Tuesday 7 August 2012

PESAN




Pada suatu malam sepasang suami istri bertengkar hebat satu sama lain.

“Kau sudah berubah. Kau tidak pernah cinta padaku. Apa kau kira pernikahan itu hanyalah sebuah permainan belaka?” ucap istrinya dengan air mata yang deras.

“Bukannya kau yang tidak cinta padaku? dari dulu kau selalu mementingkan urusan kerjamu. Apa uangku takcukup buat membiayai hidupmu? Aku kerja dari pagi sampai malam hanya untuk menghidupimu. Kalau bukan karena cinta, karena apalagi aku melakukan itu semua untukmu?”

“Tetapi kau tidak pernah peduli denganku!”

“Peduli apa? Kau yang tidak pernah peduli padaku!”

“Kau yang tidak peduli!”

“Kau!”

“Kau!”


Malam semakin tua. Sisa-sisa air hujan menggenang di halaman. Tetesan air yang jatuh dari talang begitu menggema di hati mereka. Tetapi mereka tidak peduli. Siapa yang peduli dengan semesta jika hatinya sedang dikuasai amarah? Mereka tidak peduli betapa malam sehabis hujan begitu segar meski suasana ini mengingatkan mereka akan kisah cintanya kemarin-kemarin.

“Hmm…Dingin ya malam ini?” tanya istrinya tempo hari dengan manja.

“Barangkali tengah malam hujan akan turun lagi sayang,” kata suaminya.

“Aku ingin berada di sisimu selalu. Dingin.”

Suaminya mendesah pelan.

“Kau tahu aku harus bekerja sekarang. Mana bisa aku temanimu sayang?”

Ia tahu bahwa istrinya kecewa. Tetapi mau bagaimana lagi?

“Apa tidak bisa kau ganti jadwal menjadi siang? Kau takpernah tahu aku selalu kesepian sepanjang malam,” protes istrinya lembut.

 “Aku juga kesepian sayang sepanjang siang.”

Hening, mereka larut dalam pikiran masing-masing. Mereka tidak tahu bagaimana harus mengatur pertemuan agar pertemuan yang sangat singkat itu dapat menjadi sebuah kenangan yang indah. Sayang, waktu hanya duapuluhempat jam saja bagi mereka. Tidak bisa ditambah. Malam yang begitu indah untuk bercinta sangat jarang sekali mereka dapati meski kadangkala mereka ada saat malam tiba.

“Kau tahu! Aku tidak pernah bahagia dengan pernikahan ini! Aku tidak pernah bahagia denganmu!” bentak istrinya.

Suaminya terkejut. Tidak pernah ia sangka istrinya itu mengalami keterpurukan dalam bahtera rumah tangganya. Ia tidak pernah mengira betapa istrinya akan berbicara seperti itu padanya.

“Kalau memang kau tidak cinta dan bahagia, mengapa tidak kau layangkan saja surat cerai padaku?” balas suaminya.

Istrinya terdiam. Kaget juga. Namun amarahnya telah menutupi akal sehatnya. Amarahnya telah menutupi perasaan cinta yang telah susah payah dibangun. Sambil menahan airmata yang kunjung keluar, ia berkata:

“Besok, terimalah surat cerai dariku! Kita cerai!” katanya sambil masuk ke kamar dan menguncinya.

Suaminya terdiam. Menghela nafas panjang. Dari dalam kamar terdengar istrinya menangis tersedu-sedu. Ia tahu, ia sendiri pun tidak mau bercerai dengan istrinya tersebut. Namun nasi telah menjadi bubur, ucapan yang keluar dalam amarah tidak akan pernah terpikir dahulu. Semua telah terucap dan tidak bisa ditarik kembali. Ia jatuh dalam sofa, kembali menghela nafas dalam dan berat. Malam semakin tua. Telah ia luangkan waktu malam ini hanya untuk bersama dengan istrinya tetapi semuanya kandas. O, mengapa semuanya harus berujung seperti ini?

Ia bangkit dari sofa, mematikan lampu. Ruangan menjadi gelap. Akh, mengapa aku mematikan lampu? Pikirnya. Ia hendak menyalakan kembali namun urung dilakukan. Barangkali memang ia butuh kekelaman untuk mengertikan semua. Dalam remang, cahaya hanya berasal dari lampu luar yang nyasar masuk ke dalam, ia berpikir dan merenung. Apakah istrinya memang tidak bahagia dengannya? Apakah ia hanya berpura-pura saja berkata seperti itu? ataukah memang semuanya berasal dari hati?

Ia tidak pernah tahu. Dalam keremangan itu, ia berjalan menuju meja makan. Barangkali kopi hitam akan menjernihkan pikirannya. Namun, matanya taksengaja melihat secangkir kopi hitam di meja makan. Apakah ini kopi istrinya yang belum sempat diminum? Masih hangat. Sejenak ia sadar, istrinya tidak menyukai kopi. Lantas untuk siapa kopi ini? pikirnya.

Diseruputnya sedikit kopi itu. Hmm… rasanya memang seperti buatan istrinya ketika ia membuatkan kopi untuknya. Istrinya tahu seleranya dan selera itu ia dapatkan pula pada secangkir kopi ini. Apakah istrinya sengaja membuatkan kopi ini untuknya?

Ia tersenyum sambil memegang cangkir.

Bagaimana pun isrinya masih mencintainya dengan tulus.

***
Setahun setelah perceraiannya wanita itu selalu kesepian. Ia tidak memungkiri bahwa ia masih mencintai mantan suaminya itu. Dan kini ia tidak tahu di mana lelaki itu berada. Ternyata baginya perceraian hanya menambah kesepiannya saja. Tiada kehangatan cinta lagi dalam malam-malam sehabis hujan ia dapati, seperti saat-saat dengan suaminya dulu. Meski hanya sebentar, ia begitu menikmatinya.

Wanita itu selalu kesepian ketika malam menghampirinya. O, haruskah ia cari hiburan di luar sana? Tidak. Ia seorang wanita yang beradab. Akh, dimanakah mantan suaminya itu berada? Ia menyesal telah bercerai dengan suaminya itu. O, mengapa penyesalan selalu datang terlambat? Dimanakah kamu? Biasanya pada malam-malam seperti ini aku selalu merindukan kedatanganmu menjelang fajar nanti. O, apakah kau masih ingat padaku? apakah kau masih ingat siapa aku? Tentunya kau belum pikun atau pun amnesia. Aku yakin kau masih baik-baik saja. Apakah berarti ketika telah bercerai maka sudahlah tiada kabar satu sama lain? Aku bodoh sayang, padahal aku masih mencintaimu.

Wanita itu berjalan dalam keremangan. Tubuhnya yang tipis hanya dibalut dengan gaun malam tipis sehingga terkesan menggantung. Tubuhnya tidak lagi sekuat dahulu. Semenjak perceraiannya setahun yang lalu, ia baru tahu jika ia mengidap kanker rahim. Dan bukannya ia tidak mau untuk sembuh, ia selalu berjuang untuk sembuh namun bayangan mantan suaminya itu mematahkan semangatnya. Ia selalu terjebak dalam kesepian dan kesedihan.

Selalu terpikir olehnya untuk rujuk, namun ia tidak pernah tahu di mana mantan suaminya itu berada. Ia hilang, bagai ditelan malam. Barangkali ia ada di bulan? O, ia tahu bulan tidak pernah bisa ditinggali. Lantas dimanakah ia berada?

Tubuhnya semakin lemah. Kanker telah menggerogoti tubuhnya. Tapi ia ingin melihat mantan suaminya tersebut agar ia memiliki harapan untuk hidup kembali. Dalam keremangan ruangan tanpa lampu yang sengaja dimatikan olehnya, beribu-ribu kenangan kini muncul kembali bahkan menyeruak taklagi menjelma di pikirannya. Kenangan-kenangan itu keluar dan menjelma dalam kegelapan seakan di hadapannya terpancar televisi yang menampilkan kenangan-kenangannya. Ia menangis. Airmatanya dingin mengucur di pipinya yang pucat. Dimanakah kamu? Dimanakah kamu?

Ia tidak bisa bertahan lagi. Diraihnya telefon genggamnya dan mengetik sebuah pesan yang ia tujukan pada mantan suaminya tersebut. Sudah sekian kali ia mengirim pesan padanya dan sudah sekian kali pula pesan tersebut tidak pernah dibalas olehnya. Sudah sekian kali ia menelefonnnya dan sudah sekian kali juga telefonnya itu diabaikan. O, apakah kau benci padaku hanya gara-gara perceraian ini? jika telah berpikir seperti itu, ia ragu-ragu untuk kembali mengirimkan pesan padanya.

Sambil menahan dingin, ia memencet tombol-tombol. Sejenak ia ragu, apakah maksudnya ini akan dibalas dengan baik oleh mantan suaminya itu. Ia menjadi urung mengirimkan pesan, namun kenangan-kenangan itu menjelma kembali menjadi cahaya yang menyinarinya kini dalam remang. Ia bimbang, mana yang harus ia pilih. Namun, akhirnya dengan mantap ia memilih untuk rujuk kembali.

Hans, km di mn? Aku kangen kmu,
Temuilah aku, aku ingin rujuk dngnmu. Vivi

Tidak! ia harus mantap. Ia tidak boleh bimbang. Dipencetnya tombol kirim dan pesan itu dikirim ke suaminya. Sejenak laporan yang menerangkan bahwa pesannya tersebut telah sampai membuat ia ragu. Apakah mantan suaminya tersebut akan mengabulkannya?

Ia lemah. Tiada lagi daya pada malam itu. Nafasnya naik turun. O, kanker keparat ini tidak bisa ditolerir. Bisakah sebentar saja ia tahan kankernya itu dan bertemu dengan mantan suaminya tersebut? ia tahu, kankernya itu telah mencapai stadium kritis. Barangkali waktunya taklagi banyak, namun hasratnya begitu kuat. Ia ingin bertemu dengannya. Ia ingin memeluknya. Ia ingin dipeluknya. Ia ingin menciumnya. Ia ingin menangis di bahunya. Ia ingin berjalan-jalan memadu kasih berdua saja. Ia ingin menyembuhkan penyakitnya dengan keberadaannya di sampingnya. Ia ingin nonton film berdua dengannya. Ia ingin makan pizza berdua. Ia ingn naik vespa keliling kota dengannya. O, ia ingin bertemu dengannya. Ia ingin bertemu dengannya…

Esoknya, wanita itu terlanjur meninggal karena kanker rahimnya yang sudah parah.

***
Nun jauh dalam gelap malam sana, seorang lelaki termenung membaca sebuah pesan di hp-nya. Pesan dari mantan istrinya:

Hans, km di mn? Aku kangen kmu,
Temuilah aku, aku ingin rujuk dngnmu. Vivi

Ia tahu dan sangat tahu, mantan istrinya itu begitu mencintainya. Namun kekerasan hatinya karena perceraian melemahkan rasa cinta itu. Kali ini ia takkuasa membaca pesan tersebut. Ia juga tahu, bahwa ia sangat mencintai mantan istrinya tersebut. Betapa tidak bisa ia bayangkan, bagaimana kesepian wanita itu tanpanya. Dan ia juga sadar, bagaimana kesepiannya tanpa kehadian wanita itu di sisinya. Barangkali cintanya itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Cinta telah terpatri kuat, sekuat bagaimana ia bekeja membongkar batu-batu nun jauh di tempat terpencil pada malam buta.

Ia memutuskan besok ia akan pulang menemui mantan istrinya tersebut. Hatinya telah mantap untuk rujuk dengannya…


“Apakah ia tahu bahwa mantan istrinya itu telah meninggal?” tanyamu memotong ceritaku yang belum tuntas kuceritakan.

“Kau saja yang memberitahunya,” jawabku singkat.
Bandung, 23 Desember 2009,16.26







No comments:

Post a Comment