Saturday 8 December 2012

JOHN LENNON



Aku bayangkan seandainya aku adalah John Lennon, maka aku akan menutup diri terhadap dunia dan menghabiskan waktu menjadi petani gandum saja. Tidak bertemu dengan Paul, George, dan Ringo untuk mendirikan The Beatles. Mengapa aku berpikiran seperti itu? Karena aku takmau hidupku berakhir di ujung pistol seseorang yang barangkali tergila-gila padaku namun ternyata ia sakit jiwa.

Di senja yang selalu mendung ini aku selalu membayangkan bisa pergi ke New York dan mengunjungi apartemen Dakota, tempat di mana John Lennon mengembuskan napas terkahirnya di tangan Mark David Chapman. Empat biji peluru tepat mengenai tubuhnya, tubuh siapa yang mempan ditembus dengan empat peluru sekaligus seperti itu. John Lennon—musisi dunia yang kutahu kini menjadi legenda—pun taksanggup menerima muntahan empat peluru seperti itu di tubuhnya. Ia manusia biasa, sama sepertiku juga. Sama-sama berkacamata dan berambut gondrong.


Hidup terkadang begitu menjengkelkan. Harus ada perjuangan berat untuk mencapai apa yang kita inginkan. Namun begitu kita temui apa yang selama ini kita inginkan, hidup begitu cepat mengakhiri segala usaha keras tersebut tanpa pernah temui akhir yang begitu membahagiakan. Setidaknya John bisa menjadi seorang legenda, sehingga kematiannya bukanlah menjadi kematian yang menakutkan. Mungkin pula di ujung hidupnya ia bahagia, ia pernah hidup di dunia ini sekali saja dan di hidupnya yang sekali itu ia menjadi legenda.

Di ujung senja yang muram ini, di mana mendung pekat memenuhi cakrawala kutelusuri satu demi satu ruang hidupnya. Begitu banyak yang harus kutelusuri bagai menyelami suatu samudera. John Lennon, aku tahu ia dari kawanku. Saat itu kawanku sedang mendengarkan sebuah lagu blues zaman baheula. Dasar kurang pergaulan, aku tidak tahu siapa yang memainkannya. Dengan tertawanya yang khas kawanku itu bilang bahwa lagu blues ini yang menyanyikannya adalah The Beatles, band asal Liverpool, belahan Inggris nun jauh di ujung mata. Aku tidak pernah tahu di mana Liverpool itu, aku hanya tahu tempat itu sebagai daerah asal The Beatles dan klub sepakbola Inggris.

Mulailah kuselami ruang-ruang hidup John Lennon, frontman The Beatles tersebut. Antara sadar dan tidak, terkadang aku sendiri merasa bahwa aku adalah John Lennon, vokalis dan gitaris yang memiliki gitar Rickenbacker. Di sisa hidupku, ialah figur yang selalu kuandaikan agar aku bisa menjadi dirinya. Mungkin aku fanatik mungkin juga gila, namun aku tidak akan pernah segila Chapman yang atas dasar kecintaannya itu ia malah membunuh John di depan istri John sendiri. Aku hanya membayangkan semua adegan tersebut yang tidak akan pernah ada di adegan sinetron mana pun.

Lebih jauh menelusuri ruang hidup John aku jadi mengantuk. Yeah, dalam tidur pun aku bisa membayangkan lebih jauh tentangnya. Dan sering kubayangkan seandainya aku menjadi John pada Minggu malam yang dingin 08 Desember 1980.

***
New york, 08 Desember 1980

Tujuhbelas hari sebelum Natal tepatnya. Musim dingin New York memang membuat semua orang malas untuk keluar. Kubayangkan betapa beberapa saat kemudian mereka akan gempar dan akan kehilangan seorang legenda yang mungkin mereka puja-puja. John bersama Yoko Ono istrinya baru saja merampungkan sebuah rekaman tunggal baru berjudul “walkin on thin ice” di studio Record Plant dan sempat pula berwawancara dengan RKO Radio hingga pukul 22.30, menurut rencana, rekaman tunggal baru ini akan dirilis pada awal tahun baru. Dan lagu tersebut akan dinyanyikan oleh Yoko dan John akan mengiringinya dengan gitar.

Malam semakin bertambah tua. John dan Yoko keluar dari studio.

“Apa kita akan makan malam dulu di luar, John?” tanya Yoko.

Terlihat John berpikir sejenak sebelum menjawab.

“Yeah, tadinya aku mau ajak kamu makan di luar. Tetapi aku ingin kita langsung pulang ke apartemen saja.”

“Hmm… Tumben kau ingin segera pulang.”

“Hmm… Aku rindu Sean. Aku ingin melihat anak kita sebelum ia tidur.”

“Haha, kau rindu anak kita ya?”

“Yoko, aku begitu rindu melihat Sean. Kita terlalu sibuk dengan rekaman.”

Yoko menggenggam tangan suaminya.

“Baiklah, kita pulang saja John. Biar kupesankan makanan untuk diantar ke apartemen.”

Mereka pun melangkah menuju limousine sewaan mereka selama berada di New York. Namun, sebelum mereka masuk mobil, John kembali terdiam dan cemas.

“Kenapa sayang?” tanya Yoko.

“Akh, tapi aku tidak yakin kita akan sampai sebelum Sean tidur, sayang.”

Yoko tersenyum manis sambil membopong suaminya masuk mobil.

“Kita usahakan sayang. Lagipula kau kan masih bisa mengecup keningnya jika Sean sudah tidur,” katanya sambil menutup pintu mobil.

Limousine pun melaju dalam udara dingin dan kelam malam. Menembus malam. Siapa sangka keinginan John untuk melihat anaknya itu adalah kata-kata terakhir dirinya pada Desember 1980. Tidak ada yang tahu.

***
Dua hari sebelumnya, 06 Desember 1980.

Seorang pemuda dari Hawaii tiba di New York hanya untuk melihat John Lennon yang sedang berada di sana. John Lennon, adalah obsesi terbesar untuk pemuda Mark David Chapman. Ia datang dari Hawaii hanya untuk melihat John yang sedang berada di New York, well, barangkali hanya sekadar meminta tandatangannya saja.

Chapman pun menginap di penginapan murah YMCA, kurang lebih sembilan blok jaraknya dari apartemen Dakota, gedung yang ditempati oleh John dan istrinya. Tentu mudah baginya untuk bisa bertemu John kapan saja, karena ia tahu John pasti orang super sibuk. Ia takkan mungkin bisa bertatap muka secara langsung dengan John di acara-acara. Ia ingin bertetap dengan John empat mata saja. Oleh karena itu ia putuskan untuk memilih penginapan yang dekat dengan kediaman John.

Kubayangkan bagaimana perasaan Chapman kala itu. Antara bahagia dan deg-degan ketika obsesinya sebentar lagi terwujudkan. Ia pun naik taksi menuju ke Greenwich Village, berharap akan bertemu John di sana. Namun usahanya belum terwujud. John tidak ada di sana.

Selama dua hari itu ia selalu mondar-mandir di depan apartemen Dakota, berharap bertemu John secara langsung. Akhirnya pada hari naas tersebut, 08 Desember 1980, Chapman kembali mondar-mandir di sana dan bertemu dengan Paul Goresh, pemuja John Lennon pula sekaligus fotografer amatir asal North Arlington, New Jersey.

Aku tidak pernah bisa menerka bagaimana percakapan mereka selama di sana. Yang bisa kubayangkan mungkin mereka bicara tentang John Lennon. Namun seingatku Chapman telah berhasil mendapatkan tandatangan John selama ia berada di New York. Kuketahui ini dari pencarianku tentang John.

Di senja itu akhirnya John dan Yoko keluar dari apartemen untuk pergi ke studio Record Plant. Dengan takdisia-siakan lagi Chapman pun mendekati John sambil menyorongkan album baru Double Fantasy. John menerimanya dan mencoretkan tandatangannya yang tertulis:

John Lennon 1980

Tandatangan itu John bubuhkan di atas sampul album tersebut dan Goresh pun sedari tadi telah menjepretkan kameranya beberapa kali. Betapa bahagianya Chapman kurasa. Aku pun bisa merasakannya. 

Dengan wajah yang tampak berseri-seri, Chapman berkata pada Goresh.

“John Lennon menandatangani album ini,” katanya pada Goresh,’Takkan seorang pun di Hawaii akan percaya padaku.”

Chapman yang pembual. Chapman yang fanatik. Chapman yang sakit jiwa.

Apakah membunuh seseorang yang dicintainya bisa dikatakan gila?

Hingga dua jam kemudian, kedua pemuja John Lennon tersebut masih berdiri di depan apartemen Dakota.

Hawa semakin dingin membuat Goresh memutuskan untuk pulang. Namun Chapman berusaha 
mencegahnya.

“Jangan dulu pulang, kawan. John Lennon akan segera kembali, kau bisa meminta tanda tangannya. Bukan hanya sekadar foto saja. Lihatlah aku, aku telah berhasil mendapatkan tandatangan John. Kau pun pasti ingin mendapatkan apa yang telah kudapatkan bukan?” ujar Chapman kepada rekan barunya itu.

“No, barangkali ini bukan nasib baikku. Aku ingin pulang saja. Mungkin esok hari aku bertemu John lagi dan akan kuminta tandatanganya,” kata Goresh.

“Well, akan aku tunggu. Kau takkan tahu kapan kau bisa menjumpainya lagi.”

Goresh pun pulang meninggalkan Chapman dalam hawa dingin yang menusuk. Goresh takkan pernah tahu bahwa ia takkan pernah bisa bertemu dengan John Lennon untuk selama-lamanya. Karena takkan ada yang mengira, Chapman akan menembaknya beberapa kali. Takdir takkan pernah tahu, seperti kematian. Ia selalu bersembunyi di balik waktu.

Malam itu, pukul sebelas kurang sepuluh John baru saja melangkahkan kaki keluar dari limousine menuju apartemen Dakota. Sesaat sebelum masuk ke gedung tersebut, Mark David Chapman, seorang Fans John Lennon dan The Beatles, yang sedari tadi menunggu kemunculannya kembali di sana, menyapanya dengan sangat hangat dan sopan dari belakang.

“Mr. Lennon!” sapanya ramah.

John pun berbalik badan untuk melihat siapa yang menyapanya tersebut. Angin malam musim dingin membuat semuanya beku. John melihat Chapman berdiri mematung di belakangnya. Dengan senyuman manis dan sepucuk pistol yang telah diacungkan pada John. Waktu terasa begitu cepat, begitu menggetarkan. 

Chapman membidikkan pistol dengan kedua tangannya ke arah John. Pistol tersebut menyalak beberapa kali. Lima peluru telah dimuntahkan dari Revolver 38, yang satu meleset namun empat lainnya menembus punggung dan pundak John. Dia tak langsung ambruk, ia masih sempat berjalan sebanyak enam langkah sambil berkata.

“Aku tertembak.aku tertembak!!”

Kemudian John Lennon pun terjatuh dan bersimbah darah.

***
Membayangi John Lennon terkadang membuat hatiku miris. Betapa tidak, ia mati di tangan pemujanya sendiri. Akh, membayanginya saja sudah membuatku merinding, apalagi jika aku memang benar-benar terlahir sebagai John Lennon. Oleh karena itu, aku hanya bisa berandai-andai saja seandainya aku adalah John Lennon. Aku tidak ingin mati dengan proses yang seperti itu. Aku ingin kematianku begitu indah, sangat indah, indah dan menggetarkan. Kematian, terbuat dari apakah ia?

Kubayangkan seandainya aku menjadi John Lennon, aku akan tinggal saja di Indonesia dan memainkan lagu keroncong.

Bandung, 07 Desember 2012

19.54

No comments:

Post a Comment