Monday 23 January 2012

GUNUNG GEULIS, KECANTIKAN YANG MULAI MEMUDAR

 Menikmati matahari pagi
 Lanskap pemandangan kota di malam hari
  Lanskap pemandangan pagi




Ada sebuah gunung yang menjulang di bagian timur Kota Bandung, tepatnya di atas kota kecil yang bernama Jatinangor. Jika Anda berkunjung ke kota pendidikan ini, maka Anda akan menyadari, bagaimana hebatnya laju modernisasi yang berkembang demikian pesatnya.
Gunung itu bernama Gunung Geulis. Gunung yang memiliki ketinggian kurang lebih 1281 m dpl ini memiliki potensi yang layak untuk kita daki, khusunya oleh para mahasiswa yang sedang kuliah di Jatinangor. Betapa tidak, Gunung ini menyimpan kekayaan eksotisme dan kultur yang berjalan seiringan. Di balik keindahan panorama alamnya, di balik keindahan panorama lanskap kota ketika kita sampai di puncak, ada segudang legenda yang memiliki versi yang beragam mengenai asal usul dari nama Gunung Geulis serta identitas dari makam yang berada di puncaknya.
Menyusuri setapak demi setapak jalur pendakian, langkah kaki akan selalu terhambat oleh jalur yang menanjak curam. Lelah pun akan dibayar dengan kepuasan memandangi lampu-lampu kota yang kerlap-kerlip dan bisa kita lihat di sela-dela pepohonan yang berada di tepi jurang. Tentunya, rasa lelah ini pun akan terbayar dengan segudang kenangan indah dan tawa yang selalu mengiringi perjalanan menuju puncak.
Dulu, daerah di sekitar lereng masih tertata dengan normal sebagai kawasan persawahan dan kebun. Setahun yang lalu, kita masih bisa melihat indahnya panorama kebun palawija di lereng Gunung Geulis sebelum berjalan lebih jauh ke atas. Namun, kini kondisi sangat memprihatinkan. Tiada lagi kebun palawija yang hijau. Tiada lagi jalur menyusuri pematang sawah yang masih landai dan bisa digunakan sebagai jalur pemanasan sebelum lebih jauh ke atas. Sawah dan kebun telah tertutupi oleh bebatuan besar hasir pengerukan bukit-bukit di sekitarnya. Bukit-bukit di lereng hampir habis digerus oleh alat-alat berat.
Manusia telah mengubah keindahan alam ini menjadi ladang komersil yang tanpa disadari lambat laun kerusakan itu akan semakin parah. Jalur menuju gunung pun menjadi rusak dan lebih curam, sehingga kita pun harus mempersiapkan tenaga yang ekstra ketika berjalan di lereng Gunung Geulis. Salah-salah sebelum puncak gunung di depan mata, tenaga kita telah habis terkuras oleh jalur yang ekstrem ini.
Berbicara mengenai rusaknya lahan, maka kita akan pula menyinggung siapakah yang mengizinkan pengerukan ini? Entah akan dijadikan apa kawasan tersebut. Barangkali bukit-bukit digempur hanya untuk pembuatan kawasn permukiman yang baru atau memang daerah tersebut telah dijadikan kawasan pertambangan batu. Kita haruslah terharu memang melihat alam kita yang menjadi rusak tepat di depan mata kita sendiri, bukan kita dengar atau kita lihat di media massa. Ironi memang ketika di sisi lain pemerintah sedang menggencarkan penanaman pohon di sejumlah lahan-lahan kritis (bahkan di lereng Gunung Geulis yang rusak pun ada spanduk acara penanaman pohon), di sisi lain pengrusakan alam kian merajalela.
Hal inilah mungkin yang terpikirkan oleh beberapa pendaki ketika lewat ke area ini. Tentunya menjadi seorang pendaki pun harus memiliki jiwa peduli terhadap lingkungan, karena salah satu wujud mengakrabi alam sekitar kita salah satunya adalah mendaki gunung. Kita akan selalu mendapatkan makna di balik estetik panorama alam yang kita temui dalam sebuah pendakian.
Perjalanan pun diteruskan kembali menuju jalur yang sesungguhnya, yakni jalur yang mulai menembus hutan-hutan di Gunung Geulis. Sangat sulit memang menentukan arah untuk mencapai puncak di sini, sebab banyak sekali cabang-cabang jalur yang seringkali mengecoh pendaki. Terlebih ketika pendakian ini dilakukan pada malam hari.
Beberapa pendaki memang melakukan pendakian pada tengah malam. Mereka hanya mengejar melihat panorama matahari terbit ketika berada di puncak. Hal ini memang sering dilakukan mengingat kondisi alam di puncak gunung yang tidak ada sumber air dan hanya ditanami perdu dan ilalang panjang. Oleh karena itu, para pendaki yang melakukan pendakiannya di malam hari harus ekstra hati-hati untuk tidak terkecoh jalur. Ketika kita salah memilih jalur, maka otomatis kita akan tersesat bukan?
Jalur yang sempit dan berada persis di samping jurang yang tersembunyi dalam perdu-perdu yang menutupi merupakan tantangan sendiri untuk para pendaki selain kontur jalur yang tidak rata. Apalagi pada musim hujan jalur akan menjadi rawan karena licin dan banyak pacet.
Menjelang setengah perjalanan, jalur kemudian berbelok menanjak ke arah kanan. Pendakian pun harus dilakukan dengan menguras tenaga yang ekstra, karena di jalur ini sudah tidak ada lagi jalur-jalur yang landai. Jalur yang menanjak dengan kemiringan hingga 45 derajat ditambah kondisi jalur yang licin dan bertingkat-tingkat membuat pendaki sering merasa kepayahan. Kondisi hutan pun sudah bukan lagi hutan yang lebat, melainkan hanya ditumbuhi oleh ilalang-ilalang yang memiliki daun yang tajam. Seringkali daun-daun tersebut menjular hingga menutupi jalur, sehingga para pendaki harus ekstra hati-hati untuk menyibaknya. Jika kita tidak hati-hati lengan kita yang menjadi korban dari ketajaman daun-daun tersebut.
Ada hal yang unik ketika kita sampai di jalur ini, yaitu kita sering terkecoh bahwa puncak gunung sudah di depan mata. Padahal kenyataannya masih jauh dari yang dibayangkan. Keterkecohan ini selalu dilontarkan oleh para pendaki yang mulai capek dan putus asa ingin segera mengakhiri perjuangannya dan cepat-cepat mencapai puncak  Kenyataannya, anggapan tersebut selalu salah dan puncak gunung masih jauh dari apa yang diharapkan.
Pendakian yang melelahkan pun akhirnya terbayar sudah ketika kita sudah sampi di puncak. Setelah memakan waktu hampir dua jam perjalanan menuju puncak, puncak yang sebenarnya benar-benar ada di depan mata. Hal ini ditandai dengan adanya bangunan rumah yang berada di sebelah kiri jalur. Bangunan tersebut merupakan bangunan yang mendampingi dari satu makam yang menjadi trademark dari Gunung Geulis.
Makam itu terletak di bawah pohon besar yang kedudukannya bisa kita lihat dari kota Jatinangor. Banyak cerita yang memiliki versi yang berbeda mengenai keberadaan makam ini. Salah satu versi yang muncul adalah bahwa makam tersebut adalah makam seorang istri dari seorang penguasa wilayah Jatinangor pada zamannya. Istri tersebut sangat terkenal kecantikannya. Oleh karena itu orang-orang pun menjulukinya dengan sebutan “Putri Geulis” meski nama yang sebenarnya tidak ada yang tahu pasti. Suatu hari Putri Geulis tersebut meninggal dunia akibat terserang penyakit. Sebagai wujud cintanya yang begitu dalam terhadap mendiang istrinya, suaminya akhrinnya mengubrukan jasad istrinya di atas gunung sehingga gunung tempat putri geulis itu dimakamkan disebut Gunung Geulis.
Barangkali, versi ini yang mungkin diterima oleh masyarakat sekitar. Pasalnya, hanya penguasalah yang sanggup untuk menguburkan kerabat atau dirinya di atas gunung seperti halnya makam yang diduga sebagai makam salah satu raja di kerajaan Siliwangi yang bisa kita temui di puncak Gunung Manglayang.
Oleh karena itu, makam di puncak Gunung Geulis seringkali didatangi oleh orang-orang yang ingin mendapatkan jodoh. Barangkali kita sebagai pendaki boleh percaya atau tidak mengenai kebenaran mitos tersebut. Yang jelas, kita harus menghormati keberadaan makam tersebut ketika kita berada di puncak. Hal tersebut merupakan salah satu wujud kecintaan kita terhadap lingkungan dan material-material yang ada di dalamnya.
Di puncak, seperti yang telah disinggung di atas, kita sangat sulit menemukan air. Oleh karena itu, pendaki biasanya membawa sendiri air untuk digunakan memasak makanan dan air. Menikmati keindahan pemandangan yang disajikan ketika di puncak akan selalu diingat oleh siapa pun yang telah mengunjunginya. Keindahan panorama tidak kalah dengan keindahan panorama di gunung-gunung lainnya. Kita bisa melihat hamparan pemandangan kota Jatinangor dan Bandung. Apalagi ketika malam, lampu-lampu seakan menjadi seribu kunang-kunang yang bekerlap-kerlip dengan anggunnya di bawah sana.
Keindahan yang selanjutnya adalah menikmati saat-saat matahari terbit di ufuk timur. Matahari akan muncul dengan malu-malu dari balik gunung gemunung. Tertutupi awan yang lambat laun menjadi emas akibat kemilau sinar matahari di belakangnya. Para pendaki akan menikmatinya sambil menikmati mie atau menyeruput kopi dan sebatang rokok kretek.
Alam seakan sengaja menghadirkan keindahan hanya untuk kita yang berada di puncak. Selama ini, jauh di bawah kota sana, kita sangat sulit bahkan tidak pernah melihat keindahan matahari terbit. Apalagi bagi yang tinggal di kawasan yang padat oleh bangunan yang tinggi. Matahari terbit sebagai tanda mengawali hari, dan bagi para pendaki matahari terbit merupakan tanda untuk mengawali hari-harinya dengan jauh lebih mencintai alam dan lingkungan sekitar.
Alam menyimpan luka yang taktertahankan di balik panorama-panorama indah yang kita lihat. Luka akibat keserakahan manusia. Luka akibat manusia yang tidak mampu lagi menjaga dan mempertahankan kelestariannya. Kita selalu beranggapan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna di dunia ini, sehingga apa pun akan bisa dilakukan oleh manusia, termasuk merusak alam demi memuaskan nafsu pribadinya. Namun, ketika kita berada di puncak gunung, apakah kebanggaan akan status makhluk yang paling sempurna itu masih melekat pada kita?
Kita akan menjadi kecil di antara hamparan cakrawala yang takberujung, di antara sinar matahari yang muncul dari balik gunung, serta pada pemandangan kota-kota yang terlihat kecil di bawah sana. Salah satu cara untuk merefleksikan diri terhadap kebanggaan akan status kita sebagai manusia adalah dengan mendaki gunung dan melihat seberapa hebatkah Tuhan menciptakan alam sekitar. Mungkin setelah melihat kekuasaan Tuhan, apakah kita masih bisa menyombongkan segala kekurangan kita?
Gunung Geulis barangkali tidak setenar gunung-gunung lainnya di Indonesia yang menyajikan panorama alamnya yang eksotik dan sensual. Namun, ia memiliki segudang makna yang akan kita dapatkan di setiap jalur-jalur yang kita lewati. Gunung Geulis merupakan salah satu gunung yang menyajikan bukan hanya keindahan alamnya, akan tetapi ia juga mampu menyajikan budaya yang berpotensial meningkatkan pariwisata daerah jika dilestarikan dengan baik. Gunung Geulis juga menjadi potret rusaknya alam akibat ulah tangan manusia. Manusia memang bisa mengubah alam, tetapi manusia tidak akan mampu melawan kekuatan alam.




 Makam yang diduga sebagai makam Putri Geulis




 Kebun Palawija yang masih tersisa

Hasil dari pertambangan





Sambil melihat matahari terbit di Gunung Geulis, 23  Januari 2012


7 comments:

  1. cuy .,., tong gagabah nyaritakan asal usul cartia gunung.,. geulis.,., ane teu narima .,. lamun carita na di ubah kitu., carita asal usul geunung geulis moal aya nu apaleun kecuali.,. keturunana.,. kos ane.,. kade tong gagabah.,.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hatur nuhun kritikanna. Di tulisan kan saya sudah menerangkan bahwa banyak versi tentang mitos Gunung Geulis di mata masyarakat. Saya pun menulis legenda seperti itu atas hasil wawancara dengan warga sekitar dan referensi beberapa sumber dari masyarakat Jtinangor. Jadi itu murni hasil pengamatan masyarakat Jatinangor

      Kalau misalnya memang akang keturunan asli yang tahu asal usul Gunung Geulis, tinggal tuliskan riwayat sebenarnya agar orang lain tahu, bukan hanya warga Jatinangor tapi publik yang ingin mengetahui secara pasti bagaimana legenda Gunung Geulis tersebut.

      Ini bukan soal menyepelekan suatu mitos. Ini hanya sekadar representasi dari mitos yang beredar di mata masyarakat. Sayangnya mitos Gunung Geulis saat ini tidak mampu didukung dengan kekayaan alamnya lagi. Pasalnya Gunung Geulis saat ini sudah banyak dilakukan pengerukan dan segala aktivitas manusia.

      Kalau akang merasa keturunan Gunung Geulis, pasti akang juga tidak mau leluhur akang akan tergerus oleh ulah serakah manusia. Mungkin dengan tulisan yang ditulis akang akan membuka mata kita bahwa Gunung Geulis bukan hanya sebagai gunung yang indah, tapi juga penuh dengan kekayaan budaya yang mesti dijaga.

      Jangan hanya mengkritik tetapi kita tidak melakukan apa-apa. Hatur nuhun. Rahayu.

      Delete
  2. seperti di gunung tampomas yang di kakinya terjadi penerukan pasir yg masif, semoga daerah di sumedang & sekitarnyaa bisa kembali lestari. salam kenal kang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, semoga wilayah-wilayah di Jabar juga selalu terlestarikan oleh masyarakatnya. Salam kenal pula kang, salam lestari :)

      Delete
  3. iya kang sangat miris dan prihatin terhadap gunung geulis,,banyak lahan yang sekarang beralih fungsi menjadi perumahan demi kepuasan sang penguasa semata tanpa memikirkan efek yang ajkan ditimbulkan nantinya.
    saya sebagai warga yang tinggal didaerah sekitar gunung geulis sangat prihatin..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga orang-orang terkait segera sadar bahwa kerusakan di Gunung Geulis akan berdampak yang sangat siginifikan kepada masyarakat, khususnya di kawasan sekitarnya.

      Delete
  4. na janten biro jodoh atuh makom eyang Istri Ratu Raja Ningrat teh mangga aos postingan simkuring pangersa ekee...kee...keee http://cipakudarmaraja.blogspot.co.id/2016/08/benarkah-makam-yang-di-gunung-geulis.html

    ReplyDelete