu urusan belakangan, tetapi cinta adalah urusan hati. Siapa pun memiliki suatu cinta dalam waktu, tinggal dikeluarkan dalam dunia nyata. Seperti desa yang selalu menjadikan segala bayang-bayang menjadi nyata.
Anak-anak tertawa riang menikmati senja, menikmati alam. Jalan yang kususuri bertemu pada sebuah simpang dan kuputuskan untuk singgah di sebuah kedai. Kupesan minuman sekadar melepas lelah. Hmm, barangkali segelas teh dingin cocok untuk tubuhku yang panas. Teh dingin yang selalu kau minum kala senja. Aku selalu minum dan makan makanan dan minuman yang kau suka karena itu semua akan membuatku selalu mengenangmu. Jangan marah, aku hanya sekadar mengenangmu, karena mungkin saja aku sangat rindu padamu. Teh itu kuminum dengan penuh kenikmatan, kuhabiskan dalam sekali tegukan. Barangkali aku rakus atau benar-benar terlalu dahaga. Tetapi bagaimana lagi? Meskipun teh itu adalah kenangan tentang dirimu, aku terlalu haus dan ingin segera kuhabiskan dengan penuh kenikmatan. Semoga akan kudapati lagi segelas teh yang membuatku kembali teringat dirimu.
Tiada keraguan, tiada keresahan, segalanya serba melayang tanpa pernah takut untuk tersesat. Di desa, aku bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan tidak pernah ada keraguan untuk berpikir sekali lagi, namun apa yang kuputuskan tetap ada dalam suatu garis. Sayangku, apakah segalanya harus diungkapkan dengan kata-kata? Kau selalu terdiam, tetapi aku tahu diammu mengandung kata. Seperti arakan awan yang selalu bergerak di antara mega-mega, seperti desau angin yang memainkan ujung batang padi hingga bergoyang seirama dengan laju waktu. Semuanya tanpa berkata-kata namun aku tahu itu adalah sebuah bahasa yang paling tepat dalam menyampaikan pesannya. Begitulah, aku ingin mengungkapkan apa yang kurasakan di desa ini padamu tanpa banyak berkata-kata—bahkan tanpa satu patah kata pun.
Tentunya aku tidak hanya sekadar membayangkan saja. Sudah kubilang tadi di desa ini segalanya menjadi nyata, tidak sekadar bualan seperti di banyak kota. Dan aku ingin mengajakmu masuk ke dalam dimensiku yang kini sedang menikmati udara desa dan akan selalu menikmatinya sampai kapan pun karena aku memang mencintainya. Seperti mencintaimu. Seperti merindukanmu. Seperti mengingatmu. Ya, hanya semacam itulah. Namun ternyata tidak banyak yang bisa aku lakukan untuk menjadikan semuanya menjadi suatu kenyataan. Dan semoga ketika surat ini sampai di tanganmu, kau baca dan kau pahami betapa rangkaian kata-kata di dalam tulisan ini tidak hanya sekadar rangkaian kata-kata belaka. Surat ini adalah harapan, dan selalu bisa terjadi harapan menjadi kenyataan. Mimpi yang akan berubah menjadi kenyataan. Cita-cita yang kelak bisa diraih. Begitulah suratku, dan hanya kaulah yang bisa mengerti semuanya.
Terimalah bahwa desa tidak selamanya memuakkan. Desa tidak selamanya membuat kau terkucil. Banyak cerita dan kenangan yang bisa kita raih di desa, di tempat dimana kini kakiku berpijak. Dan barangkali kita juga bisa temukan cinta...











Cihonje, 03 Juli 2010
21.38

Hujan Penghabisan


Waktu perlahan bergerak dalam titik-titik air hujan...                         
Mentari berlindung erat di balik lengan ibunya. Hujan deras mengguyur danau kecil itu. Semula, matahari memang terik menyengat daerah itu, menyengat permukaan air danau hingga akhirnya menguap dan lambat laun menjadi surut. Namun, iklim sekarang memang susah untuk ditebak. Baru saja matahari—yang kata Mentari adalah kembarannya—menyengat dengan cahaya benderangnya, mendung datang begitu cepat begitu menggetarkan. Menutup matahari sehingga cakrawala menjadi menggelap begitu saja. Perlahan hujan yang tidak pernah diduga kemunculannya itu terun membasahi tanah yang sebelumnya kerontang. Dan jadilah Mentari dan ibunya pun berusaha mencari tempat untuk berteduh.
Danau itu bukanlah danau yang terluas, bukan pula sebuah objek wisata. Danau itu jauh dari pusat peradaban, dimana hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengunjunginya. Orang-orang memang jarang sekali mengenalnya, tetapi bagi ibu Mentari danau itu adalah sebuah tempat yang mahaindah dan mahadahsyat untuk dilupakan begitu saja. Ia pernah membuat suatu cerita di sana, dan cerita itu tidak pernah hilang meski waktu semakin memutarbalikan keadaan. Ibunya masih akan selalu ingat bagaimana ia pernah membuat suatu kenangan di sana, di danau itu, danau yang sepi dan tenang. Menyeruak ke dalam sunyi.
Nun jauh di balik keramaian kota danau itu berada. Sangat berbeda dengan danau-danau yang lainnya. Angsa-angsa berenang dengan leluasa dan kerumunan burung-burung berpesta pora di cakrawala. Hutan yang masih tampak berseri, air danau yang selalu memantulkan cahaya. Tetapi tiada pernah orang bisa menemukannya, barangkali karena danau ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang masih memiliki hati. Segala pemandangan seperti itu bukan hanya rekayasa imajinasi belaka, segalanya nyata, bahkan lebih nyata dari apa pun yang ada di dunia ini yang sebenarnya hanya tipu daya sahaja. Danau ini nyata, ada di balik cakrawala.
Mereka berlindung di bawah dedaunan yang sangat lebar, entah jenis daun apakah itu. Namun cukup untuk dijadikan tempat berteduh bagi Mentari dan ibunya. Mentari yang mungil memeluk erat ibunya. Hujan dan angin dingin membuat ia menggigil.
“Sabarlah sayang. Ini hanyalah hujan, bukanlah badai,” kata ibunya.
“Memangnya kalau badai kenapa bu?”
“Kalau badai, apa yang ada di sini akan hancur dan musnah,” jawab ibunya.
“Oh begitu? Berarti kita juga ikut musnah dong bu?” tanya Mentari.
“Haha, kamu pasti tidak mau kan?”
“Aku gak mau! Aku mau sama ibu saja!”
Mentari semakin mengeratkan pelukannya. Aroma tanah basah tercium dengan kuat di cuping hidung. Hujan belum tampak akan berakhir. Ibunya pun kedinginan pula, namun ia tidak mau pula terlihat kedinginan di tempat yang ia cintai ini. Hujan ini adalah kenangan pula, dan ia tidak mau melupakan kenangan. Maka ia paksa untuk tidak merasa kedinginan meskipun percik hujan kadang membasahi tubuhnya.
“Kamu kehujanan sayang?” tanya ibunya kembali.
“Tidak ibu, aku hangat di pangkuan ibu,” jawab Mentari.
“Kalau kehujanan bilang ya?”
Mentari mengangguk. Ia selalu merasa aman di dekat ibunya. Akh ibunya yang selalu ia cintai. Memang, ia masih terlalu kecil untuk mengerti bagaimana menyayangi, namun ia tahu ibunya adalah orang yang harus ia sayangi. Ia terlahir tanpa ayah, kata ibunya ayahnya telah meninggal. Dan Mentari yang masih kecil itu pun tidak akan pernah tahu siapa ayahnya, bagaimana bentuk mukanya, dan bagaimana hangat jiwanya apakah sehangat jiwa ibunya ataukah tidak? Ia tidak akan pernah tahu.
“Ibu...”
“Ya sayang?”
“Mengapa ibu ajak aku ke danau ini?”
Ibunya hanya tersenyum manis.
“Soalnya hanya danau ini saja tempat yang paling indah di sini,” jawab ibunya manis.
“Kok tidak ada orang?”
“Soalnya orang-orang sekarang sudah tidak peduli lagi tempat-tempat indah seperti ini.”
“Kenapa mereka tidak peduli lagi bu?”
“Karena mereka sekarang lebih menyukai gemerlap dunia daripada alam indah seperti ini sayang. Mereka sudah tidak mau menginjak tanah basah seperti ini lagi. Mereka takut kotor.”
Mentari terdiam. Hujan belum mau untuk berakhir.
“Kalau kamu sudah besar, kamu harus sering-sering ke sini ya sayang?” kata ibunya.
“Bagaimana aku bisa ke sini ibu?”
Ibunya tertawa.
“Haha, kau pasti bisa kok ke sini, asal kau sudah tahu caranya.”
“Caranya bagaimana bu?” tanya Mentari.
“Sini ibu kasih tahu,” lalu ibunya berjongkok dan membisikkan sesuatu di telinga Mentari. Senyum manis menghiasi kedua bibir mereka.
***
Hujan belum mau berhenti dan waktu semakin beranjak lalu...
Mereka masih berteduh di tempat yang sama, di tepi danau yang permukaan airnya mulai menaik. Cakrawala mendung kelabu, siapa yang bisa mengusirnya? Mereka terdiam menatap cakrawala, semoga hujan segera berlalu di tempat ini dan mereka bisa berlayar mengitari danau ini dengan sampan utuh yang tergeletak takjauh dari tempat mereka berteduh. Mentari sudah tidak sabar untuk berlayar mengelilingi danau ini.
“Ibu apakah dulu ayah sering mengajak ibu kemari?”tanya Mentari.
“Ya sering, makanya ibu menyukai tempat ini,” jawab ibunya. Perlahan kenangan-kenangan muncul di dalam benaknya. Dan selalu saja ketika kenangan-kenangan itu muncul, senyum manis selalu menghiasi bibir ibunya. Kenangan apakah yang bisa membuatnya tersenyum selalu kala mengingatnya?
“Di sinilah ibu pertama kali mencintai ayahmu,” kata ibunya lagi, “Ia selalu mengajak ibu kemari jika ibu sedang bersedih. Ayahmu menggandeng tangan ibu dengan erat dan membawa ibu ke tepi dermaga di sebelah sana. Setelah itu ayahmu akan mendayung sampan dan berlayar ke seberang untuk memetik beberapa bunga. Kau tahu sayang? Bunga-bunga itu sangat segar dan wangi, seakan baru saja mekar ketika ayahmu memetiknya. Ia memang pandai membuat ibu bahagia. Kau tahu bagaimana ia meletakkan bunga itu padaku?” ibunya kemudian mengambil setangkai anggrek liar yang berserakan di sampingnya dan meletakannya di telinga Mentari, “Seperti ini,” katanya.
Mentari terpana, ia membayangkan bagaimana ayahnya dulu melakukan hal yang sama dengan yang ibunya lakukan, bahkan lebih romantis dari apa yang ibunya lakukan untuknya. Siapa ayahku? Di mana ia berada? Pertanyaan itu terbersit begitu saja dalam pikiran Mentari. O, ia ingin sekali tahu dan bertemu ayahnya yang kata ibunya baik itu.
“Kau tahu Mentari? Di danau ini jika tidak sedang hujan, senja sangat indah. Matahari senja yang kemerahan itu, cahaya akan sampai di permukaan air ini dan menyebabkan air danau ini ikut menjadi keemasan dan kemerahan.”
“Benarkah itu ibu?”
“Ya, sayangnya hari ini hujan. Kamu tidak bisa melihat pemandangan yang menakjubkan seperti itu.”
“Dan... oh iya, ibu sudah pernah cerita belum kalau di sini banyak sekali angsa-angsa yang indah? Ya, angsa-angsa yang putih bersih bulunya itu berenang dengan sangat anggun di danau ini. Mereka saling berenang bersama, kawin dan beranak hingga kelestariannya tetap terjaga. Akh, sayang sekali lagi sayang, hari ini hujan sehingga kau tidak bisa melihat semuanya.”
“Mentari sayang...”
“Iya ibu?”
“Kamu masih mendengarkan ibu kan?”
“Iya aku masih akan mendengar ibu bicara.”
“Baiklah ibu akan teruskan. Ayahmu dulu laki-laki yang tampan. Siapa pun perempuan yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Namun tanpa sangka ayahmu jatuh cinta pada ibu. Awalnya ibu juga masih ragu akan cintanya itu, tapi setelah ibu tahu bagaimana sikapnya pada ibu dan bagaimana danau ini akan selalu mengingatkan ibu padanya, ibu pun jatuh cinta padanya. Ibu dan ayahmu akhirnya menikah dan lahirlah kamu, sayang.”
Mentari ingin berucap sesuatu namun ia ragu untuk mengucapkannya. Lagipula ia tidak mau memotong pembicaraan ibunya. Ibunya masih terlihat asyik berbicara tentang kenangan. Dan hujan pun masih pula terlihat asyik bermain-main di cakrawala. Ibunya masih terus berbicara hingga akhirnya ia mengulangi sebuah kalimat:
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup bahagia...”
Ibunya semakin mendekap erat Mentari. Hujan tidak akan pernah pergi dari sana.
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup bahagia...”
Mentari masih ragu untuk berkata.
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup bahagia...”
“Ibu...”
“Ya sayang?”
“Siapakah ayahku sebenarnya? Ke manakah ia sekarang?”
Ibunya terdiam. Perlahan ia kembali membisikkan sesuatu di telinga Mentari. Hujan masih mengguyur danau ini, nun jauh di balik cakrawala.
***
Hujan pun menyusut menjadi gerimis...
Rumah itu tampak angker dalam balutan hujan, namun ada kehidupan di sana. Seorang nenek tua gelisah, menunggu cucunya terbaring koma atau mungkin sebentar lagi ajalnya telah tiba. Ia takut, cucu semata wayangnya harus pergi meninggalkan dirinya yang sudah renta dimakan usia. Seharusnya ialah yang lebih dulu meninggalkannya, namun takdir berkata lain. Apa daya cucunya yang yatim piatu itu kini sedang terbaring koma terkena leukemia akut. Oladalah, nenek itu bukanlah orang berada, ia tidak mampu membawa anaknya untuk berobat. Dan kini, semuanya sudah terlanjur. Cucu yang manis itu kini terbaring tanpa daya dalam gerimis hujan yang tiada pernah berakhir...
“Mentariku, cucuku! Sunggu malang nasibmu! Dan lebih malang lagi nasibku, sebatangkara di sisa napas penghabisan ini. Jangan dulu pergi nak! Kau telah menjelajah tanah ibu dan ayahmu di sana, namun berilah kesempatan untukku sedikit lagi saja. Aku masih ingin melihat ceriamu di hari-hariku yang semakin beranjak tua dan mendekati akhir ini...” airmata mengalir deras di pipinya yang keriput.
Hujan masih akan terus turun, entah sampai kapan...
















Situ Gede, 11 Juli 2010
13.00—21.11

Tuesday, 14 February 2012

VALENTINE



Zacky sedang kebingungan di kamarnya. Besok adalah hari valentine, hari yang diperingati sebagai hari kasih sayang. Remaja tanggung itu ingin menghadiahi Rina, pacarnya, pada hari valentine tersebut. Namun, sayangnya ia tidak punya uang untuk membeli coklat atau boneka berwarna pink untuk dihadiahi kepada wanita pujaan hatinya yang baru dipacari selama dua minggu.
Tanggal 14 Februari merupakan hari yang spesial, terlebih bagi pasangan muda mudi yang sedang jatuh cinta. Mereka akan saling memberikan kado sebagai ungkapan cinta kepada masing-masing pasangannya. Kado yang diberikan pun secara harfiah berupa coklat, bunga mawar, atau boneka yang semuanya memiliki aksen warna merah muda. Kado-kado seperti itu merupakan lambang dari sebuah keromantisan. Warna merah muda melambangkan ketulusan cinta. Takheran jika pada bulan Februari selalu identik dengan coklat, mawar, boneka, dan warna merah muda.
Zacky pusing bukang kepalang. Pasalnya, Rina pun menagih janji Zacky yang akan memberikan kado istimewa ketika Valentine tiba. Awalnya memang Zacky berniat memberikan kado yang spesial untul Rina di hari Valentine. Namun, semenjak mereka pacaran, Rina selalu meminta sesuatu kepada Zacky. Gadis yang baru menginjak pubertas itu menganggap bahwa lelakilah yang harus mentraktir ketika mereka berjalan-jalan. Alhasil, uang bulanan Zacky pun—belum akhir bulan—sudah habis dipakai untuk mentraktir Rina jalan-jalan.
Mau tidak mau Zacky pun harus mencari akal untuk mendapatkan uang dengan cara yang singkat. Aha! Kemarin orang tuanya memberinya uang untuk membayar buku sekolah. Tanpa pikir panjang lagi, uang untuk membeli sumber pendidikan itu pun terpaksa ia pakai untuk membeli satu boneka babi yang berwarna pink, lengkap dengan bungkus kado yang juga pink dan diikat dengan pita merah. Terwujud sudah janji Zacky memberi kado kepada Rina meski uang buku harus dikorbankan. Girlfriend is number one, that’s  it boy?
***
Itulah sekelumit kisah percintaan anak muda ketika merayakan valentine. Hari valentine yang jatuh pada tanggal 14 Februari setiap tahunnya, selalu dinantikan oleh jutaan manusia di seluruh dunia. Pada tanggal tersebut, orang-orang akan memberikan kado spesial kepada orang-orang yang dikasihinya, mulai dari orang tua, kekasih, atau teman dekat.
Menjelang perayaan valentine, orang-orang sibuk mempersiapkan atribut-atribut yang berbau valentine. Toko-toko, mall-mall, dan pusat perbelanjaan lainnya menghias diri dengan pernak-pernik berbentuk hati, pita warna merah muda, bahkan hingga bunga mawar yang dirangkai membentuk lambang hati. Ya, valentine memang mampu mengubah tatawarna menjadi satu warna dominan, yaitu warna merah muda. Valentine memang mampu mengubah manusia untuk sejenak melupakan kekerasan. Apa pun alasannya, tanggal 14 Februari dilarang untuk melakukan tindakan kekerasan, sebab valentine merupakan perayaan yang sangat khidmat.
Dewasa ini, di Indonesia, gaung perayaan valentine semarak diperingati di setiap daerah. Valentine, atau yang lebih dikenal dengan hari kasih sayang kini memang menjadi tradisi tahunan bangsa Indonesia. Entah siapa yang pertama kali mengenalkan perayaan ini di Indonesia. Masyarakat, terutama muda mudi selalu menyongsong perayaan valentine karena bagi mereka valentine adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan cinta. Fasilitas pendukung pun kini mudah dijumpai. Toko-toko kue menyiasati valentine dengan meluncurkan coklat-coklat berkemasan unik dan romantis. Begitu pun halnya di toko boneka, muda mudi antre untuk membeli boneka spesial yang nantinya akan ia hadiahkan kepada orang-orang terkasihnya.
Perayaan valentine itu sendiri merupakan asimilasi dari tradisi Barat. Tradisi tersebut dilakukan sebagai bentuk mengenang kematian Santo Valentinus, pendeta Katolik Roma pada abad pertengahan. Ia dihukum mati pada tanggal 14 Februari dengan tuduhan menyebarkan ajaran-ajaran sesat. Padahal, kenyataannya ajaran Santo Valentinus penuh dengan ajaran kasih sayang. Oleh karena itu, untuk mengenang kematiannya, generasi pasca kematian Santo Valentinus memperingati hari kematian pendeta yang berbudi tersebut setiap tahunnya.
Jauh sebelum kematian Santo Valentinus, pada zaman Romawi Kuno pun bulan Februari dianggap sebagai bulan kesuburan. Pada tanggal 15 Februari bangsa Romawi Kuno mengadakan tradisi Lupercalia, yakni tradisi kaum Lupercus untuk menghormati dewa kesuburan. Mereka turun ke jalan sambil membawa potongan-potongan kulit domba dan akan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai di jalan. Perayaan ini pada umumnya diikuti oleh kaum wanita, sebab mereka percaya bahwa dengan mengikuti tradisi tersebut mereka akan diberi kesuburan dan mampu melahirkan dengan mudah.
Dalam peradaban Yunani Kuno pun, bulan Februari—dalam sistem kalender Athena Kuno disebut bulan Gamelion—merupakan bulan ketika Dewa Zeus dan Hera melakukan pernikahan sucinya. Pernikahan tersebut melahirkan anggapan bahwa bulan Februari adalah bulan yang penuh dengan kasih sayang dan cinta yang sakral, sebab Dewa Zeus, penguasa langit dan bumi menurut kepercayaan Yunani Kuno sedang menikmati kebahagiaan perkawinannya dengan Dewi Hera.
Tidak heran jika kini bulan Februari diideologikan sebagai bulan yang penuh dengan kasih sayang. Oleh karena itu, dunia akan selalu memperingati valentine sebab pada zaman nenek moyang pun, bulan Februari sudah menjadi bulan yang sakral dan penuh dengan kebahagiaan.
Yang menjadi soal adalah anggapan bangsa Indonesia itu sendiri mengenai tradisi valentine. Kebanyakan di Indonesia, tradisi valentine selalu diidentikkan dengan pacaran. Anak-anak muda tiba-tiba menjadi “liar”, bebas mengungkapkan cinta kepada pasangannya dengan berbagai cara. Hal ini yang menjadi problem, kita selalu ikut-ikutan mengikuti tradisi orang lain, terlebih tradisi-tradisi yang dilakukan di Barat. Namun, takjarang cara untuk memperingatinya menjadi menyimpang dari kaidah tradisi yang ada.
Cerita Zacky di atas merupakan salah satu perayaan valentine yang diselewengkan. Kita selalu memaksa untuk mengikuti arus modernisasi dengan menghalalkan segala cara. Apalagi pada tradisi valentine ini, bukan tidak mungkin pasangan muda mudi akan menlakukan apa pun dengan dalih pengungkapan rasa cinta. Jiwa yang masih labil, pemahaman yang salah mengenai konsep valentine bisa membuat mereka melakukan tindakan-tindakan yang melanggar etika. Barangkali kita sering mendengar, atau melihat langsung bagaimana gadis-gadis kehilangan keperawanannya ketika merayakan valentine. Jika sudah begini, siapa yang mau bertanggung jawab?
Valentine adalah tradisi yang sakral di tempatnya. Bagi yang tidak paham hakikat dari valentine ya lebih baik jangan ikut-ikutan merayakan valentine. Toh kenyataannya mengungkapkan kasih sayang itu bukan hanya terbatas pada bulan atau tanggal 14 Februari saja, di hari-hari yang lain pun kita harus berlaku kasih sayang kepada sesama. Mengasihi orang merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap waktu, bukan pada tanggal-tanggal tertentu saja.
Merayakan valentine sih itu hak azasi orang-orang. Hanya, jangan terlalu dipaksakan. Valentine bukan menjadi tolok ukur seberapa dalam perasaan cinta seseorang. Itu tergantung kepada pemahaman kita mengenai valentine, serta pemahaman kita mengenai agama kita masing-masing (perayaan valentine kan merupakan perayaan agama tertentu, bukan universal). Jika sudah mantap memaknai valentine, dengan porsi yang tidak menyimpang dari kaidah yang ada maka tinggal ungkapkan makna valentine itu kepada orang-orang yang kita cintai.
Indonesia merupakan negara tempat segala macam budaya berasimilasi. Namun, kenyataannya pada saat perayaan valentine pun masih banyak tindak-tindak kekerasan terjadi di Indonesia. Malah tidak jarang perayaan valentine bisa memicu sebuah kericuhan, sebab mungkin saja kita belum bisa memaknai kasih sayang itu sendiri.
Selamat makan coklat.

Gambar: klik
Bandung, 14 Februari 2012

HUJAN


HUJAN

Gambar : klik
Tik tik tik, bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok, dahan dan ranting
Pohon dan kebun basah semua
I
Hujan adalah salah satu peristiwa alam yang banyak membawa rezeki bagi manusia. Tuhan mengutus malaikat pembawa rezeki untuk menurunkan rezekiNya kepada manusia berupa titik-titik air yang jatuh dari langit. Oleh karena itu, semestinya manusia tidak perlu menggerutu ketika tiba-tiba hujan turun. Tuhan sedang melimpahkan rahmatNya bagi semua manusia yang daerahnya dirundung hujan.
Manusia seringkali menggerutu apa yang telah diberikan Tuhan. Hujan dianggap oleh mereka sebagai penghambat beraktivitas. Seseorang yang sudah berpakaian rapi, tercium wangi parfum di baju dan tubuhnya serta siap keluar rumah untuk kencan dengan kekasihnya. Namun, ketika ia bersiap keluar, tiba-tiba hujan turun dan membuyarkan rencananya. Pernahkah Anda memiliki pengalaman seperti itu? Pernahkah rencana Anda yang sudah tersusun rapi dan siap dilaksanakan tiba-tiba gagal hanya karena hujan turun? Ya, setiap manusia dalam kehidupannya selalu berurusan dengan hujan, sebab hujan sendiri pun diperuntukkan bagi kesejahteraan semesta alam.
Manusia terlalu banyak memaki hujan. Setiap hujan turun, manusia selalu bilang, “Ah, kok turun hujan?”, atau, “Yah hujan, gagal deh jalan hari ini..”, berarti Anda belum mensyukuri karunia dan rezeki yang sudah diberikan Tuhan. Maka Tuhan akan hentikan turunnya rezeki, dan Tuhan berikan kemarau yang berkepanjangan. Jika sudah seperti itu, manusia pun meminta Tuhan untuk menurunkan hujan. Itulah ironi yang dibuat Tuhan kepada manusia.
Hujan adalah rezeki, hujan adalah rahmat. Tidak ada hujan, semesta pun tidak akan tumbuh dan memberikan manfaat bagi manusia. Namun, bagaimana jika ternyata hujan yang turun malah menimbulkan bencana dan permasalahan bagi manusia? Hal itulah yang akan kita bicarakan dalam tulisan ini.

II
Berbicara mengenai hujan, maka kita pun tidak akan bisa terlepas dari pertanyaan dasar tentang bagaimana asal-muasal turunnya hujan? Pertanyaan tersebut kini sudah menjadi klise, sebab banyak sekali penjelasan-penjelasan yang telah diberikan mengenai siklus hujan. Tengok saja di internet sudah banyak situs yang menceritakan tentang proses hujan. Dalam suasana belajar mengajar di akademi pun kita pasti sudah dibekali materi tentang proses turunnya hujan.
Ya, hujan adalah hasil dari presipitasi udara dan uap air di atmosfer sana. Takheran jika di dunia ini kita mengenal ada peristiwa hujan, embun, kabut, dan salju. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan hasil-hasil dari presipitasi udara di atmosfer sana. Presipitasi tersebut sangat dipengaruhi oleh iklim. Oleh karena itu, di Indonesia yang memiliki iklim tropis, hasil presipitasi tersebut lebih banyak berupa hujan, embun, dan kabut.
Hujan pada dasarnya turun untuk menyuburkan tanaman. Jika tanah sudah terlalu lama tidak diairi, secara perlahan tanah tersebut menjadi kering dan tidak bisa ditanami tanaman karena kurangnya sumber air di dalamnya. Turunnya hujan merupakan antisipasi untuk selalu menyuburkan tanah dari kekeringan. Hujan itu sendiri merupakan sebuah siklus yang konsisten, yakni berasal dari uap air yang menguap dari darat, lalu turun kembali ke bumi—sebagian diserap tanah dan sebagian lagi menjadi genangan-genangan air, lalu kembali menguap dan kembali turun ke bumi, dan begitulah seterusnya.
Siklus tersebut akan berjalan normal apabila dibantu oleh angin musim dan iklim yang normal. Namun, dewasa ini angin musim tidak lagi bertiup normal. Iklim pun mengalami krisis, yang lebih dikenal dengan sebutan pancaroba. Penyebabnya? Rusaknya lapisan atmosfer akibat pemansan global yang terlalu besar. Manusia begitu berpengaruh sebagai penyebab dari perubahan iklim yang menjadi tidak stabil ini.
Di Indonesia, waktu turunnya hujan berkisar antara bulan September sampai Maret sehingga pada kurun bulan tersebut Indonesia mengenal adanya musim hujan. Namun, kini rentan waktu musim tersebut sudah tidak bisa diprediksi lagi. Perubahan iklim yang signifikan menyebabkan musim pun sudah tidak berjalan dengan waktu yang biasa diprediksi. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang sering mengalami bencana, akibat perubahan iklim dan musim yang membuncah.
Tengok saja dewasa ini, hujan selalu menyebabkan bencana yang signifikan di Indonesia, mulai dari banjir, tanah longsor, angin puting beliung, sawah fuso, abrasi laut, hingga kecelakaan lalu lintas akibat banyaknya pohon-pohon yang tumbang akibat hujan. Hujan yang berintensitas yang tinggi sudah tidak membawa rezeki lagi bagi manusianya.
Sementara itu, musim kemarau pun tidak kalah dengan hujan. Ketika musim kemarau, Indonesia langganan kekeringan, sulitnya air, kebakaran hutan, kelaparan, serta banyaknya manusia yang mengeluh karena udara menjadi terlampau panas.
Begitulah kenyataan yang terjadi di Indonesia. Turunnya hujan menjadi terlampau berbahaya untuk ditunggu kedatangannya. Namun, kemarau pun menjadi terlampau berat untuk dihadapi. Lantas, bagaimanakah cara untuk merehabilitasi “amarah” masing-masing musim agar menjadi reda dan kembali seperti sedia kala? Hal ini tentunya harus disadari oleh seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya pemerintah dan instansi yang terkait.
Menjaga ekosistem alam adalah salah satu upaya yang mesti dilakukan oleh masing-masing individu. Kerusakan alam di Indonesia pada khususnya sudah terlalu parah. Manusia tidak sungkan-sungkan membakar lahan di bukit demi kepentingan hidupnya. Namun, saya agaknya pesimis bahwa kelangsungan alam Indonesia akan kembali menjadi sedia kala. Adakalanya ada hal yang lebih penting selain alam, yaitu uang dan keakayaan.

III
Punyakah kita kenangan yang manis ketika hujan turun? Mungkin di masa kecil Anda turunnya hujan selalu Anda lewatkan dengan bermain dengan titik-titik air hujan. Anda akan basah kuyup diguyur hujan, namun Anda akan merasa bahagia sekali. Tidak peduli larangan orang tua, dan ketakutan akan tersengat petir. Bagi Anda, turunnya hujan adalah masa-masa indah yang tidak mungkin dilewatkan begitu saja.
Bagi yang memiliki pasangan, terkadang hujan adalah saat-saat romantis bagi setiap pasangan. Oleh karena itu, tidak heran bila ada sepasang kekasih yang berlari-lari mesra ketika hujan turun, dan menjadikan kenangan yang indah ketika diingat. Oleh karena itu, kita jangan heran bila melihat orang menjadi puitis ketika hujan. Kenangan indah yang terjadi ketika hujan pun banyak diabadikan oleh penyair dalam puisi-puisi yang bertemakan tentang hujan.
Hal lainnya adalah pernahkah Anda merasakan aroma hujan? Ketika hujan turun selalu tercium aroma yang khas dan menyenangkan. Bau tanah basah, begitu kata orang-orang ketika mencium aroma hujan. Aroma tersebut berasal dari aroma petrikor, sebuah minyak yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan yang diserap oleh tanah dan bebatuan, lalu dilepas ke udara selama hujan berlangsung. Aroma petrikor itulah yang menyebabkan orang akan merasa bahagia ketika hujan turun. Aroma yang hanya muncul kala hujan, sehingga bila kita ingin mencium aroma tersebut kita harus menunggu hujan itu turun.
Dalam beberapa penelitian, para ahli psikologi mengungkapkan bahwa mendengar bunyi hujan akan menenangkan pikiran dan syaraf. Bagi beberapa musisi, bunyi hujan adalah nada alam yang tidak bisa ditandingi keindahannya. Beberapa budaya di dunia pun menjadikan hujan sebagai pedoman hidup mereka, sumber rezeki, serta cara yang paling baik mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam agama Islam pun, turunnya hujan merupakan bentuk penyucian bagi manusia, penurunan rezeki bagi semesta, bentuk perlindungan dari gangguan-gangguan syaitan, serta sarana untuk memperteguh hati dan pikrian (Quran Surat Al-Anfal ayat 11).
Segala macam hal yang indah bisa terjadi ketika hujan, maka itu baru yang namanya rezeki. Rezeki yang diturunkan bukan berarti akan turun hujan uang. Bila kita merasa tenang dan bahagia ketika turun hujan, maka kita sudah mendapatkan rezeki ketika hujan tersebut turun. Tuhan menurunkan rezeki yang beragam yang semua orang akan menerima tanpa lebih atau kurang. Rezeki tersebut terasa atau tidak bila kita menyadari dan mensyukuri ketika turun hujan. Banyak bersyukur maka rezeki pun meluncur.
Itulah makna hujan. Hujan adalah peristiwa alam yang mempunyai nilai estetika yang tinggi. Kekayaan melimpah yang tidak pernah disadari oleh manusia. Karena ketidaksadaran tersebut, hujan pun seringkali marah melihat sikap manusia yang sombong dan tidak tahu terima kasih. Maka hujan pun turun bukan lagi menjadi rezeki, tetapi menjadi bencana yang mampu merusak takhanya manusia, alam semesta pun ikut-ikutan hancur. Bila manusia marah, kita masih bisa menenangkannya, namun bila alam yang marah siapa yang mampu menenangkannya kecuali Tuhan? Tuhan pun tentunya tidak mau begitu saja menenangkan amarah alam bila manusianya masih sombong dan terus-terusan merusak alam.

Tik tik tik bunyi hujan di atas genting
Airnya turun tidak terkira
Cobalah tengok, lahan yang banjir
Sawah dan rumah terendam semua…

Selamat menikmati hujan. Jangan takut, hujan itu membawa kebahagiaan untukmu.


Bandung, 14 Februari 2012
21.42