Friday 23 December 2011

EL DE ER : Perbincangan Kontemporer Tentang Cinta Lintas Lokasi

-->
Dari jauh kudengar lagu yang berlirik seperti berikut.

Boga kabogoh jauh
Mentas laut leuweung gunung
Tapi apél teu bingung
Cukup hallo na telepon[1]

Lagu Sunda tersebut menceritakan tentang perjalanan cinta beda daerah. Dalam dunia percintaan di Indonesia, kita mengenal ada istilah LDR (bukan Lelaki Duda Rawasari). Nah, LDR itu sendiri merupakan kepanjangan dari Long Distance Relationship (Hubungan jarak jauh). Istilah LDR memang dipakai untuk menyatakan hubungan percintaan antar lawan jenis yang memiliki perbedaan lokasi, misalnya laki-laki Bandung berpacaran dengan perempuan yang berasal dari Jakarta.

Hubungan LDR biasanya terjadi karena ada salah satu dari pasangan yang terpaksa harus pergi ke luar kota. Entah itu untuk menuntut ilmu, pindah tempat tinggal, pindah kerja, ditugaskan, dibuang ketika dipenjara, atau memang ketika mereka memutuskan untuk berpacaran, mereka telah dipisah oleh jarak.

Istilah ini memang tidak semua orang tahu. Barangkali yang tahu istilah ini hanya orang-orang yang pernah jatuh cinta, pernah merasakan hubungan jarak jauh, serta orang yang up to date mengenai masalah percintaan. Yeah, hubungan percintaan jarak jauh dilakukan karena cinta memang tidak mengenal jarak. Kita tidak pernah tahu bahwa kita kelak akan jatuh cinta dengan siapa, dimana, dan kapan terjadinya. Semua selalu menjadi misteri.

Pasangan yang melakukan LDR sudah pasti memiliki komitmen. Biasanya komitmen yang terjadi adalah menetukan kapan waktu yang pas untuk bertemu, pengikatan sebuah kepercayaan antara kedua belah pihak, bahkan perjanjian untuk sehidup semati. Memang, masalah utama yang mendasari hubungan LDR adalah sulitnya bertemu bahkan terkadang satu sama lain tidak tahu kapan lagi bisa bertemu dan memadu kasih. Mereka hanya mengandalkan komunikasi. Di era teknologi yang canggih di masa sekarang, meskipun raga tidak bisa bertemu, mereka masih bisa mengetahui kabar masing-masing dengan berkomunikasi via handphone, telepon, juga via dunia maya. Cukup bermodal pulsa yang banyak, mereka bisa berkomunikasi dengan cara telepon atau pun SMS kepada kekasihnya nun jauh di sana. Dengan teknologi, jarak yang jauh serasa menjadi dekat.

Akan tetapi, manusia terkadang tidak selalu merasa puas atas apa yang dimilikinya. Meskipun sudah bisa berkomunikasi satu sama lain, selalu saja ada keinginan untuk bertemu dan bertatap wajah. Hal ini memang manusiawi. Manusia tidak bisa dilepaskan dari manusia lain. Saling membutuhkan. Seorang laki-laki akan selalu merasa sendiri sebelum ia bertemu dengan kekasihnya yang jauh di sana. Pertemuan demi pertemuan akan selalu diidam-idamkan bagi pasangan yang memutuskan untuk melakukan hubungan LDR.

Tidak mudah memang untuk melakukannya. Selain komunikasi seperti di atas, kita butuh semacam kepercayaan yang mengikat masing-masing pasangan. Namun, apakah kita lantas bisa percaya begitu saja kepada kekasih kita di zaman yang kata Ronggowarsito disebut dengan Kalatidha[2]? Di zaman sekarang, kepercayaan memang mahal harganya. Orang bisa melanggar kepercayaan yang telah ia buat dengan seenaknya. Pasangan yang telah berjanji untuk tidak akan selingkuh selama hubungan LDR acapkali melupakan janji mereka. Malah, perselingkuhan seperti inilah yang lebih menyakitkan. Ketika menjalani LDR, seseorang tidak akan bisa untuk mengawasi pasangannya. Kita tidak pernah tahu bagaimana kehidupan pasangan kita nun jauh di sana. Bagaimana aktivitas mereka, mereka jalan dengan siapa, mereka berkomunikasi di HP dengan siapa saja. Hal-hal itulah yang selalu menghantui kekuatan cinta pasangan LDR. Mereka hanya mengandalkan kepercayaan dari pasangan bahwa di sana mereka tidak akan berbuat selingkuh, dan mau tidak mau kita harus mempercayainya bukan?

Di sinilah kekuatan cinta antara pasangan LDR. Apakah mereka akan selalu meneguhkan hubungan mereka meski mereka telah melakukan hubungan LDR lebih dari setahun? Cinta yang sejati, kukira, adalah cinta yang tahan uji. Hubungan LDR salah satunya adalah ujian yang baik untuk menguji sebuah cinta. Apa pun aktivitas masing-masing pasangan, dengan siapa mereka berkomunikasi di sana, tentunya kita harus kembali lagi pada komitmen pasangan, bahwa kita saling mencintai satu sama lain. Percaya pada cinta yang telah dibangun merupakan kekuatan terbesar untuk menguatkan hubungan LDR ini.

Kepercayaan yang kuat akan dengan mudah mengalahkan gelombang-gelombang yang menghadang. Masing-masing pasangan percaya bahwa sejauh apa pun jarak memisahkan mereka, mereka akan dipersatukan oleh cinta itu sendiri. Sebab, menjalani hubungan LDR bagi mereka merupakan prosesi yang nantinya akan menyatukan mereka ke dalam pelaminan, terlebih bagi pasangan yang telah serius. Mereka akan berusaha untuk kuat, bertahan, dan menjalaninya. Seorang laki-laki yang bekerja di pulau lain dan terpaksa meninggalkan kekasihnya, sudah pasti akan berjanji di hadapan kekasihnya kelak jika ia kembali akan meminang kekasihnya tersebut.

Pembaca yang Baik…

Cinta memang menjadi barang yang penuh misteri dalam kehidupan ini. Kita bisa menjadi kuat karena cinta, namun, kita bisa menjadi lemah karena cinta itu sendiri. Hubungan LDR bukanlah menjadi momok yang menakutkan, akan tetapi kita tidak lantas untuk menyepelekannya. Jalanilah sebuah hubungan apa pun kondisinya, karena jika memang Tuhan berkata lain, hubungan yang dibangun dengan sungguh-sungguh pun bisa menjadi hancur begitu saja. Jika sudah menjalani hubungan LDR, bersabar dan percayalah, bahwa suatu saat nanti kita akan mendapatkan hasil dari kesabaran kita ketika menjalani hubungan LDR itu sendiri. Jangan takut untuk jatuh cinta ketika jarak takterbahasakan oleh kata-kata, dan pertemuan tidak selalu beranak-pinak.

Ketika mengakhiri tulisan ini, saya teringat tentang nukilan surat yang dikirimkan serdadu Jerman yang sedang bertugas di Stalingrad pada zaman kekuasaan Hitler kepada kekasihnya. Surat itu berbunyi seperti berikut.

“Fotomu kukeluarkan kembali, dan kupandangi lama-lama. Aku ingat pengalaman kita bersama di suatu sore di musim panas tahun-tahun terakhir sebelum perang pecah, ketika kita berjalan pulang melintasi lembah yang sedang mengembang menuju rumah kita. Ketika kita bertemu untuk pertama kali, hanya suara hati yang berbicara dalam diri kita; sesudah itu adalah suara cinta dan kebahagiaan. Kita saling bercerita tentang diri kita sendiri dan tentang masa depan yang terhampar di depan kita seperti permadani berwarna-warni.

Permadani warna-warni itu tidak lagi di sana. Sore musim panas tiada lagi dan juga lembah yang mengembang. Dan kita tidak lagi bersama. Tidak ada lagi permadani, hanya ada padang putih takbertepi; tidak ada lagi musim panas, hanya ada musim dingin; dan tidak ada lagi masa depan, paling tidak bagiku, dan tentu saja juga tidak bagimu. Selama ini aku merasakan sesuatu yang tidak bisa kujelaskan, tetapi sekarang aku tahu bahwa aku mencemaskanmu. Aku merasa meskipun dalam jarak ribuan kilometer, kau merasakan hal yang sama…”[3]




Bandung, 23 Desember 2011



[1] Lirik diambil dari lagu “Kabogoh Jauh” cipta alm. Darso yang dinyanyikan sendiri olehnya.
[2] Zaman Kalatidha adalah sebuah zaman rusak yang diramalkan oleh penyair Ronggowarsito (1802—1873). Zaman ini merupakan zaman yang gila yang menyudutkan posisi manusia, yakni ikut-ikutan menjadi gila atau tidak ikut gila tapi mati kelaparan. Sumber: Novel “Kalatidha” karya Seno Gumira Ajidarma, Gramedia, 2006.
[3] Nukilan surat tersebut merupakan rangkaian dari surat-surat terakhir yang berhasil dikirm pasukan Jerman ketika mereka bertempur di Stalingrad, Rusia, ketika Hitler berkuasa. Surat-surat terakhir tersebut berhasil diterbangkan menuju Jerman sebelum akhirnya mereka tewas oleh peluru Tentara Merah Uni Soviet, tertangkap atau menyerah hingga akhirnya dikirim ke kamp tawanan di Siberia. Baca Schneider, Franz, dkk. 2007. Neraka di Stalingrad. Schneider, Franz, dkk. 2007. Neraka di Stalingrad. Hlm. 57—58.

No comments:

Post a Comment