Aku
tahu lelaki itu akan datang malam ini, dalam renyai hujan dan malam yang
berselimut kelam, juga kunang-kunang. Ia akan selalu datang bersama
kunang-kunang. Barangkali ia adalah lelaki kunang-kunang, mungkin juga ia
adalah cahaya. Entahlah, namun selalu kutunggu kehadirannya pada malam-malam
buta bersama kunang-kunang itu.
Sepanjang
sungai kunang-kunang jantan beradu cahaya untuk memikat sang betina.
Kerlap-kerlip antara kelam malam dan hujan yang selalu menyelubungi suasana. Di
sanalah aku mengenalnya, antara kerlip kunang-kunang dan renyai hujan ia selalu
menyapaku dengan suaranya yang lebih lembut dari desau angin. Oh, siapakah
lelaki itu? Katakan aku ingin mengenalnya.
Aku
tahu lelaki itu bukan berasal dari kegelapan. Bukan pula berasal dari
sawah-sawah yang membisu dan hutan-hutan yang seperti hantu. Aku tahu ia lelaki
biasa, manusia biasa. Kecintaannya pada malam dan kunang-kunang—bagiku adalah
sesuatu yang sangat unik. Siapapun takkan pernah mengenalnya, karena seingatku
ia kutemui kala malam kala kunang-kunang ada. Dan aku? Semenjak pertama kali
berkenal dengannya dahulu aku selalu ingin betemu kembali dengannya. Oh,
siapakah ia?
Kunang-kunang
kembali bekerlap-kerlip. Aku tahu ia sangat menikmatinya. Ia akan mengejar
kunang-kunang tersebut lalu mendekapnya di dalam genggamannya. Aku pun
demikian. Aku juga mencintai kunang-kunang, karena hanya kunang-kunanglah yang
bisa memproduksi cahaya dalam malam gelap dan kelam.
“Hati-hati
kalau kau hendak menangkap kunang-kunang itu,” katanya dengan lembut pada suatu
malam padaku.
“Memangnya
kenapa?”tanyaku malu.
“Jika
kau takhati-hati, kunang-kunang itu akan mati,” jawabnya masih dengan suara
yang sangat lembut.
“Mengapa
kunang-kunang takmau kutangkap?”
Ia
tersenyum. Kurasakan tatapannya begitu hangat menggetarkan.
“Karena
hanya kunang-kunang jantanlah yang mengeluarkan cahaya. Ia bercahaya untuk
memikat betina, namun jika pagi menjelang cahaya itu akan redup dan mati karena
sebagian tubuhnya telah lelah mengeluarkan cahaya. Jika kau mengagetkannya,
cahaya itu akan cepat redup dan kunang-kunang yang sangat kau sukai itu mati.”
Sejak
saat itu aku tahu, ia lelaki yang indah seindah kunang-kunang itu.
***
Bukannya
aku takut kehilangan ia, terus terang aku seorang wanita yang lemah. Tubuhku
takmampu bertahan lama. Mungkin aku sama seperti kunang-kunang itu, terlahir
dan mati hanya untuk menjadi cahaya. Mungkin aku sama seperti lelaki itu, ada
di kala kegelapan sahaja. Apakah aku ditakdirkan untuk mati cepat? Kubayangkan
aku mati dan semua orang menangisiku. Kubayangkan bagaimana hidup setelah mati.
Kubayangkan segalanya terjadi dengan begitu cepat tanpa disangka-sangka. Dan
lelaki itu...
Kami
bertemu dalam remang, dalam malam, dalam renyai hujan dan angin yang
mendinginkan suasana. Barangkali kami bertemu untuk melepas rindu yang tiada
pernah bisa terbahasakan oleh suara. Namun sampai saat ini aku masih ragu,
siapa ia sebenarnya? Mengapa taksekalipun ia pernah mengenalkan namanya ataupun
sekadar menanyakan namaku dan menyebutkan pula namanya?
Sungguh
aku ingin mengenalnya, dalam remang malam, dalam renyai hujan dan aroma desa
yang selalu tercium segar. Begitu dekat, seperti anak yang selalu menunggu
kedatangan ibunya. Apakah nanti kelak kami ditakdirkan untuk bertemu dan
menyatu selekat-lekatnya sampai akhir dunia? Aku selalu mengharapkan semuanya.
Seperti
cahaya kunang-kunang, kerlap-kerlip lalu akhirnya mati menyentuh bumi. Seperti
pertemuan yang pasti akan menemui perpisahan. Seperti kehidupan yang pasti akan
menemui kematian. Begitulah adanya, di desa ini aku mencoba menemukan makna, di
pematang sawah, di bawah rembulan, di setiap malam-malam sehabis hujan dan
kunang-kunang bermain riang di tepi sungai. Dan lelaki itu seakan menjadi
bagian dari cerita, bagaimana di desa masih ada seorang lelaki yang mencintai
kunang-kunang. Barangkali menurutnya cahaya kunang-kunang adalah cahaya lampu
taman, cahaya merkuri kekuningan yang selalu menerangi jalan. Mungkin hasrat
lelaki itu adalah cahaya. Atau memang ia adalah lelaki cahaya.
Begitulah,
aku selalu menunggunya di suatu tepi sungai dalam renyai hujan dan cahaya
kunang-kunang.
“Izinkan
aku berbicara tentang kunang-kunang,” kataku.
Ia
tersenyum dan berkata, “Kau akan berkata apa untungnya?”
“Tetapi—mungkin
aku cuma ingin bertanya saja...”
“Hahaha,
apapun itu terserahlah.”
“Sebenarnya
cahaya kunang-kunang itu untuk apa?”
“Hmmm...
mengapa kau tanyakan itu padaku?”
“Sepertinya
kau begitu tahu tentang kunang-kunang.”
“Haha,
bukannya telah kujelaskan bahwa cahaya kunang-kunang jantan itu hanya untuk
menarik pasangannya?”
“Benar,
tapi aku masih belum mengerti.”
“Haha,
coba kau pikir, manusia pun pasti akan berusaha untuk tampil yang terbaik di
depan pasangannya. Seorang lelaki akan memperhatikan penampilan untuk memikat
hati orang yang dicintainya. Begitu pula kunang-kunang, semakin indah
cahayanya, semakin memikat pula pasangannya itu,” jelasnya sambil mencoba
menangkap kunang-kunang yang terbang di hadapannya.
Kami
terdiam, tetapi bukan tidak mempunyai kata-kata lagi.
“Seandainya
kau tahu kunang-kunang itu darimana, tentu kau akan lebih mencintai
kunang-kunang,” katanya.
“Memang
ia datang darimana?”
“Takakan
kukatakan padamu. Cukup aku yang tahu saja.”
“Kau
pelit!”
“Jika
aku kasih tahu apakah kau akan percaya?”
“Jika
itu benar, maka aku akan percaya.”
“Kau
pasti tidak akan percaya.”
“Lantas
bagaimana dong?”
“Kau
harus percaya, tetapi terserah kau.”
“Baiklah
aku percaya.”
Sunyi.
Angin malam berdesir. Seperti mimpi.
Perlahan
ia membuka genggaman tangannya. Seekor kunang-kunang jantan yang berhasil ia
tangkap terbang dengan anggunnya, dengan cahayanya yang kerlap-kerlip bagai
bintang di galaksi terjauh. Kunang-kunang itu terbang jauh, semakin jauh, dan
taktelihat lagi cahayanya.
“Jika
kau percaya, kunang-kunang ini datang dari orang yang mencintaimu. Nun jauh di
sana.”
***
“Ibu,
ceritakan padaku dongeng sebelum aku tidur,” aku merangkul ibuku karena dingin
udara membuatku menggigil.
Ibu
mendekapku hangat dan memulai bercerita dengan suaranya yang lembut:
“Pada
suatu malam, ada seekor kunang-kunang yang terbang di tepi sungai. Ia memiliki
cahaya yang sangat indah. Semua orang yang melihatnya takjub karena belum
pernah mereka temui kunang-kunang seindah itu. Cahayanya berbeda dengan cahaya
kunang-kunang lainnya. Ia terbang terus, kadang hinggap di dedaunan basah dan
terbang lagi hingga sampailah ia di depan jendela rumah.
“Di
jendela rumah itu, seorang gadis sedang menatap langit malam yang gelap. Langit
kala itu tidak ada rembulan, mendung menutupi cahaya rembulan tersebut. Gadis
itu termangu di jendela rumah itu dan sesekali airmatanya mengalir membasahi
pipinya. Tidak disadarinya seekor kunang-kunang terbang di sekelilingnya,
seakan memperhatikan dan ingin mengajak bercanda. Gadis itu masih larut dalam
lamunannya, kadang sesekali ia berucap:
‘“ibu...”’
“Kunang-kunang
itu hinggap di depan wajahnya. Barulah ia sadar bahwa ada seekor kunang-kunang
yang sangat indah berada di sekitarnya.
Cahayanya brbeda dengan cahaya kunang-kunang lain. Gadis itu sejenak
melupakan kesedihannya, dan takjub melihat kunang-kunang tersebut. Seperti
kebanyakan orang.
‘“Aduhai,
indah sekali kunang-kunang ini,”’ katanya.
‘“Belum
pernah kutemui kunang-kunang seindah ini.”’
“Kunang-kunang
itu terbang lagi dan berputar-putar di sekelilingnya. Gadis itu tertawa, seakan
kunang-kunang itu sangat lucu. Kunang-kunang itu terbang lagi dan gadis itu
beranjak untuk mengejarnya. Ia melupakan semua kesedihannya. Segala
kesedihannya seolah-olah hilang oleh kunang-kunang itu. Gadis itu tertawa riang
sambil mencoba menangkap kunang-kunang tersebut yang ternyata takkalah gesit
untuk menghindar dari tangkapannya. Begitulah, sepanjang malam gadis itu
tertawa senang melupakan semua kesedihannya, melupakan segala lara yang ia
rasakan karena kematian ibunya. Ia tidak pernah tahu bahwa kunang-kunang
itu...”
“Bahwa
kunang-kunang itu apa ibu?” tanyaku.
“Menurutmu
kunang-kunang itu siapa?” ibu balik bertanya padaku.
Aku
menggaruk-garuk kepalaku, berpikir sebenarnya siapakah kunang-kunang itu. Namun
berpikir membuatku mengantuk.
Ibu
tersenyum padaku dan membelai kepalaku mesra.
“Sayang,
apakah kau percaya jika kunang-kunang yang bermain dengan gadis itu adalah
jelmaan ibunya yang sudah tiada?” tanya ibuku.
Tidak
kujawab pertanyaan ibu. Aku mendengkur pelan sekali.
***
Cerita
itu terngiang kembali. Kenangan terkuak dan berputar-putar dalam ingatan. Jika
lelaki itu benar, maka kunang-kunang yang kulihat sekarang adalah jelmaan dari
orang yang menyayangiku. Siapakah ia? Terkadang menguak sebuah miseri memang
tidak semudah membicarakannya.
Di
tepi sungai adalah tempat biasa aku bertemu dengannya. Entahlah, mendadak aku
selalu menunggu kedatangannya. Setiap malam kucuri waktu untuk keluar dan pergi
ke tepi sungai. Selalu kujumpai ia sedang berjongkok ataupun duduk di hamparan
tanaman kecil yang menjalar ke sungai. Dan kunang-kunang selalu menjadi saksi
pertemuan kami. Siapa yang sudi melarang kami untuk bertemu?
Malam
ini, kami bertemu dalam remang dan purnama yang kadang tertutup mega mendung.
“Kau
datang lagi?” tanyanya.
“Memangnya
kenapa jika aku sering ke sini?”
“Kau
ingin bertemu denganku ya?” ia bercanda atau barangkali serius.
“Tidak,
aku hanya ingin bertemu dengan kunang-kunang saja,” jawabku. Tidak mungkin aku
katakan bahwa aku merindunya.
“Kau
suka kunang-kunang?”
“Ya.”
“Apakah
kau bisa merawatnya?”
“Aku
bisa. Aku bisa.”
“Yakin?”
“Kau
meremehkanku.”
“Sudah
kubilang, kunang-kunang tidak berumur lama.”
“Setidaknya
aku mencoba!”
“Haha,
baiklah...” ia menangkap salah satu kunang-kunang, menggenggamnya dan
memberikannya padaku.
“Kuberikan
kunang-kunang ini padamu. Pulanglah, hari sudah terlalu malam,” katanya.
“Tetapi
aku masih ingin berada di sini,” kataku.
“Pulanglah,”
nada suaranya bijak dan aku takbisa memaksa.
“Pulanglah...”
Aku
pulang dengan wajah sayu dengan seekor kunang-kunang dalam genggaman.
“Tunggu...”
ia memanggilku.
Aku
menoleh, mencoba membahasakan apa maksudnya memanggilku kembali.
“Jika
esok kunang-kunang itu mati, jangan pernah lagi ke sini,” katanya sambil
tersenyum. Manis sekali.
***
Aku
telah membuat kesalahan. Kunang-kunang yang ia beri untukku mati. Cahayanya
redup dan ya sudah itu pertanda kematiannya. Maafkan aku, aku tidak sengaja
melakukan itu. Dan baiklah, kupenuhi permintaanmu untuk tidak datang ke tepi
sungai untuk menemuimu lagi.
Begitulah
kesalahanku. Tetapi aku tetap tidak bisa berpaling dari lelaki itu. Aku
sungguh-sunggu merindukannya. Tetapi aku sudah terlanjur membuat kesalahan
padanya. Entah kenapa aku jadi tidak berani bertemu dengannya. Ia pasti akan
bertanya tentang kunang-kunang itu dan aku tidak bisa berbohong.
Perlahan
aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu dengannya. Aku terlanjur
merindukannya. Aku terlanjur menaruh hati padanya. Apakah bisa kulanggar
perjanjiannya itu untuk bertemu kembali dengannya dan meminta maaf atas segala
kesalahanku? Apakah ia akan memaafkanku? Apakah ia mau bertemu denganku lagi?
Hanya
aku yang tahu saja siapa ia, bagaimana ia berbicara, bagaimana rupanya dalam
remang, orang lain tidak ada yang tahu. Harus bertanya pada siapakah untuk
mencari siapa dirinya? Oladalah, dunia membuatku terkunci mati.
Sesampainya
di tepi sungai, takkujumpai lagi dirinya. Dalam renyai hujan, dalam remang
malam, dan dalam kerlip kunang-kunang ia tidak ada lagi di sana. Ke manakah ia?
Mengapa ia takada di sini padahal tempat inilah yang ia suka? Ke manakah ia? Ke
manakah ia?
Ia
hilang, dalam kelam. Ia hilang ketika kunang-kunang yang dicintainya mati di
tanganku sendiri. Siapakah ia? Mengapa aku selalu memikirkannya? Mengapa aku
selalu merindukannya? Ia sangat bijak dan aku menyukainya. Mungkin. Namun
dengan kepergiannya yang mengungkap tanya, segudang kesalahan ada di dalam
pikiranku. Barangkali ini adalah kesalahan terbesar, membunuh sesuatu yang
dicintainya.
Ke
manakah ia? Apakah ia tidak mengetahui betapa aku sangat merindukannya? Apakah
harus kutanyakan pada kunang-kunang itu siapa dirinya?
Karanganyar, 09 Juli 2010
10.58
Sumber gambar yosotravel
Dulu, waktu Mint kecil, dan waktu itu Arif lebih kecil lagi ... ada lagu begini:
ReplyDeleteKunanti dirimu sampai aku ketiduran
Kumimpi dikejar kunang-kunang
Taringnya keluar, kepalanya membesar
Kutakut dikejar kunang-kunang ...
Liriknya absurd, tapi tetep aja populer. Yah, namanya juga lagu...
Wah, kok saya gak tau lagu itu?haha
ReplyDeletehttp://reretaipan88.blogspot.com/2018/07/asiataipan-taipanqq-taipanbiru-7-cara_21.html
ReplyDeleteTaipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsasusun
• Domino99
• Poker
• BandarPoker
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5
Daftar taipanqq
Taipanqq
taipanqq.com
Agen BandarQ
Kartu Online
Taipan1945
Judi Online
AgenSakong