Monday 20 February 2012

PEKERJA INDONESIA, SEJAHTERA DALAM ANGAN-ANGAN


Indonesia merupakan salah satu dari negara yang memiliki jumlah pencari kerja yang banyak. Setiap tahun, ribuan perguruan tinggi di Indonesia melepas ribuan sarjana-sarjana terbaiknya (menurut versi mereka). Sarjana-sarjana tersebut masing-masing berebut untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Jika ingin kerja di bank maka terjadi proses seleksi yang ketat untuk mendapatkan sarjana-sarjana yang berkualitas. Jika ingin kerja di kantoran serta instansi yang bergengsi pun persaingan untuk memperebutkannya semakin ketat dan sulit.
Fenomena tersebut kini lumrah terjadi di Indonesia, sebab lapangan pekerjaan yang ada belum mampu menampung para lulusan tersebut. Mau tidak mau mereka harus menjual kualitas mereka kepada perusahaan yang dilamar. Tidak heran jika dalam surat lamaran, mereka selalu mencantumkan kualifikasi dan kelebihan yang dimiliki agar perusahaan mempertimbangkan si pelamar tersebut (meskipun kebanyakan kualifikasi tersebut bersifat klise).
Sebagai negara yang akan menganut sistem pasar bebas, globalisasi mengharuskan manusia Indonesia memiliki kualitas dan daya saing yang baik dengan manusia dunia lainnya. Sebab, fenomena persaingan antar pencari kerja bukan hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan hampir di seluruh belahan dunia. Organisasi Buruh PBB memprediksi bahwa dunia ini butuh lebih kurang 500 juta lapangan kerja baru untuk mempekerjakan para pencari kerja di seluruh dunia. Itu pun bagi yang sudah tercatat dalam data sensus pencari kerja. Masih banyak lagi kan para pencari kerja yang belum terdata oleh PBB?
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang dijerat masalah pengangguran. Bagaimana tidak, industri yang ada belum mampu menampung jumlah pencari kerja yang ada. Kalau pun dipaksakan menampung, buntutnya pekerja lagi yang dikorbankan. Kasus demo buruh di Cikarang kemarin merupakan bukti bahwa para buruh dari tahun ke tahun semakin menjalar bak tanaman merambat. Tiap tahun industri membuka lowongan pekerjaan, namun terkadang income perusahaan tidak sebanding dengan jumlah karyawan yang ada. Mau tidak mau kesejahteraan para buruh (yang notabene merupakan pekerja tingkat dasar) harus dikorbankan.
Buruh juga manusia. Ia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri. Bagi yang sudah kawin dan punya anak, ia tentu harus menghidupi pula istri dan anak-anaknya tersebut. Bagi yang belum kawin, toh setidaknya ia pun harus mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Mereka bekerja sebenarnya untuk kesejahteraan orang lain, kesejahteraan petinggi mereka, hingga kesejahteraan masyarakat pengguna produk yang dihasilkan mereka. Betul kan?
Kaum buruh sadar. Mereka bisa dikategorikan sebagai kaum yang terintimidasi. Bahasa sosialnya adalah kaum proletar. Akhrinya mereka turun ke jalan, menuntut hak-hak yang selama ini “disembunyikan” oleh demokrasi dan birokrasinya. Tentunya aksi demo buruh ini pun lebih hebat dari aksi pembunuh (siapa yang mampu memblokir jalan tol selain para buruh?)
Mereka berhak menuntut haknya. Namun, apakah mereka telah berhasil menjalankan kewajibannya sebagai pekerja dengan baik?
Muncul sebuah anekdot dalam pikiran saya. Untuk mengukur tingginya semangat kerja para pekerja di Indonesia salah satunya bisa dilihat dari seberat apa ia mengalami sebuah masalah dalam hidupnya. Semakin berat masalah yang dihadapi, apalagi jika sudah menyangkut masalah keuangan, maka semakin besar juga semangat pekerja untuk bekerja dengan giat. Misalnya, ia butuh uang untuk membayar kontrakan, biaya pengobatan rumah sakit, membiayai pernikahan atau kelahiran anaknya, hingga membiayai biaya pendidikan anak atau kerabat. Jika ia sudah memiliki latar belakang kebutuhan finansial, rangsangan untuk bekerja dan mencari uang dengan giat semakin muncul dalam pikiran pekerja Indonesia.
Namun, jika mereka tidak sedang terlibat masalah seperti di atas, adakalanya mereka selalu menomorduakan kedisiplinan. Toh dalam pikiran mereka, musibah sedang tidak berkunjung padanya. Kita sering menjumpai karyawan yang bolos tanpa alasan, pekerja yang masuk ke kantor terlambat, terlebih jika mereka sedang mengalami masa-masa cuti bersama. Rasa malas untuk masuk kerja biasanya selalu menggoda para pekerja di masa-masa pasca cuti bersama. Hal inilah yang saya maksud dengan menomorduakan kedisiplinan.
Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan para pekerja di negara-negara maju, dimana waktu begitu dihargai oleh mereka. Tengoklah Jepang, Korea, atau negara-negara maju di Eropa sana. Para pekerja di sana begitu memperhatikan waktu. Pepatah “waktu adalah uang” sangat dimaknai di dalam kehidupannya. Oleh karena itu mereka tidak mau menyia-nyiakan waktu. Jika bisa dipakai untuk bekerja mereka akan bekerja dengan giat.
Motivasi kerja mereka sudah bukan lagi menyangkut kesejahteraan individu, namun bekerja demi kemajuan bangsa dan negara. Berbeda dengan motivasi pekerja di Indonesia, kerja untuk cari uang, cari kesejahteraan, hingga cari biaya untuk nikah. Tidak heran jika pekerja di negara maju sanggup bekerja lebih dari dua belas jam setiap harinya.
Apakah hal tersebut akan terjadi pula di Indonesia. Tentunya hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pekerja saja. Saya yakin jika kesejahteraan sudah didapat oleh semua pekerja, bahkan sampai pekerja buruh sekali pun, kualitas pekerja di Indonesia pun akan meningkat. Kita bisa mulai dari hal yang paling kecil, yakni menghargai waktu. Jika setiap pekerja sadar bahwa waktu sangat berharga dalam kehidupannya, tentunya budaya terlambat pun menjadi berkurang dan hilang sama sekali. Waktu adalah uang. Semakin mampu kita menghargai waktu, semakin besar pula kesejahteraan bangsa ini akan diperoleh.
Mari bekerja, memulai dari hal-hal kecil yang terkadang sering kita abaikan. Setelah itu, mari disiplinkan diri sendiri.




Bandung, 18 Februari 2012

No comments:

Post a Comment