Saturday 23 February 2013

LIMA FRAGMEN TENTANG KENANGAN



I

“Kelak jika aku kembali kesini. Akan kukumpulkan semua kenangan-kenangan kita yang terserak di beberapa tempat, lalu aku simpan di sebuah ruangan yang akan kuberi nama Museum Kenangan,” ujar seorang lelaki kepada kekasihnya, sesaat sebelum waktu memisahkan mereka di kota Jogja.

Malam yang dingin, angin membawa hujan. Sepasang kekasih itu berjalan di sepanjang trotoar yang mulai sepi. Satu persatu orang-orang pulang, pedagang kaki lima membereskan dagangannya. Beberapa turis masih ingin menikmati malam dengan sekadar berjalan-jalan, ataupun makan di warung-warung yang bertengger di pinggir jalan. Pengamen memainkan lagu cinta.

Sepasang kekasih itu mendengar lagu yang dinyanyikan oleh pengamen itu. Keduanya saling menatap bahagia, seakan belum pernah menemukan kebahagiaan seperti itu selama hidupnya. Ada rasa yang takbisa diucap oleh kata. Keduanya terdiam, namun dalam hati mereka masing-masing tengah berlangsung percakapan yang mesra dan lembut.

“Aku bahagia,” ujar si wanita sambil menggenggam erat tangan lelakinya.

Sudah berapa pasangan kekasihkah yang merasa bahagia saat mengunjungi kota ini? Kota yang tidak pernah tidur dan selalu memberi kenangan kepada mereka. Sudah berapa kilometerkah jarak memisahkan mereka? Suara bertemu dengan suara, namun sangat jarang mata mereka bertemu. Jarak telah terlalu jauh memisahkan mereka.

“Aku tidak ingin kemesraan kita berlalu begitu saja,” si wanita melanjutkan perkataannya.

 “Bersabarlah, waktu pasti akan mempertemukan kita kembali.”

“Tapi untuk berapa lama? Kapan lagi kita bisa seperti ini?”

“Kau percaya takdir?”

Wanita muda itu terdiam. Perlahan air mata meleleh membasahi pipinya.

“Kau percaya takdir?” lelaki itu mnegulangi pertanyaannya.

“Ya,” jawab si wanita lemah.

“Kalau kau percaya takdir, kita pasti akan bertemu lagi. Sebab, takdirlah yang telah mempertemukan kita saat ini.”

Malam, Jogja, dan kamu. Adakah yang lebih berbahagia dari itu?

II

Malam bertambah malam. Dingin mulai turun di dinding-dinding bangunan tua kota Jogja.Beberapa orang masih menikmati malam dengan duduk-duduk di sepanjang Malioboro. Pedagang wedang ronde menjamur mencoba mengalahkan rasa dingin dengan dagangan mereka. Beberapa pengamen mengadu suara, mencoba memberikan kenangan kepada setiap wisatawan agar kelak bisa kembali lagi ke kota itu.

Sepasang kekasih itu masih berjalan menyusuri jalan Malioboro. Tangan mereka saling tergenggam, seakan tidak mau dipisahkan oleh waktu yang selalu membuntuti. Sepanjang jalan tersebut, banyak hal yang bisa dilihat dan dikenang. Semua kenangan tersebut akan mengendap di jejak yang telah mereka torehkan, dan akan kembali bangun tatkala mereka kembali ke kota itu.

“Dingin?” tanya si lelaki.

Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya sembari senyum manis tersungging di bibirnya.

“Capek?” tanya si lelaki kembali.

“Tidak, aku tidak capek. Aku sedang bahagia. Aku tidak mungkin merasa capek.”

Secara diam-diam, lelaki itu pun tahu apa yang dirasakan kekasihnya. Ia tahu, saat-saat seperti inilah yang ditunggu olehnya. Menikmati malam berdua, di antara renyai hujan dan dingin yang menusuk. Dan mereka terus melangkah, tanpa berpikir akan menuju kemana langkah mereka. Mereka hanya ingin berjalan berdua saja menikmati malam tanpa ada hambatan apa pun yang merintanginya.

“Kau tahu, banyak sekali pasangan yang bahagia di kota ini.”

“Apakah mereka seperti kita? Berjalan berdua di antara malam.”

“Barangkali. Yang jelas, kita sendiri sudah banyak membuat kenangan di sini. Tanpa kita sadari.”

“Lalu, akan dikemanakan kenangan itu?”

“Haha, sudah kukatakan tadi, aku ingin mengumpulkan semua kenangan kita kelak ketika aku kembali ke kota ini. Lalu akan kubuat museum kenangan. Semua orang boleh masuk untuk melihat bagaimana indahnya kenangan kita di sini,” ujar si lelaki.

Wanita itu terdiam mendengar ucapan si lelaki mengenai museum kenangan itu. Baginya, ia tidak pernah ambil soal tentang kenangan. Ia hanya berpikir, bagaimana untuk sebanyak-banyaknya membuat kenangan yang ia bisa kenang setelah waktu memisahkan mereka.

“Bagaimana, kau tertarik dengan rencanaku?” tanya si lelaki.

“Apa pun yang akan kau lakukan dengan kenangan kita. Aku akan selalu percaya bahwa kenangan itu akan terus ada meskipun tidak kau museumkan,” jawabnya lembut.

“Kenangan kita akan tetap ada di dalam ingatanku. Selama aku hidup, aku akan terus mengenangmu dan juga mengenang kota ini,” si wanita melanjutkan perkataannya.

“Apa yang akan kau kenang?”

“Semuanya. Segala hal tentangmu. Segala hal tentang kita. Segala hal tentang malam.”

Si lelaki tersenyum bahagia. Inilah malam yang paling ia tunggu-tunggu. Malam dimana segalanya terungkap, menjelma menjadi kebahagiaan yang tidak pernah ia lupakan. Kebahagiaan yang kelak akan menjadi kenangan pula.

“Terima kasih. Aku bahagia malam ini bersamamu,” ujar si wanita.

III

Malam yang indah tersebut, si lelaki menggumamkan sebuah puisi:

Jika kau kembali lewati jalan ini suatu hari nanti, maka akan kau temukan senja yang sendu, malam yang indah, dan kenangan yang tersembunyi di setiap tanda jalan.

Bulan berwarna merah jambu, angin yang memudar, dan kau yang manis dalam ingatan.

Sepanjang jalan ini, udara menjadi asing bagi kita. Debu perlahan mengendap di bibir jalan, jalan yang takpernah berubah.

Lampu kota membisu. Malam yang dingin menuju pagi. Airmata yang perlahan menjadi beku oleh kata-katamu. Dan jalan ini akan tetap sama. Lurus dan takberujung.

Sudahkah mampu jalan ini menghubungkan ke alamatmu? Alamat dimana kau tinggal, berteduh, terlelap memeluk mimpi yang kau reka.

Sudah berakhirkah perjalanan ini? Sudahkah kau temukan apa yang kau cari dari perjalanan ini? Sudahkah kau rasakan betapa perjalanan ini bukanlah perjalanan yang biasa?

Lupakan sejenak masa lalu kita masing-masing. Hanya ada kita berdua, di jalan ini di kota ini. Kota yang kini tidak absen dalam sejarah peradaban kita.

Jalan perlahan mengendapkan malam. Kita berdua diam dalam kenangan yang asing.

Menjadilah dirimu sendiri. Makhluk yang mampu menjadi kenangan yang membekas. Segar dalam ingatan.

Jalan ini akan tetap menjadi milik kita. Menjadi kenangan kita...

“Kenapa diam saja?” tanya si wanita.

Si lelaki hanya tersenyum, berusaha menyimpan puisi itu ke dalam ingatannya.

“Tidak, hanya ingin menikmati malam ini tanpa bualan. Aku ingin menikmati semuanya dengan murni.”

Malam terus merangkak menjadi tua. Apakah perjalanan ini akan menemukan akhir? Pikir si lelaki. Sekuat apa pun ia akan menghentikan waktu untuk terus bersama kekasihnya, perpisahan akan selalu ada. Sebab, sebuah pertemuan akan selalu berujung perpisahan. Sehebat apa pun kita bersembunyi menghindari perpisahan yang menyedihkan, ia akan selalu datang.

“Aku tidak ingin berpisah dari kamu,” wanita itu perlahan mulai menangis.

“Aku juga. Semoga pagi tidak cepat datang. Malam ini adalah milik kita,” ujar si lelaki.

Langkah mereka terhenti di bawah lampu merkuri taman Benteng Vredeburg. Wajah mereka menjadi sendu di bawah lampu.

“Aku sayang kamu,” kata si lelaki.

IV
Ada yang salah dengan waktu? Waktu yang menjadikan kenangan ada. Waktu yang membuat kenangan menjadi cahaya. Dan waktu yang membuat pertemuan akan berujung kepada perpisahan.

Semalam, mereka masih bersama menikmati Jogja dengan nuansa yang sederhana. Sama-sama membuka hati untuk menerima kenangan yang indah. Paginya, mereka masih tertawa menikmati matahari pagi yang ceria. Beberapa jam yang lalu, mereka masih lupa dengan perpisahan. Cinta, perlahan telah mendekatkan jiwa mereka.

Namun kini, saat kereta malam membawa mereka pulang ke rumah masing-masing, ada perasaan kehilangan yang memuncak, rindu yang kelu, dan suara yang hilang oleh kenangan yang terlalu banyak di pikiran. Mereka tahu, esok pagi mereka sudah taklagi membuat kenangan di Jogja. Si wanita kembali ke kotanya nun jauh di balik malam, sementara si lelaki pun harus kembali ke kotanya.

“Kita masih bisa bertemu kan?” tanya si wanita.

Mereka saling menghitung waktu, berapa jam lagi mereka akan sampai di kota yang akan memisahkan mereka. Kereta melaju dalam rel yang asing, seasing pikiran mereka tentang kenangan.

“Tinggal beberapa jam lagi kita bisa bertemu,” ujar si lelaki.

“Aku tidak mau kita berpisah. Aku hanya ingin bersamamu,” ujar si wanita sambil bersandar di bahu si lelaki.

Seperseribu detik menuju pagi. Masih adakah upaya untuk menghentikan laju waktu?

“Kita harus kuat. Kita masih percaya pada takdir. Nanti, takdirlah yang akan mempertemukan kita kembali.”

Hening. Wanita itu menangis di bahu si lelaki.

“Aku sayang kamu,” ujar si lelaki sambil mengecup lembut kening si wanita.

“Aku juga sayang kamu,” suaranya lirih kalah oleh deru kereta malam.

Kereta terus melaju menuju pagi. Jogjakarta-Kutoarjo-Kebumen-Kroya-Purwokerto-Brebes-Cirebon-Cikampek-Bekasi, lalu sampai di Jatinegara.

“Masih ada waktu untuk bersamamu,” ujar si lelaki ketika turun di stasiun Jatinegara.

“Berapa lama lagi?”

“Sampai kau merasa bahwa kenanganmu sudah cukup untuk kau bawa pulang.”

Pagi itu, Jakarta diguyur hujan. Dalam mendung yang menggantung, si lelaki melihat wajah kekasihnya. Sendu dan muram. Apakah kenangan tentang Jogjalah yang membuat wajahnya seperti itu?

Samar-samar ia mendendangkan sebuah lagu

Aku ingin berdua denganmu, di antara daun gugur
Aku ingin berdua denganmu, tapi aku hanya melihat keresahanmu.*

V

Hening. Waktu telah memisahkan mereka. Perjalanan masih terlalu panjang bagi sepasang kekasih tersebut. Si lelaki masih berusaha mengumpulkan fragmen-fragmen kenangan yang sempat dibawa saat pulang. Dalam serpihan kenangan tersebut, wajah kekasihnya sangat kuat melekat di pikirannya. Bahkan, ia masih mencium wangi tubuh kekasihnya saat bersandar di bahunya.

“Kelak, takdir akan mempertemukan kita kembali. Percayalah, dan tunggulah saat-saat itu,” ujarnya.

Ia masih mengigat malam itu. Malam dimana mereka banyak menghabiskan waktu dengan membuat kenangan.

Malam, Jogja, dan kamu. Adakah yang lebih indah dari itu?




 *lirik lagu Payung Teduh "Resah"

Yogyakarta-Jakarta-Bandung, 16 – 23 Februari 2013

4 comments:

  1. “Sampai kau merasa bahwa kenanganmu sudah cukup untuk kau bawa pulang.”
    Eaaaaa si kk rip :))

    ReplyDelete
  2. ini ceritanya saya banget. boleh di kopas ke blog saya ngga, nanti saya cantumin link ke sini. hehehe

    ReplyDelete