Monday 28 May 2012

Rokok dan Konsep Keindonesiaan


Berbicara mengenai rokok, alangkah bijak bila kita menyandingkannya dengan konsep Keindonesiaan. Sebab, dari rokok kita bisa memunculkan aktivitas yang mencerminkan sikap-sikap tradisi Indonesia. Terlepas dari kontroversi yang melekat, peringatan keras oleh Pemerintah mengenai bahaya rokok, dan segala macam tetek bengek yang menyebabkan rokok menjadi sebuah barang/produk yang berbahaya.

Saya tidak akan membeberkan mengenai kandungan rokok, dan zat-zat yang bisa merusak tubuh dari rokok, karena semua hal tersebut bisa Anda dapatkan di dunia maya. Anda bisa cari mengenai kandungan dan zat-zat beracun yang konon kabarnya ngendon di batang rokok. Saya pun tidak akan berbicara mengenai bahaya dan efek samping dari rokok itu sendiri, karena Anda pun yang bukan perokok pun pasti telah hafal dari efek samping rokok tersebut. Saya hanya akan berbicara mengenai rokok dan kaitannya dengan tradisi dan kebudayaan di Indonesia.

Tuesday 22 May 2012

Lady Gaga yang Gagal



Tuan dan Puan...

Saat ini Indonesia gencar akan aksi-aksi konfrontasi terhadap artis Lady Gaga oleh Front Pembela Islam (FPI). Menurut jadwal, Lady yang bukan saudara kandung Azis Gagap ini akan menggelar konser di Indonesia pada tanggal 3 Juni mendatang. Pihak promotor telah menjual habis tiket konser kepada calon penonton bahkan tidak sedikit penonton yang tidak kebagian tiket.

Namun, konser ini ternyata dilarang oleh pihak Kepolisian dengan alasan belum mengantongi izin dari Kepolisian. Nah, ini yang menjadi perdebatan yang sengit. Pasalnya, bukan hanya polisi saja yang melarang, namun kelompok Islam Militan yang bernaung dalam bendera FPI pun mengecam pertunjukan konser ini. Mereka (FPI) mengklaim bahwa Lady Gaga tidak pantas masuk Indonesia karena ia terkenal dengan busana-busana dan aksi panggungnya yang kontroversi dan bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Lady Gaga pun dicap sebagai artis pemuja setan (Illuminati/satanisme). Oleh karena itu, tidak pantas seorang Lady Gaga untuk manggung di Indonesia.

Tentu saja aksi pelarangan oleh Polisi dan FPI ini memicu protes keras dari beberapa kalangan. Ada yang menganggap bahwa aksi pelarangan ini hanya sebagai manipulasi polisi saja untuk melanggengkan kekuasaan FPI di tanah air, bahkan ada yang sampai berpandangan bahwa Polisi pun kini telah dipengaruhi oleh FPI. Apapun alasannya, hal ini telah memicu adanya perpecahan pendapat antara kelompok yang pro pelarangan dengan kelompok yang kontra.

Sebagai orang-orang yang memosisikan dirinya sebagai moderat, liberal, dan sosialis, tentu pelarangan ini sangat ditentang keras dan bisa melanggar hak asasi (hak asasi nonton Lady Gaga tentunya!). Sebab, mereka lebih menganggap bahwa busana dan aksi Lady Gaga masih terbilang normal dan tidak erotis ketimbang busana dan aksi dari para pedangdut koplo kita yang bahkan tidak canggung beradegan erotis dengan lawan jenis ketika perform di panggung. Tidak percaya, coba saja buka situs Youtube ya!

Ditantang seperti itu, FPI dan Polisi pun manggut-manggut,” Itu pun sudah menjadi bagian dari usaha kami untuk memberantas kemaksiatan,” sergahnya. Nyatanya, bahkan pertunjukan dangdut koplo yang ebih erotis pun sudah lebih dahulu muncul ketimbang si wanita nyentrik Lady Gaga. Malahan, polisi pun sempat mengamankan panggung tersebut. Lantas, mengapa panggung-panggung dangdut koplo yang sudah jelas-jelas terang-terangan seterang-terangnya bahkan hingga diunggah di situs Youtube masih saja diberi izin, sedangkan konser Lady Gaga tidak dikasih izin? Lalu kemanakah FPI pada saat pertunjukan dangdut koplo berlangsung. Saya yakin mereka tidak sedang menikmatinya bukan?hehe

Kejanggalan-kejanggalan itulah yang membuat masyarakat berang terhadap FPI pada khususnya. Mereka bertindak seolah-olah hanya merekalah golongan mayoritas di negeri ini. Ingat Sahib, ini negara Demokrasi, bukan negara berdasar pada ajaran agama tertentu. Karena negara ini sudah didaulat sebagai negara demokrasi, ya demokrasi itu pun harus dijunjung tinggi dan ditegakkan, bukan dengan aksi sepihak yang justru malah memicu protes keras. Kita sering lupa bahwa Indonesia adalah negara mayor, yakni hanya kaum mayoritaslah yang bisa menguasai negeri ini. Kaum minoritas menjadi temarjinalkan dan terkadang ada usaha dari kaum mayoritas untuk menegakkan negara sesuai dengan prinsip mereka.

Inilah yang salah. Banyak wacana yang akan mengubah Indonesia menjadi negara dengan sistem Islam. Tapi kenyataannya, masyarakatnya pun masih terlalu awam mengenai bagaimana konsep Islam itu sendiri. Di negara multikultur dan multietnis ini Indonesia harus mampu menjunjung tinggi keberagaman. Negara bukan dibentuk oleh satu kelompok. Negara bukan dijalankan oleh satu etnis. Dan negara pun bukan dipedomani oleh satu kepercayaan saja.

Bila dibiarkan terus menerus, Indonesia menjadi hilang legitimasinya. Tindakan yang terlalu banal malah akan mengakibatkan orang-orang yang berbeda faham akan mudah untuk menentang dan mengajukan perlawanan. Pelarangan konser Lady Gaga ini pun merupakan salah satu bukti bahwa mayoritas masih berada di atas angin terhadap kaum minoritas.

Lady Gaga hanyalah seorang artis yang mencoba totalitas. Ia pun masih punya Tuhan, meskipun Tuhannya ialah setan itu sendiri. Lho, zaman sekarang bukannya apa pun bisa dijadikan Tuhan? Pejabat di Gedung Dewan pun kan mempunyai Tuhan yang poli, salah satunya Tuhan Kekuasaan, Tuhan Uang, dan Tuhan Jabatan, iya kan Tuan dan Puan?

Konsep makna dari “Tuhan” sendiri saya pikir telah mengalami generalisasi. Tuhan bukan lagi yang menciptakan manusia, tetapi Tuhan ialah yang memakmurkan manusia. Barang siapa ada yang bisa menjadikan diri manusia itu kaya, maka itulah Tuhan mereka. Kenyataan inilah yang menjadi paradigma nirsadar dalam diri kita.

Kembali ke masalah si Lady, kabarnya FPI pun sudah menyiapkan sedikitnya 150 tiket konser jikalau konser Lady Gaga itu jadi digelar. Mereka akan masuk secara resmi (membeli tiket yang asli) dan akan melakukan aksi-aksi terang-terangan untuk menggagalkan konser tersebut. Hmm, mungkin FPI pun ingin nonton juga ya dengan menyiapkan tiket sampat 150 buah? J

Terlepas dari itu, suka atau tidak suka, porno atau tidak porno, Lady Gaga tetap saja seorang seniman. Ia mempunyai gayanya sendiri. Seniman kan harus punya karakter, dan Lady Gaga telah mematenkan karakternya dengan aksi dan busana yang tidak biasa. Masalah yang muncul adalah masalah jati diri penontonnya, jika memang penonton menganggap bahwa busana Lady Gaga terlalu erotis ya mending cari artis lain saja yang lebih sopan ketimbang sibuk mencela dan memojokkannya. Penontonlah yang lebih tahu diri dan mampu menyaring hal-hal apa saja yang baik bagi kehidupannya.

Nah!

Apabila ada yang bertanya, apa pendapat saya ketika Lady Gaga batal konser, maka saya akan menjawab apabila Lady Gaga mau menghormati budaya “ketimuran” kita, yakni menyesuaikan karakternya dengan budaya dan kepercayaan di Indonesia, itu saya pikir sah-sah saja untuk digelar konsernya. Dan jika harus memilih antara setuju dan tidak aksi pelarangan tersebut, maka saya akan tenang menjawab, “Saya tidak kenal Lady Gaga, karena saya belum pernah berkenalan, menjabat tangan, dan menyebutkan nama saya di hadapannya. Dan saya hanya mau mendengar musik yang saya suka!”

Monday 21 May 2012

Ambilkan Bulan Bu




Ambilkan bulan Bu, Ambilkan bulan Bu
Yang slalu bersinar di langit…*)

“Ibu bisakah aku mengambil bulan yang ada di sana?” tanya Mentari ketika malam kelam yang disinari rembulan. Rembulan yang putih bulat mulus dengan siluet seperti seekor kelinci terbang melintas semesta. Rembulan yang kadang bulat, sabit, setengah, bahkan tidak ada sama sekali di langit malam memang diartikan lain oleh Mentari. Gadis sekecil ia sangat mencintai rembulan. Ia selalu menunggu malam agar dapat melihat rembulan dan berkhayal kelak ia akan berada di bulan.

“Akh, dasar anak cerewet. Mana bisa kau mengambil bulan?” tanya ibunya sambil membelai rambut Mentari yang lembut.

“Aku bisa Bu. Akan kuambil nanti dengan tanganku sendiri,” Mentari menengadahkan kedua tangannya ke langit ke arah rembulan yang kala itu purnama.

“Aku bisa Bu! Aku bisa!”

Ibunya tersenyum. Ia tersenyum melihat anak perempuan satu-satunya itu begitu bahagia melihat bulan. Ia sendiri pun takmengetahui mengapa Mentari begitu cinta akan rembulan. Dulu sewaktu ia kecil, takpernah ia begitu cinta begitu sayang akan sesuatu. Kalaulah harus mengaku ada, tentu ia akan bilang sayang pada ibunya—nenek Mentari yang sebulan lalu meninggal.

Meski begitu, ia mencintai Mentari dengan sepenuh hati tentu saja. Apa pun akan ia lakukan untuk membahagiakan anaknya itu. Mentari sendiri sebenarnya bukan anak yang tergolong manja, ia takpernah meminta sesuatu yang lebih dan mahal pada ibunya. Tetapi kali ini ia ingin mengambil rembulan, memang tidak perlu mengeluarkan banyak uang—tetapi bagaimana mengambilnya?

“Ibu, lihat rembulan itu tersenyum ke arah kita!”

Ibunya mendekati Mentari, ikut mendongakkan kepalanya ke arah bulan yang ia tahu dari dulu bentuknya itu-itu saja.

“Mana? Ibu kok gak lihat,” tanya ibunya.

“Liat Bu! Bulan itu betul-betul tersenyum ke kita.”

“Iya-iya Ibu lihat. Manis ya senyumnya?” sebenarnya ia takpercaya bahwa rembulan itu tersenyum. Namun, ia hanya ingin membahagiakan Mentari agar khayalnya itu seakan tidak dipedulikan olehnya. Ia setidaknya harus ikut masuk juga ke dalam dunia khayal Mentari agar ia mampu merasakan bagaimana perasaan Mentari kala itu.

Di beranda rumah, begitulah setiap malam ibunya mendampingi Mentari melihat rembulan. Dan begitulah setiap malam Mentari akan bahagia tiada terkira ketika rembulan yang dicintainya muncul dengan anggun di langit malam. Ia akan bersorak senang seperti mendapat boneka baru, menari-menari di teras sambil berdendang lagu tentang rembulan. Jika sudah begitu, Ibunya hanya bisa melihat Mentari bahagia dengan tatapan yang nanar. Entah mengapa jika ia telah melihat Mentari bahagia dan senang, terobatilah sedikit betapa dulu ketika Mentari lahir ia adalah seorang anak yang takpernah diharapkan kemunculannya.

Jika teringat masa lalunya, ia akan menangis tanpa pernah terisak. Hanya mengeluarkan air mata saja.

“Ibu mengapa menangis?”

“Akh… tidak, Ibu hanya kelilipan.”

“Ibu jangan nangis ya? Jika aku telah dewasa, aku akan mengambil bulan untuk Ibu.”

“Iya, kamu yakin kamu bisa mengambil bulan?”

“Aku bisa Bu! Aku bisa!”

Perkataan dan semangatnya itulah yang menghibur hati ibunya yang penuh lara dan nestapa. Ia bersyukur untung Mentari lahir meski ia tahu kelahirannya menjadi sebuah aib baginya. Anak adalah titipan dariNya walau kelahirannya direstui atau tidak. Bukan begitu?

“Kamu harus jadi anak yang pintar dan baik jika mau mengambil bulan.”

“Iya Bu, aku akan jadi anak yang baik biar bisa mengambil bulan.”

Sekali lagi ibunya tersenyum.

“Dan kamu akan membawakannya untuk Ibu kelak.”


***

Di langit bulan benderang
Cahyanya sampai ke bintang…

Suatu pagi Mentari bangun dari tidurnya. Semalam dalam tidurnya ia bermimpi memegang rembulan di tangannya. Tentu saja mimpi yang indah ini ia ceritakan pada Ibunya, pada teman-teman sekolahnya, pada tukang bakso langganannya, pada ibu guru Rahma yang sangat baik, pada supir mobil jemputan sekolah yang selalu bercanda, pada siapa saja yang ia kenal dan ia sayang.

“Benar lho! Aku tadi malam bermimpi memegang bulan.”

Dan hampir semua orang yang ia beritahu sangat antusias dan senang mendengar ia bercerita seperti itu. Tentu saja, Mentari adalah anak yang disenangi oleh siapa saja yang kenal padanya. Mereka seakan takpeduli Mentari adalah anak siapa, keturunan siapa dan siapa ayahnya. Mereka hanya tahu bahwa Mentari anak yang baik Titik.

“Aku senang sekali bisa bermimpi pegang bulan.”

“Mimpi itu indah sekali! Moga aku mimpi bulan lagi nanti malam.”

“Aduh senangnya…”

Dari sekian banyak orang yang ia ajak cerita, hanya satu orang yang tidak bisa mengeluarkan senyumnya. Hanya satu orang yang menitikkan airmatanya ketika Mentari bercerita. Orang itu adalah ibunya. Entah mengapa ibunya bisa menjadi begitu sedih begitu lara ketika mendengar ia bercerita dengan menggebu-gebu. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan besar bagi Mentari.

“Mengapa ibu menangis? Tidak senang ya aku cerita tentang mimpiku itu bu?”

Ibunya tak menjawab. Ia takbisa membendung airmatanya seperti kemarin-kemarin. Tanpa ia sadari, airmata terus-menerus menetes membasahi pipinya, mengalir bagai sungai deras tak ada penghalang membuat jalur di pipinya yang putih mulus itu. Airmata yang ia jatuhkan semakin menambah rasa kepenasaran Mentari. Mengapa ibunya begitu menangis tersedu ketika mendengar ia bercerita tentang mimpinya sedang oranglain tak begitu.

“Ibu mengapa menangis?”

“Ibu marah sama aku?”

“Maafkan aku Bu?”

Akh… Mentari begitu lugu dan lucu, pikir ibunya. Ia terlalu polos untuk mengerti semua deritanya. Dan bahkan ia belum siap memberitahu Mentari perihal semua deritanya. Ia belum siap memberitahu bagaimana ketika pertama kali Mentari hidup, ketika ia lahir di tempat sampah dan tidak ada seorang pun yang membantunya. Ia belum siap memberitahu bagaimana ia diusir oleh ibunya yang ia bisa temui lagi ketika kematiannya karena tahu ia mengandung Mentari. Dan ia belum siap memberitahu Mentari tentang siapa ayahnya.

“Ayahmu orang baik,” kata ibunya ketika Mentari bertanya mengenai ayahnya tempo hari.

“Ibu kok diam? Jangan nangis gara-gara Mentari ya?”

Tadi malam ibunya bermimpi. Mimpi yang sebenarnya hampir sama dengan apa yang dimimpikan Mentari. Ia bermimpi ia sedang bersama Mentari di sebuah tempat yang asing namun begitu asri. Heran, meski ia tahu bahwa hari sudah malam, keadaan langit dan semesta begitu benderang dan kemilau seperti senja yang selalu kemilau. Ia lihat langit bertabur bintang yang bermiliar-miliar banyaknya tersebar memenuhi semesta. Bertabur di setiap sela-sela langit sehingga langit menjadi berkilau dan kerlap-kerlip

Malam begitu benderang. Tetapi benderang bukan karena kerlap-kerlip bintang-bintang yang jutaan dan miliaran itu saja. Bintang-bintang itu hanya membuat malam begitu berkilau begitu kerlap-kerlip namun benderangnya bukan karena mereka. Ketika ia melihat ke depan, rembulan yang begitu besar, bundar dan putih mulus sebesar Keong Mas berada di hadapannya. Begitu berkilau, benderang, dan indah. Mentari yang ia gandeng di sampingnya sangat bersorak dan dan senang.

“Ibu Aku lihat bulan! Aku lihat bulan!”

Langit malam semburat ungu. Di bagian langit yang lain terlihat aurora yang bagai disapu oleh kuas besar di kanvasnya yang berwarna semburat ungu itu. Ia heran, apakah ia berada di Kutub utara sehingga ia bisa melihat aurora yang begitu indah begitu berkilau takkalah dengan bintang dan bulan. Mentari ingin sekali mendekati rembulan yang jaraknya taklebih dari jarak rumah ke sekolahnya. Mentari yang ada di gandengannya berlari mendekati rembulan itu. Ia hanya bisa mengikuti ke mana Mentari pergi yang kini gantian menuntun tangannya.

Begitu sampai di hadapan rembulan yang begitu benderang itu, Mentari melepaskan tangannya. Ia berlari lebih mendekat ke bulan yang benderang dan berkilau tersebut.

“Hati-hati Mentari! Bulan itu begitu besar nak!”

“Ibu jangan takut!Aku bisa kok mengambilnya,” teriak Mentari kegirangan.

Benar saja! Ajaib! Begitu menakjubkan!

Mentari bisa menggenggam rembulan itu dengan tangannya. Dan seketika itu, rembulan yang begitu besar sebesar Keong Mas itu berubah mengecil menyesuaikan diri dengan genggaman Mentari. Dengan mudahnya Mentari mengambil rembulan tersebut dan kini rembulan itu telah berada di genggamannya. Meski rembulan itu mengecil dan ada di genggaman Mentari, malam tetap benderang dan berkilau. Bahkan lebih benderang dan berkilau karena cahaya rembulan sebagian menyepuh tubuh Mentari hingga Mentari begitu bercahaya dan berkilau karena sinar rembulan tersebut.

“Ibu lihat! Aku mengambil rembulan. Rembulan yang aku sayang ada di genggamanku!”

Ibunya taksadar dengan apa yang dilihat dalam mimpinya. Ia juga takyakin apakah ini mimpi atau nyata. Di dunia mimpi segalanya bisa menjadi begitu nyata bahkan begitu jelas.

“Mentari…”

Dilihatnya tubuh anaknya begitu bercahaya dan seakan bulan yang digenggamnya itu menyatu seutuhnya dengan tubuh Mentari. Ia terkesima melihat anaknya seperti itu. Meski dalam mimpi, tetapi rasa takjub dan terkesima begitu menawan seperti dalam dunia nyata. Ia juga begitu takjub dan tak percaya ketika di punggung Mentari yang bercahaya itu muncul sepasang sayap mungil yang lama-lama membesar dan indah. Sepasang sayap putih, lembut seperti kapas dan juga berkilau itu membuat Mentari sedikit demi sedikit melayang di udara. Mentari mengepakkan sayapnya yang indah itu dan seketika ia melayang jauh di udara. Makin jauh, makin jauh, makin jauh. Meninggalkan ibunya yang takjub dan ternganga atas apa yang dilihatnya.

“Mentari…”

“Ibu, aku bisa mengambil bulan dan aku juga bisa terbang.”

“Mentari…”

Sayap Mentari menebarkan serbuk-serbuk emas yang menyebar ketika ia mengepakkan sayapnya. Serbuk-serbuk terbang dan hinggap di mana saja. Di tanah, di sekujur tubuh ibunya sehingga ia menjadi kemilau begitu rupa ditaburi oleh serbuk dari sayap Mentari.

“Mentari, kau mau ke mana?”

“Ibu, aku bisa mengambil bulan dan aku punya sayap. Aku mau jadi bidadari di surga.”

“Mentari…!!!”

“Aku sayang ibu!”

“Mentari…!!!

“Dan aku juga sayang ayah!”

“Mentari!!!!!”

Ia tersadar dari lamunannya. Dilihatnya Mentari masih berada di hadapannya sama seperti ketika ia bercerita tentang mimpinya. Mimpi Mentari dan mimpinya tadi malam seakan sama. Namun ia takberani bertanya pada Mentari apakah dalam mimpinya ia punya sayap atau tidak. Ia takberani karena ia takingin mimpinya menjadi nyata. Ia masih belum ingin menjadikan Mentari sebagai bidadariNya.

Airmatanya terus menetes sehingga matanya bengkak dan sembab. Ia tak mau kehilangan Mentari. Ya, ia sangat menyayangi Mentari—anak yang sebenarnya dulu takmau ia terima.

“Ibu? Ibu baik-baik saja kan?” tanya Mentari.

Ibunya memeluk tubuh Mentari yang mungil dan polos itu.

“Ibu sayang kamu Mentari.”

***
Ambilkan bulan Bu, untuk menerangi
Tidurku yang lelap di malam gelap…

“Mentari bangun!Hari sudah siang. Walaupun liburan tapi kamu harus bangun pagi!”

Pagi yang cerah itu merupakan hari liburan. Saatnya orang untuk bermalas-malasan berleha-leha sejenak melupakan aktivitas yang mungkin begitu menyita. Mentari masih terlelap dalam tidur ketika ibunya memasuki kamarnya untuk membangunkan. Ia tersenyum, Mentari takbiasanya terlelap senyenyak ini meski pagi sudah semakin siang.

“Mentari bangun!” ibunya menggoyang-goyangkan tubuh Mentari dengan lembut. Namun, Mentari tak kunjung bangun juga. Ia heran, mengapa Mentari sangat susah dibangunkan hari ini. Sejenak ia melihat wajah Mentari yang tertidur pulas. Wajahnya sangat tenang, tidur dengan pulas dan senyum manis tersungging di wajahnya.

“Barangkali ia bermimpi mengambil bulan lagi,” pikir ibunya.

Ia meninggalkan kamar Mentari dan membebaskannya untuk bermimpi yang indah lagi agar Mentari menjadi bahagia selalu, karena ia sangat sayang Mentari. Melebihi apa pun yang ada di dunia ini.

Hingga siang, Mentari masih tertidur pulas dengan senyuman manis di bibirnya. Begitu juga ketika senja, malam, dan keesokan paginya pun ia masih tertidur pulas masih dengan senyuman manis di wajahnya.






Bandung, 30 Juli 2009, 22.36


*) semua teks yang bergaris miring adalah lirik lagu Ambilkan Bulan Bu, gubahan A.T. Mahmud yang dinyanyikan oleh penyanyi cilik Tasya.

Sumber :Di sini

Saturday 19 May 2012

Guguran Daun




“Adakah kau merasa tertarik akan bunyi guguran daun?” tanyanya ketika ia melihat selembar daun kering gugur di depannya. Aku terdiam, angin berhembus agak kencang ikut memandangi guguran daun-daun pohon yang jatuh begitu saja ke tanah.

“Memangnya, kau tertarik?” tanyaku.

"Aku merasa seperti menemukan cinta,” jawabnya lembut.

“Maksudmu?”

“Kau takpernah mengerti jika guguran daun itu adalah cinta.”

Aku memang tidak pernah mengerti perkataannya. Pikirannya berbeda dengan oranglain. Tetapi, di balik jalan pikirannya yang aneh, ia teramat lembut dan anggun. Barangkali ia ingin menjadi daun yang berjatuhan atau entah apa. Tetapi bagiku, guguran daun yang kulihat kutafsirkan sebagai ia yang begitu lembut dan selalu membuai.

Kami mencoba memahami pikiran masing-masing. Bukankah ketika kata-kata tidak mampu lagi membahasakan pikiran, pikiranlah yang menjadi bahasa? Ia seorang wanita yang anggun dalam semesta yang disepuh berjuta cahaya. Namun aku tidak pernah bisa menyelami samudera pikirannya, karena barangkali pikirannya jauh melebih pikiranku. Ia peka dan perasa. Namun aku tidak.

“Kau terdiam, ada apa?” tanyanya memecah kesunyian.

“Akh tidak, aku mencoba membayangkan pernyataanmu itu,” jawabku.

Ia tersenyum. Langit senja kemerahan menjadi lebih berwarna dibuatnya.

“Kau tidak usah memikirkan itu. Bukankah aku sudah menjawab pertanyaanku sendiri?”

“Memang, tetapi aku ingin memahami lebih dalam.”

“Kau ada-ada saja!”

“Kau juga ada-ada saja!”

Kami tertawa. Di taman yang lengang ini, kami habiskan waktu dengan canda dan tawa. Bukankah tiada yang lebih indah selain berdua dalam tatawarna senja kemerahan yang selalu menjadi latar cakrawala senja? Guguran daun yang dilihatnya kini menarik hatinya. Ia selalu menyukai hal-hal yang tidak pernah diperbincangkan orang. Taman lengang, guguran daun makin banyak menghempas ke bawah diterpa angin yang segar.

Barangkali daun adalah layar, barangkali daun adalah perahu. Dan barangkali daun adalah dirinya. Daun yang terhempas jatuh ke bawah diterpa angin dan gravitasi bumi, siapa yang sudi membicarakannya selain dia?  Ia sangat menyukainya, mengapa tidak? Aku memandang wajahnya yang cantik, meski tidak sadar aku pandangi. Ia begitu memperhatikan guguran daun-daun yang jatuh ke bumi berserakan.

Wajahnya yang cantik semakin menimbulkan pesona.

“Daun-daun kering, apakah memang kau sudah takpantas menghiasi pohonmu?” tanyanya.

Kupandangi selalu wajahnya yang cantik karena aku mencintainya. Kami terdiam. Ia sibuk dengan pikirannya dan aku pun sibuk memandanginya. Waktu menunjukkan pukul lima, matahari senja telah menjadi emas menyepuh jalanan sehingga jalanan bagaikan terbuat dari emas dan guguran daun itu bagaikan permata yang meghiasi jalan emas tersebut. Betapa cahaya keemasan begitu anggun dan kemilau sehingga segalanya menjadi tenang dan sendu. Kami berdua saja dalam taman itu dan yang lebih indah selain berdua dalam taman kala senja. Hanya aku dan dia.

“Hei aku ingat,” katanya dengan suara yang lembut.

“Ingat apa?” tanyaku.

“Coba kau injak daun-daun kering itu. Dengarkan suaranya.”

Aku menginjak guguran daun-daun kering yang berserakan di jalan. Bunyi “krak” terdengar ketika aku menginjaknya.

“Kau suka tidak suaranya?” tanyanya.

“Hmm… ya suaranya enak didengar. Kering dan renyah, haha…”

“Kau menyukainya?”

“Aku suka. Kau bagaimana?”

“Lihat aku,” katanya sambil berjalan mendekati guguran daun-daun kecil yang berserakan. Ia menginjak daun-daun itu dengan riang sehingga terdengar bunyi “krak” yang nyaring dan renyah. Ia injak semua daun-daun kering yang berserakan di sana sehingga terdengar bunyi “krak” berkali-kali. Kadangkala ia teramat lembut untuk disakiti, jiwanya penuh dengan mimpi. Mimpinya begitu gilang gemilang dan selalu berbeda. Apakah ia kelak akan menjadi cahaya bersama mimpinya? Semoga.

“Kau dengar? Aku senang mendengar bunyinya sayang!” teriaknya senang.

Aku tersenyum melihatnya. Wajahnya yang anggun tersepuh cahaya keemasan matahari senja.

“La la la! Aku ingin menciptakan lagu untuk mengenangnya!”

Guguran daun kering itu hampir semua telah diinjak olehnya. Ia bahagia sekali. Belum pernah kulihat ia sebahagia ini. Wajahnya merah penuh cahaya keemasan. Dan senja semakin menampakkan kemilaunya.

“Aku ingin membuat lagu. Aku ingin membuat puisi!”

“Kau bahagia sekali sayang,” kataku.

“Aku bahagia mendengar suara ini. Aku mendengar semuanya, termasuk suaramu juga,” jawabnya manis.

Aku kembali tersenyum.

“Aku menyayangimu,” katanya.

Ia memang wanita yang indah. Wanita, senja, dan guguran daun, barangkali akan kuabadikan selalu wajahnya dalam semesta kala senja dan kutulis namanya dalam guguran daun dimana ia begitu menyukainya. Setidaknya itulah hubungan antara ketiganya.

Sehelai daun jatuh di depanku. Masih baru. Kuambil daun tersebut sebagai kenang-kenangan yang terindah selama hidupku. Kudekati dirinya yang masih asyik menginjak daun-daun yang berserakan.

“Aku juga menyayangimu,” itulah kata-kata terindah yang kuucapkan senja itu padanya.

***
Ada yang salah dengan waktu? Atau kita yang salah menafsirkan waktu itu sendiri terlalu sibuk menyibuk-nyibukkan diri dengan kesibukan yang sebenarnya tak terlalu sibuk tak terlalu berat untuk disibukkan. Lalu kau pun hilang di antara lenguh angin yang membelai taman ini taman tempat aku menunggumu selama beratus-ratus tahun hingga guguran daun di sini pun menjadi beratus-ratus beribu-ribu berjuta-juta bahkan bermiliar-miliar menumpuk menggunung takada yang peduli takada yang iba karena memang hanya guguran daun bukan guguran rupiah bukan guguran emas yang selalu mereka puja mereka sembah mereka gilai hormati mungkin saja kau pun seperti mereka.

Apakah memang waktu sendiri lupa melupa-lupa berlupa-lupa pura-pura lupa sehingga semua orang menjadi lupa, lupa akan waktu lupa akan tubuh dan akhirnya mati meranggas seperti daun-daun yang kulihat selalu gugur menggugurkan dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya dan sesampainya di bawah hanya tinggal seonggok sampah seperti manusia seperti jiwa seperti setan yang selalu menyampah dan takpernah mau membersihkan karena memang kotor dan sangat kotor terlalu kotor untuk dibersihkan. Senja takada yang abadi takada yang menyapaku saat menunggumu di taman beratus-ratus tahun takkenal musim takkenal waktu takkenal usia takkenal pagi siang bahkan remang malam yang selalu menutup senja dengan selubung hitam dengan gemintang muramnya yang hanya kelap-kelip bagai kunang-kunang yang redup cahayanya seperti koma seperti sakaratul kelap-kelip remang akhirnya hilang padam redup sepertimu. Mati suri.

Akh, ini hanya gurauan belaka atau nyata memang? Di mana kau?

“Papa! Lihat guguran daunnya banyak!”

Senja kembali hadir dalam cakrawala dan menjadikan jalan yang kulalui berkilau bagai terbuat dari emas. Dan guguran daun-daun kering itu lebih banyak dari apa yang kulihat bersamanya dulu. Samar-samar kenangan tersebut kembali berputar-putar dalam ingatan.

“Papa! Suaranya nyaring kalau aku injak!” anakku tertawa riang sambil menginjak daun-daun kering itu. Bunyi “krak”, apakah akan tetap sama sampai aku beranjak renta nanti? Barangkali daun adalah drumset, barangkali daun adalah perkusi sehingga mengeluarkan bunyi nyaring semacam itu. Aku tenggelam dalam kenangan. Kenangan tentang guguran daun dan juga wanita itu. Dulu.

“Kok diam saja? Anakmu kau biarkan sendiri tuh,” istriku membuyarkan lamunanku.

Aku diam tak menjawab. Kupandangi anakku yang asyik menginjak guguran daun. Seperti wanita itu.

“Kau ingat sesuatu?” istriku bertanya kembali.

“Akh, tidak. Aku hanya melamun saja.”

“Melamun tetapi tidak ada yang dilamuni. Aneh.”

Aku diam. Senja semakin kemilau. Kulihat waktu, pukul lima. Sama dengan apa yang kulakukan dulu bersamanya. Mengapa harus kuingat kembali masa lalu itu?

  Akh, ini hanya gurauan belaka atau nyata memang? Di mana kau?

Aku masih diam, tenggelam dalam kenangan. Tidak kusadari istriku memperhatikan segala tingkahku yang aneh. Ia mendengus.

“Kau pasti teringat dengan Lara. Heran, ia kan sudah mati! Mengapa kau masih mengenangnya? Untung saja ia sudah mati, kalau tidak kau pasti akan menikah lagi dengannya. Laki-laki memang aneh!” kata istriku memberengut.

Senja keemasan sebentar lagi meremang. Aku masih terpaku akan guguran daun, bunyi daun kering, jalanan yang kulalui bersama istri dan anak-anakku, juga Lara, wanita terindah yang bisa kucintai secara sembunyi saja.



Bandung, 05 Desember 2009
20.14


sumber foto :di sini