Saturday 23 November 2013

SEPASANG MANUSIA YANG MENJADI KENANGAN


“Pandanglah wajahku ini istriku, karena kelak masa tua begitu cepat datang menerpa kita sehingga matamu taklagi jelas melihat wajahku,” pinta suami kepada istrinya ketika di malam-malam remang. Berdua saling terlentang dan kadang berpelukan mengusir sepi mengusir sunyi membuang jauh-jauh amarah yang kunjung mendera. Berdua dalam kelam malam tanpa cahaya di ruang yang takkan pernah terjangkau semesta penuh cahaya.


“Bagaimana aku bisa memandangmu sementara kita remang dan tanpa cahaya sedikit pun?”

“Bukankah matamu terbuat dari cahaya itu sendiri? bukankah tubuhmu yang dulu anggun itu selalu memancarkan tatawarna yang gilang gemilang?”

“Kau lupa bahwa kita kini semakin beranjak renta, tubuh kita tidak lagi seindah dahulu. Kau pun sama, kita memang terlahir seperti ini, menjadi bayi yang lembut, kanak-kanak yang lucu, remaja yang penuh ambisi dan emosi, terus berlanjut menjalani cerita kita yang berliku hingga sampailah menjadi renta dan tua. Sebentar lagi kita renta Mas,” papar istrinya yang membuat suaminya tercenung.

“Apakah memang kita berangsur menjadi renta tanpa pernah kita sadari kedatangan kerentaan itu dalam diri kita?”

“Kau lihat mas? Anak-anak kita bukan lagi anak ingusan dan kemarin sore. Mereka sudah memiliki tujuannya masing-masing. Masing-masing telah memiliki sebuah tiket perjalanan yang mereka pilih sendiri yang nantinya akan membawa mereka menuju impiannya masing-masing. Kita hanya bisa mengantar mereka sampai stasiun saja, tidak mungkin lagi menemani perjalanannya yang belum tentu mengasyikkan. Kita hanya bisa melambaikan tangan melihatnya pergi meninggalkan kita yang berangsur lemah dan renta. Dan tentunya kita hanya bisa berdoa, ya doa. Hanya doa kitalah yang menjadi penghubung dunianya dengan dunia kita.

Kita tua bukan karena kita menjadi lemah. Namun justru karena kita semakin kuat menghadapi cobaan yang semakin besar menguji kita. Kita terus menerus hadapi dan lawan semua tantangan yang ada tanpa pernah sekali pun bercermin melihat keadaan kita yang ternyata menjadi payah dan koma. Tapi kita sekali pun menolak itu, karena bagi kita ‘semakin tua semakin menjadi’ tidak ada istilah atau kata-kata yang menghalangi kita melangkah. Kita selalu melangkah dan akan tetap melangkah dengan pasti, berdua menyatu selengket-lengketnya menggoyahkan semua kegelisahan dan keterasingan yang memang selalu mengintai kita.

Lihat mas! Kita berdua dalam keremangan sekarang. Entah sudah malam yang keberapa telah kita lalui berdua seperti ini. Berdua menyatu saling bercerita dan ungkapkan hasrat bahwa kita saling mencintai. Bahwa kita saling berebut untuk menjadi raja dan ratu dalam singgasana yang dulu telah kita bangun. Dan selalu kita rasakan bahwa malam selalu kelam, tak pernah bisa menjadi siang apalagi keemasan seperti senja. Malam selalu kelam begitu juga kita. Semakin kelam dan tua.”

Burung hantu di luar sana berkukuk, seakan mendengar apa yang mereka perbincangkan di kamar yang gelap itu. Hari ini tak ada bulan, namun bintang begitu berkilau bagai kunang-kunang yang kerlap-kerlip. Entah mengapa bulan tidak ada meski bintang tetap setia melukisi cakrawala kelam yang memang kelam dan pantas dilukisi oleh kerlip bintang.

“Istriku, apakah malam masih setia menemani kita? Apakah ia tidak pernah menggerutu bahwa ia harus menemani kesepian kita menghadapi pagi?” tanya suaminya.

Istrinya tersenyum begitu manis meski wajahnya layu dan keriput mulai menggoyahkan kekencangan kulitnya.

“Mas,” membelai wajah suaminya, “betapa malam akan selalu menemani kita meski kita nanti akan berpisah dan menghadapi ajal kita masing-masing. Barangkali aku dulu yang pergi atau mungkin mas yang duluan pergi, kita tak pernah tahu siapa yang akan duluan dijemput ajal. Meskipun begitu, malam akan selalu menemani kita atau siapa saja yang butuh ditemani olehnya. Malam akan selalu setia pada manusia yang selalu mempunyai cinta dan kerinduan, dan kita beruntung kita memiliki keduanya.”

Istrinya terbatuk begitu lembut. Malam semakin bertambah muram dan burung hantu berkukuk sekali lagi di luar.

“Mas…”

“Apa sayang?”

“Di luar ada burung hantu ya?”

“Hmm… barangkali ya. Masih terdengar oleh kita kan suara-suara di luar sana?”

“Ya, aku mendengar dengan sangat jelas. Seperti dahulu waktu malam pertama akan kita rengkuh.”

“Haha, dan sekarang kita masih mendengar suara-suara itu dengan sangat jelas kan?”

“Ya, haha.”

“Apa yang akan mas katakan untuk suara-suara itu?”

“Haha, semoga saja mereka akan tetap bersuara meski suara tidak diperkenankan ada lagi.”

“Maksudnya?”

“Sebelum yang bersuara-suara itu akan hilang dan menjadi susut memuai seperti gas menjelma butiran-butiran takkasat mata. Sebelum suara-suara itu tidak lagi memiliki suara yang menggema dan sendu.”

“Dan sebelum kita tidak lagi bisa mendengar suara-suara itu kan?”

“Kau benar sayang,” ia mengecup kening istrinya.

Hening. Ia semakin merapatkan tubuhnya di sandaran suaminya. Dalam keremangan, samar-samar dan memang hanya samar-sama saja terlihat rambut suaminya yang memutih, memutih oleh usia, memutih oleh waktu, memutih oleh liku hidup yang hampir telah selesai dijalani. Hidup memang berujung pada warna putih, tua dengan rambut yang putih, mati dengan dibalut kain putih, mati dengan menjadikan wajah pucat putih tidak ada lagi nadi yang berdenyut. Ia sendiri pun sadar, bahwa usia telah memutihkan rambutnya pula, betapa usia begitu kuat sehingga pelan tapi pasti mengerutkan wajahnya yang dulu kencang dan mulus.

Ia yakin karena memang ia begitu yakin seperti suaminya. Ia yakin bahwa cinta mereka tak juga mengerut dan memutih oleh waktu dan usia. Malah semakin membara dan menggebu. Terkadang hidup yang selalu menusuk jiwa tidak pernah dianggap sebagai suatu tusukan pedih yang melukai dan membunuh sebuah perasaan. Jika memang hidup yang hanya singkat itu selalu saja dianggap sebagai sebuah tusukan perih yang mengguncang, apalah yang akan dikenang ketika hidup telah berakhir?

Ia tahu, bahwa ia dan suaminya itu selalu menolak dilanda nestapa. Meski terkadang begitu menyakitkan begitu perih begitu menyiksa beban yang mendera, merasuk, menjarah, bersejingkat, meluap, menggarang, membahana, menggelegar, merajalela begitu seenak udelnya kepada tubuh menua dan melemah tetap saja mereka tidak akan lepas bertahan dan selalu memandang bahwa hidup butuh senyuman bahwa hidup butuh kekuatan untuk bertahan melawan semua kegetiran yang ada. Karena hidup memang indah dan akan selalu indah tidak pernah ada hidup yang tidak indah. Bukankah hidup adalah kenikmatanNya? Lantas jika memang sebuah kenikmatan tidak mungkin Tuhan malah memberikan sebuah bencana. Senestapa beban hidup dan kegetiran yang dirasa pun pasti akan selalu temukan hikmah dan kebahagiaan. Dan mereka akan selalu memegang kepercayaan itu.

“Sayang?” sapa suami.

“Apa mas?”

“Sudah ngantuk?”

“Hoammmmnnn, ya sih tapi aku tidak ingin tertidur dahulu.”

“Mengapa sayang?”

“Kau kan minta supaya aku memandang wajahmu dulu sekarang?”

Suami itu tersenyum.

“Ya, aku ingin sekali kita berpandangan lagi meski dalam remang.”

“Dalam remang, kita masih punya cahaya kok.”

Mereka bangkit duduk berhadapan di tempat tidur yang kusut dalam remang cahaya atau barangkali memang tidak ada cahaya. Mereka berpandangan, saling tersenyum penuh arti penuh kenangan teringatlah masa muda mereka yang begitu cemerlang dan manis yang kini hanya bisa mereka kenang saja. Sebuah masa yang barangkali tidak akan pernah hilang, abadi dalam lembaran kenangan yang selalu mereka simpan di cakrawala malam tidak lekang tidak pudar karena kenangan mereka terbuat dari ruang-ruang pikiran yang lapang. Tidak akan hilang meski pelaku kenangan itu sendiri telah hilang dijemput sang ajal yang datang tanpa pernah sekalipun diundang.

Malam semakin tua dan larut. Begitu pula mereka.

***

Pagi ini mendung kelabu dan pekat menggantung di cakrawala. Sisa-sisa kerlip bintang pada malam tidak bersisa menyisakan cerianya pada pagi yang memang seharusnya selalu ceria. Tidak ada mentari yang riang menyapa dedaunan yang menggigil diterpa embun sehingga kembali hangat dan merona. Tidak ada kicau burung yang bernyanyi sangat merdu dan lucu bernyanyi di dahan pohon yang selalu setia menjadikan sandaran untuk burung bernyanyi. Tidak ada riang anak-anak lugu pergi ke sekolah bercanda tawa begitu lepas menikmati pagi. Mereka berebut berada di rumahnya masing-masing karena hujan mulai turun dan dan menderas. Hujan yang barangkali mencuri waktu untuk turun membasahi bumi begitu deras mengeluarkan butiran-butiran air hujan memaksa mereka sementara waktu diam dulu di rumahnya masing-masing. Hujan yang memang tidak cocok turun di pagi hari memang begitu menjemukan dan menjengkelkan. Namun, jika semua telah terjadi, apakah kita akan tetap mendongkol dalam hati marah pada hujan memaki dengan makian yang sebenarnya tidak perlu diucapkan karena hujan juga merupakan sebuah anugerah?

Hujan membasahi bumi. Berarti ada kesempatan untuk menyuburkan tanah yang selama ini kering dan dahaga karena  selalu dikeruk untuk sebuah pemuasan nafsu dan hasrat belaka tanpa pernah dilestraikan kembali. Barangkali, ya barangkali manusia butuh penyegaran sehingga hujan turun membasahi bumi. Kecuali jika memang manusia menolak turun hujan, bisa saja tidak akan pernah ada hujan lagi di bumi ini, bumi yang berdebu.

Hujan ini pun mungkin saja turun untuk menghanyutkan airmata yang telah keluar dan rasa penyesalan yang begitu menusuk tajam. Airmata yang selalu keluar menetes menjelma menjadi luapan airbah yang siap menenggelamkan ceria menenggelamkan tawa dan kenangan yang selalu disimpan bagai album foto. Mengapa tidak bisa menjadi seperti itu bukan semata isapan jempol dan omong kosong belaka?

Airmata memang hanya sebuah airmata saja, kumpulan air kecil yang mengalir tanpa pernah berujung pada sebuah muara atau pun hilir. Tidak ada yang bisa menemukan dimana muara dari aliran airmata yang menetes dari mata terus menerus mengalir membasahi pipi turun lagi menetes mengental di dagu dan tidak pernah diketahui lagi kemana airmata itu akan mengalir. Hilang. Lenyap. Tiada berbekas tiada berjejak. Namun apakah airmata yang hilang itu memang hilang begitu saja tanpa meninggalkan sesuatu? Airmata boleh saja hilang tanpa pernah mengalir kembali, namun betapa sebab yang menjadikan airmata itu mengalir dari hulunya memang tidak mungkin bisa hilang begitu saja.

Mengapa manusia menangis? Mengapa manusia bisa terluka karena kesedihan? Mengapa manusia harus merasakan kehilangan? Mengapa cinta yang begitu agung begitu kuat yang semenjak dahulu dibangun dengan begitu rupa harus kandas dan hilang karena sebuah perpisahan yang benar-benar perpisahan? Kematian adalah perpisahan yang memang sangat menyakitkan. Raga tidak bisa bertemu, suara tidak bisa menyatu, dan cinta tidak bisa membuat kenangan kembali. Namun jiwa masih bisa bertemu, yakni dalam kenangan itu sendiri. Kenangan bagai bicara dan hidup menjelma menjadi jiwa yang telah tiada tersebut.

Suami itu menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Menatap kosong pada titik-titik air yang turun terus menerus tanpa henti. Tiga tahun yang lalu adalah saat-saat di mana ia menyadari betul bahwa cintanya yang begitu kuat pada istrinya telah ia temukan jawabannya betapa cintanya itu memang sebuah cinta yang kuat dan begitu lekat. Semenjak dulu, ia telah bangun cinta itu dengan istrinya susah payah namun terasa manis dan indah sampai sekarang. Ia ingat, bahwa cinta yang indah adalah cinta yang tulus dan setia. Sangat jarang sebuah cinta bisa sebegitu setianya sampai kapan pun karena cinta itu selalu dipoles, selalu dirawat dan dilestarikan dengan rajin. Ia paham bahwa cintanya pada istrinya dan sebaliknya adalah sebuah cinta yang setia:

 “Kesetiaan? Hmm… entah ada atau tidak. Jika setia itu abadi, lihatlah! Tidak ada yang abadi di dunia ini. Sedang jika setia itu berupa pengabdian, ia akan ada dan selalu tertanam pada jiwa yang mulia. Sampai kapan pun.”

Kata-kata itu selalu terekam dan terbayang juga terngiang dalam dirinya meski ia tahu, istrinya itu telah terbujur kaku dalam nisan sempit dan gelap, tiga tahun yang lalu.


No comments:

Post a Comment