Friday 23 December 2011

POLITIK ADAT VS. POLITIK UANG : Mengenai Kasus Mesuji yang Tak Terselesaikan



Pembaca yang Baik…
Saya sudah dengar. Saya sudah baca. Saya sudah lihat semua. Barangkali Pembaca yang Baik pun sudah pada mengetahui semua, kasus apa yang kini tengah hangat dibicarakan di media. Kini, kita dihadapkan kepada sebuah kasus multidimensi, yakni kasus kekerasan yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan. Kasus yang menggemparkan Indonesia di akhir tahun ini hampir setiap hari kita temui kemuculannya di berbagai media. Barangkali, kita pun sudah menganggapnya sebagai berita menarik sebagai teman minum kopi, serta sebagai obrolan menarik yang boleh kita perbincangkan di warung-warung kopi.
Saya suka mengandaikan diri menjadi seorang redaktur di sebuah media masa. Ketika akhir pekan, seorang redaktur biasanya akan menulis editorial atau tajuk rencana. Maka saya pun ikut-ikutan menulis tulisan yang saya anggap sebagai tajuk rencana versi blog pribadi saya J. Kekerasan di Mesuji merupakan kasus fenomenal yang terjadi di penghujung akhir tahun ini. Setidaknya, DPR pun turun tangan dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) guna menyelidiki kasus sengketa lahan yang mencuat akibat beredarnya video kekerasan tersebut. Dugaan pertama berdasarkan video, yang melakukan tindak kekerasan tersebut ialah kaum aparat keamanan. Pertanyaan yang terkait adalah apakah benar aparat (Polisi dan Pamong Praja) yang seharusnya melindungi rakyat malah menjadi alat pelindung penguasa yang haus uang?
Kasus Mesuji pertama kali dipicu oleh sengketa lahan antara warga sekitar dengan pihak perusahaan. Warga mengklaim tanah perkebunan kelapa sawit tersebut merupakan tanah warisan adat milik mereka. Klaim tersebut kemudian dibantah oleh pihak-pihak perusahaan yang menganggap bahwa area perkebunan kelapa sawit itu bukan milik rakyat, melainkan milik PT SWA (Sumber Wangi Alam). Tentunya klaim perusahaan tersebut ada “deking” surat izin dari instansi terkait. Marahlah pihak rakyat. Mereka menyerang perusahaan dan terjadilah kerusuhan. Tujuh orang tewas akibat insiden tersebut, dua dari pihak warga dan lima dari pihak perusahaan.
Kasus-kasus kekerasan seperti ini sepertinya sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan Indonesia. Bukan hanya di daerah Mesuji saja, tetapi daerah-daerah yang selama ini “kaya” selalu menjadi incaran para penguasa-penguasa yang haus uang. Mereka (rakyat, red) selama ini cukup bangga akan tanah warisan adat nenek moyang mereka karena mengandung kekayaan yang cukup untuk tujuh turunan. Tiba-tiba bencana datang. Perusahaan yang haus uang mengklaim tanah-tanah mereka menjadi milik perusahaan. Orang-orang yang berkantong tebal (tetapi tidak punya otak) seenaknya memasang patok pembatas dan orang-orang yang tidak punya kantong tebal (tapi punya otak) akan memprotes pemasangan sepihak tersebut.
Tidak bisa dipungkiri, kekerasan sengketa tanah sering terjadi di negeri yang kaya ini. Lagi-lagi rakyat kecil yang tertindas. Mereka tidak bisa melawan, kalaupun melawan bias jadi nyawa mereka akan melayang. Namun, mereka sudah tidak memikirkan nyawa lagi demi mempertahankan tanah hak mereka. Baginya tanah lebih berharga daripada nyawa. Selama tanah tersebut menyimpan kekayaan alam, selama itu pula perang akan selalu terjadi di negeri yang katanya kaya ini.
Tanah adat merupakan tanah warisan dari nenek moyang suatu suku tertentu. Maka, bisa dikatakan bahwa tanah-tanah tersebut merupakan warisan budaya turun temurun yang harus dijaga kelestariannya. Namun, politik uang terkadang menghapus status warisan budaya tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yang menjaga kebudayaannya. Sampai-sampai ada pasal yang mengatur tentang warisan budaya tersebut. Indonesia memang kaya dengan budaya, sehingga ketika ada satu kebudayaan yang diklaim negara lain, rakyatnya takgentar untuk mempertahankannya. Barangkali budaya mempertahankan warisannya sendiri melekat erat dalam kehidupan rakyatnya, sehingga ketika tanah adat mereka diambil oleh penguasa, mereka pun tidak akan tinggal diam.
Pembaca yang Baik…
Sudah saatnya pemerintah menjadi negosiator yang baik. Pemerintah harus mampu mencari jalan tengah antara sengketa politik adat dengan politik uang. Bukankah pemerintah berpihak kepada rakyat kecil? Saya tahu penguasa juga manusia biasa yang jika diberi di hadapannya segepok uang, air liur mereka menetes-netes semua. Orang butuh uang untuk hidup. Namun, ternyata uang tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat banyak. Uang hanya mampu menyejahterakan individu saja. Hati-hati dengan uang yang semacam itu.
O iya…
Kekerasan di Mesuji sebenarnya terjadi pada tahun 2010, pada bulan April dan November 2011. Nah, kenapa media baru marak memberitakannya sekarang akibat munculnya video kekerasan tersebut? Jangan-jangan ini juga karena politik uang.

Selamat liburan, selamat berakhir tahun.


Bandung, 24 Desember 2011

No comments:

Post a Comment