Monday 30 January 2012

TIDUR


Kapankah kemiskinan akan pergi dari bumi Indonesia? Pertanyaan itu kembali terulang oleh setiap rakyat Indonesia manakala melihat kemiskinan di depan matanya yang masih merajalela.
Beberapa saat yang lalu, dalam terik siang dan cahaya matahari di atas kepala, saya menjumpai seorang tua penjual kacang tanah. Di pinggir jalan, bapak tua itu berteduh sambil menjajakan kacang yang sebagian telah dibungkus kertas. Bapak tua itu duduk di tembok sebuah rumah, dan angin siang yang berhembus membuat ia tertidur. Barangkali usia tuanya membuat tubuhnya mudah lelah dan ngantuk, atau mungkin barangkali pada malamnya ia tidak bisa tidur karena didera masalah kehidupan.
Saya taksir usia bapak tua itu sudah lewat tujuh puluh tahun. Apakah separuh hidupnya digunakan hanya untuk berjualan kacang? Penjual kacang tanah merupakan sebuah tradisi berjualan yang sudah ada sejak zaman kolonial. Pada zaman dulu belum marak jajanan pabrik yang beraneka ragam, sehingga orang-orang zaman dahulu mengonsumsi kacang sebagai cemilan.
Zaman sekarang tentunya telah banyak berubah. Pabrik-pabrik berlomba memproduksi makanan yang beraneka ragam. Bahkan kacang pun kini sudah dikemas dengan kemasan produk yang memikat. Barangkali sekarang orang akan lebih memilih membeli kacang yang sudah dikemas dan memiliki nama yang besar dibanding dengan membelinya di tukang-tukang kacang seperti bapak tua itu.
Bapak tua itu tertidur dengan pulas meski jalanan di depannya bising oleh deru knalpot kendaraan. Adakah yang bisa membangunkan orang yang tertidur karena lelah? Mungkin bapak tua itu sedang bermimpi yang indah, dan berharap ketika ia membuka matanya akan ada kesejahteraan menanti di hadapannya. Harapan itu akan selalu membayang pada setiap rakyat kecil yang haus akan arti sebuah kesejahteraan.
Melihat bapak tua yang tertidur di saat istirahat menjajakan dagangannya ini saya teringat dengan para anggota dewan yang tertidur pula ketika rapat paripurna berlangsung. Ini sudah bukan hal yang heboh lagi di negeri kita. Tidurnya anggota dewan saat sedang rapat tidak akan sama dengan tidurnya bapak tua penjaja kacang tersebut. Tidurnya mereka sebagai wujud dari kebosanan mereka ketika harus terjun memikirkan dan mengurusi masalah bangsa.
Bagaimana Indonesia akan terbangun dari mimpi buruknya jikalau pemerintah saja tertidur ketika sedang memikirkan negara? Bagaimana Indonesia akan terlepas dari kemiskinan jika budaya tidur kala rapat masih melekat pada sebagian “oknum” pejabat kita?
Kemiskinan adalah “garmen yang menutupi ketelanjangan” negara ini. Garmen  sebenarnya bisa untuk diubah dan diganti dengan garmen yang lebih baik, asalkan ada kemauan dari diri yang tertutupi oleh garmen tersebut. Jika pakaian kita kotor oleh aktivitas kita, tentunya kita pun akan mengganti baju yang kotor tersebut kan? Nah, kemiskinan pun seperti itu.
Tidur adalah hal yang lumrah bagi setiap manusia. Manusia butuh tidur. Manusia butuh istirahat. Namun, terkadang derajat bisa membedakan tidur masing-masing manusia. Jika rakyat miskin tidur karena memang ia terlalu lelah bekerja mencari uang, lantas ia tidur untuk mengistirahatkan tubuh sambil berharap jika ia membuka mata akan terhampar rezeki yang lebih baik di matanya. Sementara itu, jika orang kaya tidur, itu karena ia telah kenyang akan nikmat dunia, dan sudah saatnya tidur ngorok sambil bermimpi menjadi konglomerat. Haha, semoga Anda yang orang kaya tidak akan tidur seperti itu.
Semoga rezeki yang baik selalu melimpah di setiap kacang-kacangmu pak. Dan semoga rahmatNya selalu tercurah untukmu dan untuk keluargamu.



Bandung, 30 Januari 2012

MELANKOLIS


Pernahkah Anda merasa terharu ketika mendengarkan sebuah lagu? Atau pernahkah tiba-tiba Anda ingin menyendiri sambil mendengarkan alunan lagu yang sendu lalu hanyut ke dalam suasana hati yang rawan? Jika Anda pernah merasakan hal tersebut, maka Anda termasuk ke dalam orang-orang yang melankolis.
Sering kan kita mendengar jika ada orang yang tiba-tiba ingin mendengar musik yang mendayu-dayu, maka teman-temannya akan mengatakan bahwa ia sedang melankolis. Pada kasus lain, orang akan menyebut seseorang melankolis bila ia berbicara puitis dan mudah larut dalam suatu keadaan yang dramatis. Bahkan tidak jarang mendengar alunan lagu klasik melalui gesekan cello saja, jiwa melankolis akan berurai air mata.
Melankolis adalah salah satu sifat/kepribadian yang dimiliki oleh manusia. Melankolis berarti suatu keadaan jiwa yang lamban, pendiam, murung, muram, dan sayu. Keadaan ini bisa diakibatkan oleh pembawaan pribadi atau pun hal-hal yang bisa menyebabkan seseorang mengalami perasaan sedih yang mendalam, misalnya seseorang yang dekat dan dicintainya meninggal, putus dari kekasih, dipecat, tidak lulus ujian, dan lain-lain.
Melankolis yang berarti pembawaan diri adalah sifat dari manusia yang murni mempunyai sifat melankolis. Sifat ini ditandai dengan kepekaan manusia tersebut terhadap keadaan dan suasana di sekelilingnya. Melankolis begitu sensitif dengan sedih dan amarah. Jika dirinya sedang bersedih, maka ia akan memisahkan diri dari kelompoknya dan mencari kesunyian untuk menenangkan jiwanya. Apabila ia melihat ada teman atau kerabatnya yang bersedih, maka ia adalah orang pertama yang akan berempati terhadap teman yang bersedih tersebut.
Melankolis mempunyai jiwa yang mudah terharu, namun bukan berarti ia seorang yang cengeng. Karena jiwanya yang peka, ia mampu menunjukkan kepekaannya dengan cara yang kita sebut dengan romantis. Romantis inilah yang menjadi penonjol utama seseorang yang berjiwa melankolis. Ia akan menangis karena memang jiwanya lebih peka terhadap suasana yang ia anggap rawan. Tangisannya bukan berarti tangisan seseorang yang manja dan butuh kelonan. Dan seringkali orang-orang menganggap seseorang yang berjiwa melankolis sebagai seorang yang cengeng sehingga terkadang jiwa melankolis sering diartikan sebagai manusia lemah dan tidak berdaya.
Di balik sensitivitasnya, ia adalah seorang perencana yang baik. Ia mampu merencanakan dari jauh-jauh hari tentang apa yang akan dilakukannya hari ini, esok, bahkan di masa yang akan datang. Ia memiliki orientasi untuk melakukan sesuatu dan ia akan melakukannya dengan baik berdasarkan apa yang telah diorentasikannya. Kelebihan yang lain adalah ia berjiwa seni yang tinggi. Ia mampu merangkai kata-kata indah yang bisa menaklukkan hati wanita. Namun, bukan berarti ia menciptakan puisi untuk menyatakan cinta. Jiwa melankolis adalah jiwa yang tersembunyi. Ia tidak bisa ditebak dan ia tidak mampu menebak. Kata-kata indah yang ia ciptakan seringkali hanya untuk dinikmati sendiri, karena baginya seni adalah untuk dirinya sendiri (semacam moto Humanisme Universal). Jika ada orang-orang yang memujinya, ia selalu skeptis terhadap pujian tersebut, apakah memang benar-benar sebuah pujian yang murni atau sekadar hanya untuk menyanjungnya.
Rasa skeptis tersebut akan membuat ia berpikir dua kali untuk mengomersilkan dirinya. Oleh karena itu, sifat melankolis akan merasa nyaman ketika bekerja “di balik layar”, atau melakukan sesuatu tanpa ketahuani tetapi hasilnya sangat bermanfaat bagi orang lain. Begitu pun halnya dengan perasaan cinta. Orang melankolis akan susah utnuk menyatakan cinta, karena ia selalu ragu apakah orang yang dicintainya itu akan menerima cintanya atau tidak. Jika dalam istilah kekinian kita mendengar adalah istilah “pemuja rahasia”, maka istilah tersebut bersumber dari orang-orang melankolis yang malu untuk menyatakan cinta. Istilah filsafatnya adalah cinta platonik.
Lain halnya dengan melankolis yang dipengaruhi oleh suasana. Orang-orang ini merupakan “melankolis dadakan”. Keadaan seperti ini seringkali membuat polaritas dalam kehidupan manusia. Hampir semua manusia akan merasakan keadaan tertekan dan sedih. Wajar saja, karena manusia adalah makhluk yang lemah. Sekuat apapun manusia menahan rasa sedih, ia akan selalu mengenangnya dalam suasana yang muram manakala teringat akan perasaan sedih tersebut.
Salah satu hal yang gampang membuat manusia menjadi melankolis dadakan, yaitu alunan lagu yang sendu dengan lirik yang sedih dan puitis,. Di Indonesia, lagu-lagu yang menceritakan duka kehidupan banyak sekali tercipta dan sering membuat pendengarnya hanyut dalam suasana yang diciptakan oleh lirik dan nada dari lagu tersebut. Apalagi jika cerita yang disampaikan dalam lirik tersebut pernah dialami oleh orang-orang yang mendengar lagu tersebut. Secara otomatis, pikiran akan melayang membayangkan seandainya ia yang diceritakan dalam lagu tersebut.
Dalam hal-hal yang lain, setiap orang akan mengalami masa-masa yang melankolis. Maka, kita jangan takabur dulu menganggap kita adalah makhluk terkuat yang dibuktikan dengan tidak mudah menangis. Pada kenyataannya manusia mempunyai dua sisi, yaitu sisi memberontak dan sisi yang rawan. Sisi yang memberontak akan keluar apabila manusia menerima hal-hal atau suasana yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sementara itu, sisi yang rawan adalah sisi yang begitu mudah terpengaruhi oleh suasana sekitar. Sifat melankolis pun akan begitu mudah masuk dari sisi rawan ini lalu membuat manusia menjadi lemah dan tidak berdaya menghadapi lagu-lagu yang mendayu-dayu ataupun tontonan yang menonjolkan suasana yang mengharu biru.
Oleh karena itu, sifat melankolis akan selalu melekat dalam pribadi manusia, baik itu menjadi kepribadian atau pun sifat yang terkadang memengaruhi jiwa. Namun, melankolis yang berlebihan dan dibiarkan berlarut pun akan menjadi sebuah kelainan jiwa yang dinamakan melankolia, yakni kelainan jiwa yang ditandai oleh rasa depresi yang tinggi dan ketidaaktifan fisik.
Melankolis tidak selamanya identik dengan tangisan ataupun galau. Yang ditekankan dalam melankolis sesungguhnya bukanlah pada tangisan, tetapi pada kepekaan kita terhadap suasana di sekeliling kita. Pada dasarnya, melankolis mengajarkan kita untuk selalu berempati terhadap orang lain, khususnya orang-orang yang mengalami sebuah penderitaan atau kesedihan. 

sumber gambar : http://blogs.unpad.ac.id/ibnunashr/2011/10/03/malam-melankolik/


Salam Humaniora
Bandung, 29 Januari 2012

Friday 27 January 2012

LEMBAYUNG SENJA DAN PENYEMPURNAAN HIDUP


Dalam istilah alam kita mengenal ada saat lembayung. Lembayung biasanya terjadi pada waktu-waktu berakhirnya senja. Lembayung itu sendiri memiliki arti merah jingga, sebuah warna yang memang terlihat ketika matahari hampir terbenam. Namun, tahukah kita bahwa saat-saat lembayung senja merupakan saat-saat yang memiliki filosofis yang tinggi dalam kehidupan manusia?

Waktu lembayung senja merupakan fase ketika matahari hampir sepenuhnya terbenam. Waktu merendahnya matahari dimulai ketika pukul tiga sore. Fase ini ditandai dengan condongnya matahari ke ufuk barat dan berubahnya cahaya matahari perlahan dari kuning keemas-emasan menjadi merah jingga. Cakrawala akan berubah menjadi merah jingga atau oranye ketika lembayung. Hawa panas akan berangsur-angsur menjadi sejuk.

Lembayung senja merupakan fase puncak dari pergerakan matahari dalam satu hari. Ketika lembayung berakhir, matahari telah utuh terbenam di ufuk barat dan secara perlahan akan berganti dengan kegelapan. Bersyukurlah jika manusia di bumi masih menikmati saat-saat yang romantis ini, karena ketika lembayung dan senja banyak sekali diidiomkan orang sebagai saat-saat yang paling romantis di samping saat matahari terbit dan bulan purnama dengan bintang gemintangnya.

Terbenamnya matahari banyak sekali dimaknai sebagai fase penyempurnaan. Dalam sistem penanggalan Islam, saat-saat lembayung merupakan saat-saat pergantian hari. Sistem penanggalan Islam adalah diawali dengan gema adzan Magrib sebagai permulaan sebuah hari, bukan ketika jam menunjukkan pukul duabelas malam. Dengan sistem penaggalan inilah, penyempurnaan hari dalam Islam ditandai dengan waktu lembayung senja.

Dalam Al-Qur’an pun waktu lembayung senja disinggung dalam Surah Al-Insyiqaaq. Di ayat ke-16 diterangkan bahwa Allah telah bersumpah ketika cahaya merah di waktu senja dan ketika pada waktu malam, bahwa sesungguhnya manusia akan melewati fase kehidupan. Fase tersebut berjalan ketika pembuahan sel telur oleh sperma hingga manusia tersebut meninggal dan dibangkitkan kembali. Surah tersebut mengutarakan terjadinya kiamat dan janji Allah kepada orang yang beriman ketika kiamat.

Berangkat dari ayat tersebut, sumpah Allah kepada makhlukNya terucap bukan ketika pagi atau siang, melainkan pada senja menuju malam. Senja sebagai saat-saat pergantian hari menuju malam serta pergantian tanggal dalam sistem Islam merupakan saat ketika manusia harus menghentikan sejenak aktivitasnya dan melakukan ibadah kepada Allah. Ibadah ini ditandai dengan berkumandangnya azan Maghrib sebagai tanda bergantinya siang menuju malam. Saat-saat ketika manusia harus melakukan penyempurnaan atas aktivitas dunia yang dilakukan pada pagi dan siang hari. Dan penyempurnaan itu ialah bersujud dan mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Seru Sekalian Alam.

Bagaimana dengan filosofi lembayung senja di agama yang lain? Dalam kepercayaan Tao dijelaskan bahwa waktu lembayung senja merupakan fase penyempurnaan manusia dalam kehidupannya. Matahari yang hampir terbenam diibaratkan dengan manusia yang telah mengalami perjalanan panjang kehidupan. Senja diibaratkan sebagai manusia yang sudah berumur tua. Cahaya matahari ketika senja tidak akan seterang cahaya matahari ketika siang. Namun, saat-saat ketika senja merupakan saat-saat yang paling indah di bumi.

Begitu juga manusia. Ketika menginjak usia tua, kemampuan fisik mulai menurun. Tubuh tidak lagi sekuat dahulu, namun manusia haruslah memancarkan kebijaksanaannya, harus mampu memberikan kesejukan, serta mampu menunjukkan kematangan jiwanya sebagai manusia. Saat tua sudah bukan lagi terombang-ambing oleh keputusan yang labil. Sebab, menurut ajaran Tao, seseorang ketika masuk usia senjanya kurang bijaksana, susah menyesuaikan diri, dan masih tinggi sifat egonya, maka ia akan tersisihkan, merasa kesepian, dan hidupnya tidak akan bahagia.

Masa usia tua merupakan usia persiapan menuju akhir kehidupan. Kepercayaan Tao mengajarkan bahwa ketika manusia sudah memaknai arti hidup, maka ia akan memperoleh ketenangan batin menjelang akhir hidupnya. Dan ketika jiwanya terlepas dari jasad, ia akan berganti rupa menjadi dewa-dewi sesuai dengan buah dari ajaran Tao yang telah sempurna.

Kepercayaan yang lain pun memfilosofikan sebagai puncak penyempurnaan hidup seorang manusia untuk berganti menuju dunia yang lain, yakni dunia akhirat tempat segalanya akan kekal. Penyempurnaan dalam istilah Buddha Mahayana dikenal dengan sebutan Zen atau Dhyana. Zen atau Dhyana mengajarkan fokus pada sikap meditasi untuk mencapai penerangan dan kesempurnaan jiwa. Meditasi ini mengajarkan manusia untuk memusatkan seluruh pikirannya tidak lagi bersifat dualistik, sebab penyempurnaan berarti tidak lagi memikirkan kefanaan, dalam hal ini adalah dunia. Penyempurnaan adalah satu, yakni Buddha itu sendiri.

Beragam filosofi penyempurnaan manusia ketika lembayung senja dalam masing-masing agama menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah. Manusia bukanlah makhluk yang kekal di dunia ini, yang kekal hanyalah Sang Pencipta Kehidupan. Sadar akan jiwanya yang tidak sempurna, Sang Pencipta menyuruh kepada umatNya untuk menyempurnakan kehidupan sesuai dengan apa yang telah diajarkan. Usia begitu mudah menjadi tua, dan kematian selalu dekat kepada manusia.

Tuhan menyimbolkan sikap yang seharusnya manusia lakukan sebelum kematian menjelang, melalui bahasa alam. Ia menciptakan lembayung senja sebelum kegelapan tiba merupakan fase ketika matahari memancarkan cahaya yang begitu indah sehingga menghiasi cakrawala menjadi merah jingga sebelum akhirnya hilang ditelan kegelapan malam. Meskipun hanya sebentar, bayangan tentang senja yang indah akan selalu melekat di benak manusia yang pernah melihatnya. Manusia pun begitu. Sebelum kematian menjelang, manusia harus mempersiapkan bekalnya. Ia harus lebih matang—baik dalam iman maupun sikap—agar kematian yang membayang di depan matanya  telah siap untuk dihadapi.


Bandung, 24 Januari 2012

KESEHATAN ITU MURAH HARGANYA


Dalam berbahasa di masyarakat Indonesia, kita mengenal ada istilah “kesehatan itu mahal harganya”. Orang-orang akan menggunakan istilah ini jika dirinya orang telah terjangkit penyakit. Secara semantis makna dari istilah tersebut adalah kesehatan itu akan terasa tinggi nilainya jika kita telah terjangkit suatu penyakit akibat lalai menjaga kesehatan. Namun, dilihat dari segi pragmatik dan kesinkronan antara kalimat dengan keadaan sosial, hal ini tidak logis.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sedang berkembang. Negara selalu mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya, meski kenyataannya sudah 66 tahun Indonesia merdeka, kesejahteraan itu belum terasa bagi rakyat kecil. Pelayanan kesehatan pun belum dirasakan merata bagi setiap rakyat Indonesia. Apalagi jika rakyat tersebut berada di kawasan pelosok dan di pedalaman.
Makna “kesehatan itu mahal harganya” barangkali menjadi istilah yang salah ketika digunakan di Indonesia. Rakyat miskin yang notabene tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya mungkin akan bertambah miris bila mendengar istilah ini. Betapa tidak, mereka sangat anti mendengar kata “harga mahal”. Dalam benak mereka, “kesehatan itu mahal harganya” memiliki makna bahwa kesehatan itu lebih malah dari motor Harley Davidson, lebih mahal dari harga satu kilo beras dan satu kilo telur, serta lebih mahal dari harga minyak. Jika dalam pikiran mereka tertanam bahwa sehat itu mahal, bagaimana mungkin kita bisa mengubah tingkat kesehatan masyarakat Indonesia?
Konsep “kesehatan itu mahal harganya” tentunya hanya terdengar ketika orang sedang terkena penyakit. Konsep pemikiran ini yang harus diubah, yakni bukan sehat yang mahal tapi sakit yang harus mahal. Coba kita bandingkan kalimat “kesehatan itu mahal harganya” dengan kalimat “sakit itu mahal harganya” lalu diucapkan ketika kita terkena sakit. Mendengar kalimat “sakit itu mahal harganya” orang akan berpikir dua kali untuk sakit bukan?
Kesehatan itu tidak mahal kok. Ia bisa dibeli dengan murah dan dapat digunakan setiap hari. Menjaga kesehatan tidak selamanya harus membeli alat-alat untuk melancarkan peredaran darah, atau suplemen-suplemen penjaga kesehatan. Dengan menjaga pikiran agar tetap jernih pun sudah menjadi kunci dari kesehatan kita. Menjaga tubuh dengan mengonsumsi makanan dan minuman yang bergizi aecara teratur, manusia akan terhindar dari penyakit. Bila pemikiran ini melekat dalam masing-masing pikiran rakyat Indonesia, saya kira tidak ada lagi orang yang berkata, “kesehatan itu mahal harganya” ketika mereka sakit.
Dari segi bahasa, saya menganjurkan untuk mengubah kalimat “kesehatan itu mahal harganya” menjadi “kesehatan itu sangat berharga”. Berharga memiliki makna bernilai, tinggi nilainya, dan penting. Tentunya dengan menggunakan kata “berharga”, orang akan semakin peduli menjaga kesehatan, baik kesehatan tubuh maupun kesehatan lingkungan. Jika penerapan kalimat “kesehatan itu mahal harganya”, orang tidak mau sehat dong, sehat kan mahal? Siapa yang mau beli kalau harganya mahal?


Salam Humaniora
Bandung, 25 Januari 2012
11.15

TENTANG MENULIS #3 (Menjadi Penulis Mandiri)


Untuk memperkaya sebuah tulisan, biasanya penulis memasukkan banyak referensi ke dalam tulisannya. Tujuannya agar apa yang ditulisnya dapat memberikan informasi yang benar dan akurat kepada pembaca, terlebih jika yang ditulis adalah makalah, artikel, dan karya ilmiah.
Seringkali referensi dijadikan tolok ukur seberapa benar dan informatifkah tulisan itu. Obsesi penulis memasukkan referensi terkadang sering disalahgunakan. Beberapa penulis banyak memasukkan referensi-referensi ke dalam tulisannya—bahkan setiap kalimat yang ditulis merupakan kutipan dari referensi lain. Jika sudah demikian, dimanakah letak dari gagasan si penulis dalam tulisannya?
Hakikat awal menulis adalah mengungkapkan pikiran atau gagasan (seperti yang telah disinggung di bagian 1). Gagasan tersebut akan lebih bisa diterima publik jika disinkronkan dengan referensi yang ada. Namun, bukan berarti kita mesti terpaku pada referensi. Referensi hanya dijadikan penunjang bagi kekuatan sebuah gagasan kita.
Bila kita menulis tulisan yang bersifat ilmiah, mau tidak mau harus mengacu pada referensi yang ada. Hanya, akan lebih baik jika kita tidak mengutipnya secara langsung, melainkan menuliskannya dengan bahasa kita. Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai penulis telah memahami kepustakaan yang sedang kita pelajari. Dengan menggunakan kalimat yang kita buat sendiri akan mencegah tulisan kita dari pelanggaran hak cipta. Sebab, seringkali penulis lupa mencantumkan identitas dari referensi yang dikutipnya. Jika sudah begini kan tulisan kita menjadi tidak orisinal.
Banyak referensi pun belum tentu membuat tulisan kita menjadi bagus. Banyak penulis yang memasukkan referensi namun ia hanya mengutip-ngutip saja tanpa pernah memahami maksud dari kutipan tersebut. Kesalahan seperti ini bisa berakibat fatal jika kita tetap mencaplok referensi sana-sini tanpa memaknainya dengan jelas. Percuma bukan jika kita susah payah memasukkan banyak referensi hasilnya malah jadi membingungkan?
Jika memang kita membutuhkan referensi untuk tulisan kita, saran saya pahami lebih dalam sumber-sumber data yang telah kita dapatkan. Tujuannya, agar referensi tersebut benar-benar sesuai dengan apa yang ingin kita tulis. Kemandirian dalam menulis merupakan modal utama bagi seorang penulis untuk bisa menjadi penulis yang hebat. Mandiri dalam mengungkapkan gagasan, mandiri dalam hal gaya menulis, serta mandiri dalam segi tema.
Ibaratnya, penulis adalah seorang wiraswasta yang hidup dari tulisannya. Jika ingin tulisannya disukai orang, jadilah penulis yang memiliki kemandirian dalam hal ide, yakni tidak meniru ide-ide yang sudah ada. Mengembangkan ide yang telah orang lain tulis memang bagus, namun akan jauh lebih bagus lagi jika kita memiliki instuisi memunculkan ide-ide yang baru. Referensi menjadikan sebuah tulisan kaya akan makna dan wawasan. Hal itu terjadi jika kita mampu memahami dan menuliskannya sesuai dengan maksud dan gaya menulis kita.