Saturday 18 August 2012

Wanita, Hujan, dan Piano


Gambar : di sini

Barangkali, hujan inilah yang mengantarkan segala kenanganku padamu. 
Hujan bagai tarian abadi menurunkan airmata langit yang tidak pernah kering. Siapalah yang bisa membaca bahasa hujan selain jiwa yang begitu mendayu-dayu? Dan hujan seakan menjadi saksi bisu bahwa disini aku selalu termangu menatap butir-butir hujan yang jatuh bagai airmata hingga menjadi genangan. Karena bagiku, segala yang kulihat kala hujan adalah dirimu, bayang-bayang yang taklekang oleh usia meski zaman telah beranjak tua dan meniadakan ragamu entah ke mana.

Titik-titik air hujan menetes di jendela gedung bertingkat dan aku termangu di dalamnya. Tetesan itu mengalir ditarik gravitasi bumi terus menetes dan jatuh ke bawah. Apakah ia akan sampai di hatiku? Menjelma butir-butir kerinduan yang selalu membasuh jiwa yang kusam manakala aku melangkah terlalu jauh ke dalam bayangan kelam. O, betapa pun dunia telah gemerlap taklagi suram. Kota bermandi cahaya dan aku tenggelam di dalamnya, tetapi taksatu pun terlihat jejakmu di sana. Kau melangkah ke mana? Pertanyaan itu entah sampai kapan kuajukan padamu meski tidak pernah kutemui jawabannya.


Langit hitam. Kota bermandi cahaya namun terpudari oleh hujan. Sisa-sisa cahaya yang sebelumnya benderang kini menjadi suram, taklagi memantulkan cahaya yang kemilau. Kaca jendela menjadi beruap. Lampu ruangan menyala remang saja. AC membisu. Televisi menyiarkan acara yang tidak terlalu menarik untuk kunikmati. Apakah tidak ada berita tentangmu di sana? Oladalah, kau kan bukan orang terkenal, mana mungkin orang sepertimu bisa masuk TV. Kuganti channel namun tetap tak mampu memikatku. Dengan kesal kumatikan TV dan kubanting remote ke arah karpet. Bunyi “blug” lembut terdengar meski lemah. Kulihat jam yang berdentang di dinding. Berdentang duabelas kali. Akh, apakah waktu terlalu cepat berputar dan berlalu begitu saja tanpa ada makna? Waktu berjalan tanpa makna. Hujan masih membatu di luar sana. Kulangkahkan kakiku yang mungil menuju wastafel. Air mengalir ketika kubuka kran. Masihkah ada aromamu di air kran ini? kubasuh wajahku dan tetap tidak kucium aromamu yang menggetarkan, semacam sinyal semacam irama yang menghanyutkanku ke dalam jiwamu yang lembut. Dan cermin taklagi memantulkan ragamu. Hanya ada wajahku yang terlunta-lunta, mata yang bengkak dan pipi yang semakin kurus. O, betapa merindumu begitu menyiksaku namun tiada lagi yang bisa kulakukan selain mengharap kedatanganmu kembali di sini.

Tiada suara. Hanya deras hujan yang lamat-lamat terdengar di luar. Tiada suaramu, dan o! jika kudengar suaramu hanya menjadi bayangan saja. Tidak pernah kudengar lagi suara nyatamu di telingaku. Apakah kau akan muncul dari kaca jendela? Haha, jangan ngaco! Pikirku. Ini lantai limabelas, takmungkin kau akan memanjat mengetuk jendelaku hanya untuk bertemu denganku. Setidaknya kau berani untuk mengetuk pintu dan bertatap muka  langsung denganku, jika kau berani dan mampu.

Apakah kau memang mencintaiku?

Aku tidak pernah tahu apa perasaanmu padaku. Namun aku terlanjur mencintaimu. Hingga kau hilang kini entah ke mana kau selalu kucintai karena begitulah aku. Mencintai dirimu yang jelas-jelas kini telah tiada entah kemana. Hujan masih turun dengan deras. Aku tenggelam dalam lamunan, dalam kerinduan, dalam cinta yang tidak pernah nyata. Setidaknya, aku selalu memanggilmu untuk kembali ke sini berkali-kali. Apakah suaraku sampai ke telingamu? Apakah di sana kau juga memanggil namaku berkali-kali meski tidak pernah kudengar suaramu memanggil namaku di sini. Akh, aku tidak bisa menerawang sehingga takbisa kulihat apa yang kau lakukan di sana.

 Kesunyian mendera. Malam semakin tua. Hujan semakin deras. Dan aku semakin tenggelam dalam kesunyian. Ruangan ini terasa sempit bagiku, penuh dengan bayangan dan kenangan yang tidak bisa hilang meski telah kubuka jendela kala pagi agar mentari menguapkan segalanya. Tetap tidak bisa. Bayangan dan kenanganmu begitu lekat di ruangan ini, terlebih dalam ingatanku. Piano membisu tidak lagi mengalunkan nada. Suara membisu dan membiru. Kudekati piano, piano yang dulu sering kau mainkan untuk menghibur kesepianku. Barangkali aku bukan pemain piano yang baik, namun kau begitu pandai memainkannya untukku. Setidaknya, nadamu bisa menyenangkan, menggetarkan, memilukan, mendawai mendayu-dayu, menyerap ke dalam ingatan sehingga selalu kukenang nada itu. Tuts-tuts membisu, tiada yang memainkannya lagi. Kubuka tutup piano dan kupencet salah satu tuts.

“Ting!”

Entah nada apa itu, yang jelas aku tidak pandai bermain piano. Namun dalam pikiranku, seribu suara piano memainkan requiem yang indah. Seribu piano dengan seribu biola, dengan seribu harpa, dengan seribu flute, dengan seribu xylophone, dengan seribu timpani dan cello, dalam sebuah resital di panggung pementasan yang megah. O, haruskah aku bermain piano untuk memanggilmu pulang? Dalam khayalku tersebut, tanpa disadari aku telah duduk menghadap piano. Mengapa aku melakukan ini? mengapa aku terlalu merindumu sehingga aku terjebak ke dalam ketaksadaran?

“Ting!”

Jari-jariku memainkan piano tanpa pernah disadari olehku. Dan samar-samar kuingat suaramu bagaimana ketika kau bermain piano.

“Ini kunci C.”

Kuikuti bagaimana kau mempraktikkan kunci tersebut di tuts-tuts yang berdebu. Nada C berbunyi tanpa pernah tahu bagaimana kelanjutannya.

“Jangan pernah kau memencet tuts yang bersebelahan. Sebab jika kau memainkan bunyi yang bersebelahan secara bersamaan. Hasilnya adalah nada sumbang yang mengganggu telinga…”

Jemariku terhenti. Betapa kuat bayanganmu dalam ingatanku. Adakah yang sudi mencarimu dan membawamu pulang dalam keadaan utuh? Betapa aku ingin sekali mendengar alunan pianomu yang menggetarkan itu. Entah sudah berapa lama tak kudengar lagi piano ini mengalunkan nada yang menggetarkan.

“Kau ingin sekali belajar piano?”

“Ya, ajarilah aku. Ingin sekali kumainkan sebuah lagu meski hanya lagu anak-anak.”

“Haha, iya iya. Setiap malam aku akan mengajarimu, bagaimana?”

“Benarkah?”

“Iya, apa sih yang nggak buat kamu?”

Begitulah, aku selalu menunggumu setiap malam. Namun kini kau takkunjung datang. Piano ini telah berdebu, dan aku malas untuk membersihkannya. Aku tidak ingin sidik jarimu menghilang hanya karena kau membersihkannya. Hujan tidak pernah berhenti dan malam semakin tua. Barangkali ini sudah menjelang fajar namun aku tidak mampu terpejam. Aku terlanjur tenggelam dalam bayangan. Aku tidak ingin menjadi lupa dan hilang segala ketika kupejamkan mataku. Aku masih ingin melihatmu, di sini, dalam kesunyian kota yang ramai oleh manusia.

Telefon berbunyi. Siapa sih malam-malam begini menelefonku? Dengan berat kudekati telefon yang berdering memecah kesunyian. Kuangkat gagang telefon, mencoba menerka siapa yang berani menelefon selarut begini. Apakah ini telefon darimu? Apakah ini telefon darimu? Semoga saja, kau masih ingat padaku dan merasakan hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan padaku.

“Halo?” sapaku.

Tidak ada suara di seberang sana.

“Halo?” kataku mengulangi.

Kembali tidak ada jawaban. Hanya terdengar desah nafas yang lembut seperti menahan beban yang dalam.

“Halo?”

“Halo? Siapa di sana?”

Hening. Hujan mereda.

“Engkaukah itu?” tanyaku lirih.

“Aku tahu, ini pasti kau…”

“Bicaralah sayang, sudah lama kunanti kau kembali padaku…”

Tidak ada jawaban. Hujan tinggal renyai bercampur embun.

“Kau di mana? Bicaralah.”

“Aku ingin mendengar suaramu… bicaralah aku tahu ini kau!”

Aku terisak lirih, takkuasa menahan airmata.

“Aku sayang kamu. Bahkan melebihi rasa sayang istrimu…”

“Pulanglah padaku, aku ingin melihatmu sebentar saja. Biarkan aku memelukmu dan setelah itu kau boleh kembali ke kehidupanmu. Aku hanya singgah di hatimu, tetapi kau telah menetap di lubuk hatiku.”

Hening, hanya desahan nafas yang semakin berat kudengar di seberang.

Kumatikan telefon dan aku tenggelam dalam airmata yang menderai. Tidak bisa kulupakan bagaimana rupamu. Barangkali aku takut untuk melupakanmu karena kau adalah segalanya. Dentang jam berbunyi tiga kali. Hujan telah berhenti dan kurasa hawa sangat dingin. Kota kembali bermandi cahaya dalam keheningan dan kemuraman. Dan piano itu taklagi mengalunkan nada-nada indah, segala nada telah kaku dalam pikiranku. Betapa kau tidak punya nyali untuk menemuiku, apa salahnya jika kau meluangkan waktumu sebentar saja untuk menemuiku dan berkata ‘aku menyayangimu’. Katakan lagi kalimat tersebut, seperti dulu kau bilang padaku dalam remang antara tubuh dan jiwa yang berbicara. Dan piano itu menjadi saksi bagaimana kau mengatakan semuanya padaku.  Katakan  lagi, sayang. Katakan lagi, betapa sangat susah bagimu untuk berkata seperti itu lagi padaku.

Pagi buta hendak menjelang, aku masih terhanyut dalam kesunyian. Mengenang semua yang menjadi luka menjadi duka. Apa harus airmata menggenangi pipiku untuk mengharap kedatanganmu? Kau tidak akan datang sampai kapan pun. Dan piano itu tidak akan kembali mengalunkan nada-nada dari jiwamu yang hangat dan penuh makna. Tidak akan pernah lagi karena nada-nada telah mati, mati oleh luka dan namamu yang selalu kuucap dalam tangisan lirih.

  Apakah kau memang mencintaiku?

Aku tidak pernah tahu apa perasaanmu padaku. Namun aku terlanjur mencintaimu.

Detik jam terus beranjak pergi tanpa bisa kembali ke belakang. Ini sudah pagi, pikirku. Namun apalah pembeda antara pagi dan malam jika aku terus berada dalam kesepian yang erat? Apakah pembedanya jika antara malam dan pagi aku tetap tidak bisa menemukan dimana keberadamu sekarang?

 Apakah kau memang mencintaiku?

Aku tidak pernah tahu apa perasaanmu padaku. Namun aku terlanjur mencintaimu.

Dari dalam kamar kudengar tangis bayi memecah kesunyian. Anakku bangun mencari kehangatan dan kasih sayangku. Ia menangis, ingin mencari kehangatan ayahnya yang entah berada dimana sekarang.

Bandung, 05 Desember 2009
   

No comments:

Post a Comment