Friday 17 February 2012

Hujan Penghabisan


Waktu perlahan bergerak dalam titik-titik air hujan...                         
Mentari berlindung erat di balik lengan ibunya. Hujan deras mengguyur danau kecil itu. Semula, matahari memang terik menyengat daerah itu, menyengat permukaan air danau hingga akhirnya menguap dan lambat laun menjadi surut. Namun, iklim sekarang memang susah untuk ditebak. Baru saja matahari—yang kata Mentari adalah kembarannya—menyengat dengan cahaya benderangnya, mendung datang begitu cepat begitu menggetarkan. Menutup matahari sehingga cakrawala menjadi menggelap begitu saja. Perlahan hujan yang tidak pernah diduga kemunculannya itu terun membasahi tanah yang sebelumnya kerontang. Dan jadilah Mentari dan ibunya pun berusaha mencari tempat untuk berteduh.
Danau itu bukanlah danau yang terluas, bukan pula sebuah objek wisata. Danau itu jauh dari pusat peradaban, dimana hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengunjunginya. Orang-orang memang jarang sekali mengenalnya, tetapi bagi ibu Mentari danau itu adalah sebuah tempat yang mahaindah dan mahadahsyat untuk dilupakan begitu saja. Ia pernah membuat suatu cerita di sana, dan cerita itu tidak pernah hilang meski waktu semakin memutarbalikan keadaan. Ibunya masih akan selalu ingat bagaimana ia pernah membuat suatu kenangan di sana, di danau itu, danau yang sepi dan tenang. Menyeruak ke dalam sunyi.
Nun jauh di balik keramaian kota danau itu berada. Sangat berbeda dengan danau-danau yang lainnya. Angsa-angsa berenang dengan leluasa dan kerumunan burung-burung berpesta pora di cakrawala. Hutan yang masih tampak berseri, air danau yang selalu memantulkan cahaya. Tetapi tiada pernah orang bisa menemukannya, barangkali karena danau ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang masih memiliki hati. Segala pemandangan seperti itu bukan hanya rekayasa imajinasi belaka, segalanya nyata, bahkan lebih nyata dari apa pun yang ada di dunia ini yang sebenarnya hanya tipu daya sahaja. Danau ini nyata, ada di balik cakrawala.
Mereka berlindung di bawah dedaunan yang sangat lebar, entah jenis daun apakah itu. Namun cukup untuk dijadikan tempat berteduh bagi Mentari dan ibunya. Mentari yang mungil memeluk erat ibunya. Hujan dan angin dingin membuat ia menggigil.
“Sabarlah sayang. Ini hanyalah hujan, bukanlah badai,” kata ibunya.
“Memangnya kalau badai kenapa bu?”
“Kalau badai, apa yang ada di sini akan hancur dan musnah,” jawab ibunya.
“Oh begitu? Berarti kita juga ikut musnah dong bu?” tanya Mentari.
“Haha, kamu pasti tidak mau kan?”
“Aku gak mau! Aku mau sama ibu saja!”
Mentari semakin mengeratkan pelukannya. Aroma tanah basah tercium dengan kuat di cuping hidung. Hujan belum tampak akan berakhir. Ibunya pun kedinginan pula, namun ia tidak mau pula terlihat kedinginan di tempat yang ia cintai ini. Hujan ini adalah kenangan pula, dan ia tidak mau melupakan kenangan. Maka ia paksa untuk tidak merasa kedinginan meskipun percik hujan kadang membasahi tubuhnya.
“Kamu kehujanan sayang?” tanya ibunya kembali.
“Tidak ibu, aku hangat di pangkuan ibu,” jawab Mentari.
“Kalau kehujanan bilang ya?”
Mentari mengangguk. Ia selalu merasa aman di dekat ibunya. Akh ibunya yang selalu ia cintai. Memang, ia masih terlalu kecil untuk mengerti bagaimana menyayangi, namun ia tahu ibunya adalah orang yang harus ia sayangi. Ia terlahir tanpa ayah, kata ibunya ayahnya telah meninggal. Dan Mentari yang masih kecil itu pun tidak akan pernah tahu siapa ayahnya, bagaimana bentuk mukanya, dan bagaimana hangat jiwanya apakah sehangat jiwa ibunya ataukah tidak? Ia tidak akan pernah tahu.
“Ibu...”
“Ya sayang?”
“Mengapa ibu ajak aku ke danau ini?”
Ibunya hanya tersenyum manis.
“Soalnya hanya danau ini saja tempat yang paling indah di sini,” jawab ibunya manis.
“Kok tidak ada orang?”
“Soalnya orang-orang sekarang sudah tidak peduli lagi tempat-tempat indah seperti ini.”
“Kenapa mereka tidak peduli lagi bu?”
“Karena mereka sekarang lebih menyukai gemerlap dunia daripada alam indah seperti ini sayang. Mereka sudah tidak mau menginjak tanah basah seperti ini lagi. Mereka takut kotor.”
Mentari terdiam. Hujan belum mau untuk berakhir.
“Kalau kamu sudah besar, kamu harus sering-sering ke sini ya sayang?” kata ibunya.
“Bagaimana aku bisa ke sini ibu?”
Ibunya tertawa.
“Haha, kau pasti bisa kok ke sini, asal kau sudah tahu caranya.”
“Caranya bagaimana bu?” tanya Mentari.
“Sini ibu kasih tahu,” lalu ibunya berjongkok dan membisikkan sesuatu di telinga Mentari. Senyum manis menghiasi kedua bibir mereka.
***
Hujan belum mau berhenti dan waktu semakin beranjak lalu...
Mereka masih berteduh di tempat yang sama, di tepi danau yang permukaan airnya mulai menaik. Cakrawala mendung kelabu, siapa yang bisa mengusirnya? Mereka terdiam menatap cakrawala, semoga hujan segera berlalu di tempat ini dan mereka bisa berlayar mengitari danau ini dengan sampan utuh yang tergeletak takjauh dari tempat mereka berteduh. Mentari sudah tidak sabar untuk berlayar mengelilingi danau ini.
“Ibu apakah dulu ayah sering mengajak ibu kemari?”tanya Mentari.
“Ya sering, makanya ibu menyukai tempat ini,” jawab ibunya. Perlahan kenangan-kenangan muncul di dalam benaknya. Dan selalu saja ketika kenangan-kenangan itu muncul, senyum manis selalu menghiasi bibir ibunya. Kenangan apakah yang bisa membuatnya tersenyum selalu kala mengingatnya?
“Di sinilah ibu pertama kali mencintai ayahmu,” kata ibunya lagi, “Ia selalu mengajak ibu kemari jika ibu sedang bersedih. Ayahmu menggandeng tangan ibu dengan erat dan membawa ibu ke tepi dermaga di sebelah sana. Setelah itu ayahmu akan mendayung sampan dan berlayar ke seberang untuk memetik beberapa bunga. Kau tahu sayang? Bunga-bunga itu sangat segar dan wangi, seakan baru saja mekar ketika ayahmu memetiknya. Ia memang pandai membuat ibu bahagia. Kau tahu bagaimana ia meletakkan bunga itu padaku?” ibunya kemudian mengambil setangkai anggrek liar yang berserakan di sampingnya dan meletakannya di telinga Mentari, “Seperti ini,” katanya.
Mentari terpana, ia membayangkan bagaimana ayahnya dulu melakukan hal yang sama dengan yang ibunya lakukan, bahkan lebih romantis dari apa yang ibunya lakukan untuknya. Siapa ayahku? Di mana ia berada? Pertanyaan itu terbersit begitu saja dalam pikiran Mentari. O, ia ingin sekali tahu dan bertemu ayahnya yang kata ibunya baik itu.
“Kau tahu Mentari? Di danau ini jika tidak sedang hujan, senja sangat indah. Matahari senja yang kemerahan itu, cahaya akan sampai di permukaan air ini dan menyebabkan air danau ini ikut menjadi keemasan dan kemerahan.”
“Benarkah itu ibu?”
“Ya, sayangnya hari ini hujan. Kamu tidak bisa melihat pemandangan yang menakjubkan seperti itu.”
“Dan... oh iya, ibu sudah pernah cerita belum kalau di sini banyak sekali angsa-angsa yang indah? Ya, angsa-angsa yang putih bersih bulunya itu berenang dengan sangat anggun di danau ini. Mereka saling berenang bersama, kawin dan beranak hingga kelestariannya tetap terjaga. Akh, sayang sekali lagi sayang, hari ini hujan sehingga kau tidak bisa melihat semuanya.”
“Mentari sayang...”
“Iya ibu?”
“Kamu masih mendengarkan ibu kan?”
“Iya aku masih akan mendengar ibu bicara.”
“Baiklah ibu akan teruskan. Ayahmu dulu laki-laki yang tampan. Siapa pun perempuan yang melihatnya pasti akan jatuh hati. Namun tanpa sangka ayahmu jatuh cinta pada ibu. Awalnya ibu juga masih ragu akan cintanya itu, tapi setelah ibu tahu bagaimana sikapnya pada ibu dan bagaimana danau ini akan selalu mengingatkan ibu padanya, ibu pun jatuh cinta padanya. Ibu dan ayahmu akhirnya menikah dan lahirlah kamu, sayang.”
Mentari ingin berucap sesuatu namun ia ragu untuk mengucapkannya. Lagipula ia tidak mau memotong pembicaraan ibunya. Ibunya masih terlihat asyik berbicara tentang kenangan. Dan hujan pun masih pula terlihat asyik bermain-main di cakrawala. Ibunya masih terus berbicara hingga akhirnya ia mengulangi sebuah kalimat:
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup bahagia...”
Ibunya semakin mendekap erat Mentari. Hujan tidak akan pernah pergi dari sana.
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup bahagia...”
Mentari masih ragu untuk berkata.
“Kita hidup bahagia sayang. Kita akan selalu hidup bahagia...”
“Ibu...”
“Ya sayang?”
“Siapakah ayahku sebenarnya? Ke manakah ia sekarang?”
Ibunya terdiam. Perlahan ia kembali membisikkan sesuatu di telinga Mentari. Hujan masih mengguyur danau ini, nun jauh di balik cakrawala.
***
Hujan pun menyusut menjadi gerimis...
Rumah itu tampak angker dalam balutan hujan, namun ada kehidupan di sana. Seorang nenek tua gelisah, menunggu cucunya terbaring koma atau mungkin sebentar lagi ajalnya telah tiba. Ia takut, cucu semata wayangnya harus pergi meninggalkan dirinya yang sudah renta dimakan usia. Seharusnya ialah yang lebih dulu meninggalkannya, namun takdir berkata lain. Apa daya cucunya yang yatim piatu itu kini sedang terbaring koma terkena leukemia akut. Oladalah, nenek itu bukanlah orang berada, ia tidak mampu membawa anaknya untuk berobat. Dan kini, semuanya sudah terlanjur. Cucu yang manis itu kini terbaring tanpa daya dalam gerimis hujan yang tiada pernah berakhir...
“Mentariku, cucuku! Sunggu malang nasibmu! Dan lebih malang lagi nasibku, sebatangkara di sisa napas penghabisan ini. Jangan dulu pergi nak! Kau telah menjelajah tanah ibu dan ayahmu di sana, namun berilah kesempatan untukku sedikit lagi saja. Aku masih ingin melihat ceriamu di hari-hariku yang semakin beranjak tua dan mendekati akhir ini...” airmata mengalir deras di pipinya yang keriput.
Hujan masih akan terus turun, entah sampai kapan...
















Situ Gede, 11 Juli 2010
13.00—21.11

No comments:

Post a Comment