Saturday 28 July 2012

Sepotong Jazz dari Café de Flore





Kudengar alunan jazz dari dalam Café de Flore itu. Malam musim dingin memang membuat semua menjadi beku. Sepanjang Rue Saint Germain, langkah kakiku takhentinya berharap. Ya, di kota Paris ini segalanya akan menjadi penuh harap, meski ia teruapi oleh aroma parfum, riak sungai Seine yang membangkitkan gairah, tetap saja aku selalu menanti harapan. Di manakah kamu?


Aku memasuki pintu kafe. Pelayan mengantarku ke meja yang sudah aku pesan sebelumnya. Hmm, dari sana sini tercium wangi parfum yang mahal, bukan sekadar aroma parfum yang sering kucium di tubuh wanita-wanita yang mangkal di gang-gang kumuh Indonesia. Sudah berapa lama aku berada di sini? Entahlah, aku sendiri sudah lupa sudah berapa lama aku berada di Paris, kota kelahiranmu. Kota di negeri yang kata orang romantis, sensual, dan eksotik. Persis sepertimu, Andreas.

Aku memesan sepiring pasta dan sebotol wine meski kata dokter aku takboleh terlalu banyak meminum wine. Dokter itu barangkali lupa, jika tidak minum wine aku bisa mati. Haha, setidaknya itulah yang sering kulakukan jika pikiranku sudah kacau, dan kau takkunjung datang pula padaku. Aku selalu menunggumu di apartemenku, menunggu kau mengetuk pintu atau menekan bel dan berucap salam padaku. Tapi kau takkunjung datang pula meski aku telah di sini, di kota kelahiranmu. Selalu saja jika kau takkunjung datang, aku selalu mereguk wine, martini, atau pun jenis minuman keras lainnya. Suatu saat aku bisa saja mati di sini karena lambungku terlalu lemah untuk meminum minuman seperti itu.

Lagu jazz menggema takhenti-henti. Iramanya menggetarkan jiwaku. O, seandainya kau yang memainkan saksofon itu, atau pun piano, maka aku akan meminta kau memainkan satu lagu spesial untukku. Sayangnya mereka bukan kau. Lagipula kau takbisa memainkan alat musik, setahuku. Tapi bagiku kau tetap romantis, karena kau orang Prancis. Katamu orang Prancis romantis bukan? Makanya aku jatuh cinta yang begitu dalam padamu, Andreas.

Di manakah kamu? Mengapa kau takkunjung datang padaku? Aku sudah sering memberitahumu bahwa aku sudah berada di Paris. Kutelepon kau takpernah angkat. Kukirim email takpernah balas. Apa kau seorang invisible man? Kau hilang tanpa jejak sejak kuputuskan untuk menyusulmu ke Paris. Aku cinta padamu. Buat apa aku jauh-jauh pergi ke Paris, meninggalkan Indonesia, entah sudah berapa lama hanya untuk menemuimu?

Oalah, aku takpernah lupa bagaimana rupamu. Rambut pirang dengan mata yang begitu biru. Matamu itulah yang mengesankan hatiku sejak pertama kali bertemu di Jakarta. Dan sosokmu yang—meski tidak gagah—selalu terbayang olehku, membuatku selalu berkhayal seandainya aku bisa hidup denganmu, kawin, beranak-pinak, dan bahagia. Segalanya bersumber dari mata birumu, sayang. Dan kutahu namamu dari paspormu yang terjatuh tanpa sepengetahuanmu. Tuhan memang baik. Beruntung sekali paspormu jatuh di dekatku sehingga aku bisa dengan mudah mengambilnya lantas kuserahkan padamu.

“Mister, your passport!!” kataku memanggilmu.

Kau menoleh padaku. Astaga tampan sekali wajahmu!

Kau mengucapkan sesuatu dalam bahasa Prancis yang tidak kuketahui artinya. Mungkin semacam terima kasih atau hujatan terhadap keteledoranmu sendiri. Di sanalah kutahu namamu, Andreas Baudelaire. Nama yang bagus, sebagus orangnya. Ingin sekali kuberkenalan denganmu tapi, maukah kau berkenalan dengan wanita Indonesia?

Sepertinya kau paham maksudku. Tapi tunggu, aku bukan sembarang wanita Indonesia yang selalu menunggu laki-laki terlebih dahulu untuk berkenalan. Apa salahnya jika perempuan yang duluan mengajak kenalan? Ya, bukan hanya dalam hal kenalan, mengutarakan perasaan pun aku takpernah segan-segan untuk mengucapkannya secara langsung pada orangnya.

“Kau dari Prancis?” tanyaku memakai bahasa Inggris.

“Ya, dan aku di sini untuk sekolah, namamu siapa?” katamu dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah.

“Namaku Sari, kau Andreas?”

Kau tersenyum, “Ya, pasti kau melihat namaku dari pasporku?”

Aku tersenyum malu. Sejak saat itu, aku mulai memperhatikanmu. Kau pun memintaku untuk menjadi pemandumu selama kau berada di Indonesia sampai kau benar-benar beradaptasi. Akhirnya kutahu bahwa kau sedang memperdalam seni teater di Indonesia.

Setiap hari aku bertemu denganmu, berjalan-jalan, pergi ke kelompok teater di Jakarta dan terkadang mengikuti latihannya. Kadang-kadang kau mengajakku dinner di pantai Marina. Berdua dalam cahaya lilin dan laut yang bergemuruh, dan rembulan yang tercelup ke dalam kopi yang kupesan. Wajahmu seteduh rembulan. Suaramu serupa ombak lautan yang bergemuruh lepas dalam telingaku. Oh, kau memang romantis.

Penyanyi jazz itu melantunkan Misty. Aku teringat Ella Fitzgerald, penyanyinya. Akh, kuingat teknik bernyanyinya sangat bagus. Tunggu, bukannya kau juga menyukai lagu ini? Kau selalu menyanyikannya. Ya, bahkan lagu ini ada di playlist pemutar musikmu. Kenapa aku bisa lupa bahwa ini adalah lagu kesukaanmu? Akhirnya, kudengarkan Misty itu dengan penuh kesenduan. Bahkan kalau boleh aku ingin menangis di sini.

Wine dan pastaku sudah datang. Semakin malam, kafe semakin ramai. Orang-orang berbusana mewah dan wanita-wanita bergaun sutra ada di setiap meja. Jangan heran, ini kafenya artis-artis Paris. Jadi jika kau ingin melihat artis Prancis makan malam, kunjungilah Café de Flore. Tapi, tetap saja takada sosokmu. Salju turun di luar sana, kutuangkan wine ke dalam gelas kristal. Kureguk dan kurasakan ia menjalari seluruh aliran darahku. Hangat seperti tubuhmu. Merasuk dan memabukkan sehingga selalu kunanti pelukanmu di tubuhku yang tipis ini.

Sebatang rokok kunyalakan. Sebenarnya aku takingin makan malam ini. Barangkali kau akan kemari, dengan jas hitam atau mantel dan rambut yang rapi, tentu aku akan senang sekali. Perjalananku ke sini tidak akan sia-sia jika kutemui kau di sini. Lalu aku akan memintamu memesankan lagu jazz untukku. Terserah, mau Blue Moon ataupun lagu-lagu Diana Krall atau Lisa Ekdahl. Jika sudah begitu, puas rasanya aku mengunjungi negaramu dan takakan pernah kembali lagi ke Indonesia. Aku akan tinggal saja denganmu di sini. Jadi istrimu, jadi pelengkap kesendirianmu.

Apa salahnya jika aku punya keinginan seperti itu? Bukankah seorang wanita boleh menentukan siapa yang akan menjadi suaminya? Aku sudah menentukan siapa suamiku kelak, yaitu kau Andreas. Aku takbutuh lelaki lain. Aku takbutuh lelaki yang bernama Andreas yang lain. Aku takbutuh lelaki yang bernama Andreas, orang Prancis, yang lain. Aku hanya butuh kau saja.

Kuisap rokokku dan kuembuskan kembali. Asap-asap keluar dari mulut dan hidungku dan berputar-putar di udara. Penyanyi itu telah selesai melantunkan Misty dan kembali menyanyikan lagu yang takkuhafal. Jika kuingat jazz, maka aku akan langsung mengingatmu. Tebersit pikiran bahwa aku sudah saja pulang kembali. Melupakanmu dan melupakan semua impianku. Apa aku bisa melupakanmu? Akh, kau begitu lekat di pikiranku. Lekat bagai lem. Lekat selekat tubuhmu yang memelukku. Lekat selekat bibirmu yang pernah mencium bibirku. Lekat selekat-lekatnya.

Kuhabiskan wine di gelas dan kutuang kembali. Aneh, baru satu gelas saja, aku sudah agak mabuk. Aku tidak boleh mabuk, tapi aku harus minum wine. Sudah kukatakan tadi jika aku takminum wine, aku akan mati. Kuperhatikan sekeliling, barangkali sosokmu hadir di sini. Tetap saja takada. Andreas, mengapa kau harus kembali lagi ke Prancis? Sudahlah tinggal di Indonesia saja. Terus terang aku begitu tersiksa sekarang ini. Mencarimu hingga ujung dunia, pergi mengembara ke tempat asalmu tanpa siapa-siapa hanya berbekal cinta yang menguatkanku di sini. Aku butuh kejelasanmu. Aku butuh cintamu lagi. Dan kau pergi tanpa pesan. Hilang. Tanpa kejelasan bahwa kau akan mengawiniku atau tidak. Aku hanya butuh jawabanmu.

Orang-orang bertepuk tangan. Penyanyi itu baru saja mengakhiri konsernya. Kulihat jam, waktu sudah pukul setengah sebelas malam. Apakah kau akan ke sini Andreas? Kepalaku pusing, lambungku kumat lagi. Orang-orang berlalu lalang. Pelayan membawa baki-baki yang berisi wine. Mereka berbicara bahasa Prancis yang belum sepenuhnya kukuasai. Sesungguhnya malam sudah terlalu larut bagiku jika pulang dengan jalan kaki. Terpaksa aku harus naik taksi.

Andreas, apakah kau akan datang ke sini malam ini? Aku teringat potongan sajak Pablo Neruda, Tonight I can write the saddest lines. Malam semakin bertambah malam. Salju sudah berhenti turun, malam serupa kulkas. Dan aku serupa pohon-pohon yang membeku di musim dingin. Sepi. Tanpamu. Kuulang-ulang potongan sajak itu, Tonight I can write the saddest lines, sembari bayanganmu lekat dalam imajinasiku. Kubayangkan kau yang membaca potongan sajak tersebut, Tonight I can write the saddest lines, berkali-kali, berulang-ulang, Tonight I can write the saddest lines.

Kuputuskan untuk pulang ke apartemen, kepalaku pusing lambungku perih. Pelayan menyodorkan bill dan kuberikan kartu visaku. Segera pelayan itu berlalu dari hadapanku. Sebenarnya ingin kutanyakan tentangmu pada pelayan itu barangkali mereka pernah melihatmu mengunjungi Café de Flore, namun urung kulakukan. Sepertinya kau takpernah ke sini. Sepertinya…

 Setelah urusan bill selesai, aku berjalan menuju pintu keluar. Aku memandang sekeliling siapa tahu harapan terbesarku terwujud. Pandanganku terhenti di suatu meja. Meja yang paling pojok. Di situ ada kamu. Benarkah di situ ada kamu? Andreas Baudelaire, lelaki Prancis yang kusayang. Lelaki bermata biru yang membuatku lekat. Ternyata kau di sini juga, tetapi bersama wanita lain yang kini sedang lekat mengecup bibirmu…

   Tonight I can write the saddest lines


Bandung, 25 November 2010
23:16


Foto :

No comments:

Post a Comment