Tuesday 27 December 2011

BELAJAR DARI SHAUN THE SHEEP (Menguak Mitos Budaya Masa Roland Barthes)

Jika ada orang yang berkata ‘belajarlah pada hewan’, kita jangan langsung menganggap perkataan itu adalah omong kosong belaka. Kenyataannya, hewan-hewan sering dijadikan contoh bagi manusia untuk melakukan sesuatu, misalnya membaca arah mata angin, penanda pergantian cuaca, bahkan ide utama untuk membuat sebuah teknologi baru.
Baru-baru ini saya sering menonton film animasi Shaun the Sheep. Film anmasi ini bercerita tentang kehidupan seekor domba yang bernama Shaun dengan kelompok domba yang lain di sebuah peternakan. Film animasi yang pertama kali disiarkan di stasiun televisi ternama BBC tahun 1995 ini, memang mengangkat tentang sebuah kehidupan peternakan di Inggris. Dengan mengambil konsep folklor yang berupa fabel, tokoh Shaun dalam film ini bukan hanya diposisikan sebagai domba belaka. Ia bisa melakukan aktivitas manusia (main bola, menyetir mobil, dll) dan tertawa nyengir setiap kali film tersebut berakhir.
Shaun seringkali menjadi otak untuk menyelesaikan permasalahan dalam cerita dengan caranya sendiri. Ada hal yang menarik dalam film ini, yakni antara Shaun dengan kelompok domba lainnya selalu kompak dan saling membantu satu sama lain. Film nirkata ini seakan-akan melupakan dialog yang menjadi sarana untuk menyampaikan maksud cerita. Namun, kita bisa menangkap apa yang terjadi, serta apa yang dilakukan oleh domba-domba tersebut melalui aktivitas visual mereka yang lucu, namun sederhana.
Film tersebut bukan hanya ditampilkan sekelompok domba saja. Ada Bitzer, anjing Dingo Australia yang bertugas untuk mengawasi kelompok domba tersebut. Seringkali Bitzer bertindak lugu, namun keluguannya selalu membantu Shaun dan kawan-kawannya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi. Ada juga, kelompok babi yang berasal dari peternakan sebelah yang selalu menjadi “musuh bebuyutan” Shaun dan kawan-kawan. Ada pemilik peternakan Shaun (saya lupa namanya) yang juga lugu dan tidak mengetahui jika Shaun dan kawan-kawan bisa “beraktivitas” seperti manusia. Terakhir, kucing manja peliharaan pemilik peternakan tersebut yang maunya ingin menang sendiri. Atas kecerdikan Shaun dan kekompakan domba-domba lainnya, kucing tersebut akan dengan mudah untuk dikalahkan.
Film ini memang bersifat menghibur, khususnya bagi kalangan anak kecil. Akan tetapi, saya menangkap lain. Di balik keluguan, di balik kecerdikan Shaun, di balik kekompakan para domba, ada nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh pembuat cerita. Shaun dijadikan posisi sentral sebagai tokoh yang selalu dihadapkan pada masalah, namun ia dituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut dalam waktu yang singkat. Dengan tingkahnya yang lugu Shaun bisa menyelesaikan masalahnya, tentunya atas bantuan dari sesama domba dan terkadang Bitzer si anjing juga sering membantunya. Perbuatan tersebut secara tersirat menegaskan bahwa seringkali manusia melupakan hakikat dari sikap tolong menolong. Istilah “berat sama dipikul ringan sama dijinjing” sudah tidak lagi dijadikan pedoman hidup manusia. Manusia menjadi karakter individualis yang hanya mementingan kepentingan diri sendiri.
Setiap tokoh dalam film StS memiliki karakter yang masing-masing mencerminkan pribadi manusia yang berlainan. Namanya juga fabel, tokoh hewan akan diperlakukan sama seperti sikap manusia. Pandangan tersebut merupakan pandangan yang stereotipe. Orang-orang banyak menganalisis dongeng fabel tapi sangat jarang yang becermin dari cerita tersebut. Mereka hanya memosisikan fabel sebagai hiburan anak kecil, dan bacaan untuk meninabobokan mereka sebelum tidur. Para orang tua memperingati anak-anaknya untuk belajar dari sikap maisng-masing tokoh hewan. Akan tetapi, adakah di antara para orang tua yang menjadikan dongeng tersebut sebagai introspeksi diri sendiri?
Ini adalah rangkaian dari penyampaian makna sebuah mitos pada publik. Roland Barthes mendefinisikan mitos-mitos dalam budaya masa sebagai media penyampaian pesan yang berfungsi untuk mendistorsi suatu makna, sehingga mitos tersebut akan melahirkan suatu makna yang dikehendaki oleh pembuat mitos tersebut. Film animasi merupakan produk dari budaya masa. Oleh karena itu—mengacu pada Roland Barthes—film StS diposisikan bukan hanya sebagai film hiburan untuk anak kecil, tetapi film cerminan untuk orang dewasa. Kenyataannya, di balik keluguan tingkah domba-domba tersebut, ada nilai-nilai yang telah didistorsi oleh pembuat film menjadi ideologi yang disampaikan kepada penontonnya.
Barangkali, saya mencoba membandingkan film StS dengan film kartun nirkata lainnya, yakni film Tom and Jerry. Film tersebut diproduksi hampir setengah abad yang lalu, namun tetap menarik perhatian para penonton di hampir seluruh belahan dunia sampai sekarang. Film TaJ bercerita mengenai seorang kucing yang bernama Tom yang memiliki musuh bebuyutan seekor tikus yang bernama Jerry. Namun, kenyataannya Tomlah yang selalu dikalahkan oleh Jerry karena Jerry sedikit lebih cerdik dibandingkan dengan Tom. Aksi-aksi mereka selalu menghibur, sehingga film tersebut dibuat sekuel dan diangkat ke layar lebar. Melihat kesuksesan pendahulunya, StS muncul dengan tata animasi yang baik, cerita yang sederhana, dan konsep penyelesaian masalah yang sederhana pula, tetapi bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Ada satu hal yang menarik dari film StS ini, yakni ketidaktahuan pemilik peternakan domba atas tingkah Shaun dan domba lainnya padahal seringkali Shaun terjebak dalam situasi bertemu dengan pemilik peternakan. Namun, Shaun selalu bisa menghindar dan luput dari penglihatan si pemilik tersebut. Ini menjadi sebuah anekdot bagi saya, pemilik peternakan tidak mengetahui kecerdikan dari Shaun dan kawan-kawan karena memang manusia pada kenyataannya tidak mengetahui bahwa hewan—yang katanya lebih rendah dari manusia—ternyata memiliki keunikan dan kecerdikan masing-masing. Percaya atau tidak, Anda menerima atau tidak, dongeng tidak selamanya memberikan edukasi hanya untuk anak kecil saja, orang dewasa dan orang tua pun sesungguhnya pembaca yang cocok untuk menginterpretasi makna dari dongeng tersebut.
Sekali-kali nontonlah film animasi sederhana ini, daripada kebanyakan emosi nonton sinteron J. Salam...

Bandung, 26 Desember 2011
23.21

No comments:

Post a Comment