Wednesday 15 August 2012

ANYER, SUATU SENJA














Aku ingin mengucap rindu padamu, setelah itu kau boleh melupakan kenangan tentangku...


Kafe kala senja. Orang-orang datang dan pergi untuk menikmati senja. Sedang di depan kafe, laut dengan genit bermain dengan pasir pantai. Orang-orang memesan makanan dan minuman di kafe itu. Ada yang datang karena lapar, berkumpul bersama keluarga, teman, dan kerabat, hingga sekadar menikmati senja yang indah. Aku menunggumu, di meja itu, dengan bangku di depanku yang kelak akan diduduki olehmu.

Ini sudah berapa kali kita bertemu? Hari dimakan kenangan. Bulan dimakan rindu, dan tahun demi tahun terlewati dengan penuh perasaan. Seakan hidup adalah mengejar sebuah kenangan. Waktu memang terlampau singkat bagiku, sebab setiap pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan. Namun, setidaknya pertemuan denganmu akan selalu menjadi pertemuan berharga dan selalu kutunggu saat-saat itu.


Pelayan memberikan menu padaku. Kafe ini memang kafe langganan kita. Sudah berapa senja kita habiskan di kafe ini. Bercanda dan bercerita tentang cinta yang tidak pernah tuntas kita bicarakan. Lalu, kita akan selalu mengulang itu, terus menerus dan takpernah bosan untuk kita ulang kembali. Aku tahu, pelayan kafe ini pun pasti hafal dengan menu kesukaan kita. Mereka pasti sudah tahu menu apakah yang sering kita nikmati kala senja seperti ini.

“Pacarnya belum datang, Mas?” tanya pelayan itu dengan ramah.

“Belum, sebentar lagi sampai,” jawabku.

“Senja di kafe ini memang khusus disediakan untuk pengunjung sini. Tidak pernah ada senja seindah di kafe ini,” ucapnya.

Aku tersenyum. Perkataan tersebut entah benar atau tidak. Senja memang indah, tapi apakah benar senja di kafe ini lebih indah dari senja di luar sana? Kupikir, memang senja di kafe ini selalu terlihat indah. Entah karena aku melihat senja itu bersamamu, ataukah sebab lain yang tidak kupikirkan sebelumnya.
“Mbak suka senja ya?” tanyaku.

“Hahaha. Setiap orang pasti bertemu dengan senja. Kalau orang itu benci senja, ya tinggal saja di planet yang tidak ada senja.”

Aku tertawa mendengar perkataannya. Di kafe ini, segalanya menjadi serba mungkin. Meja yang berkilauan. Riuh orang-orang yang datang dan pergi. Para pelayan mengenakan celemek yang terbuat dari sekerat cakrawala senja. Aku tidak tahu darimana mereka bisa menjahit senja yang demikian indah itu menjadi sebuah seragam kafe.

Kupesan dua gelas coklat hangat. Kutahu minuman ini adalah minuman favoritmu. Kau takpernah melewatkan senja yang indah ini tanpa ditemani oleh secangkir coklat hangat. Kubayangkan bagaimana bibirmu yang tipis itu menyeruput coklat yang masih mengeluarkan uap panas. Lalu dengan senyum yang manis, kita akan memulai pembicaraan kita. Apa saja.

Kuingat, terakhir kita berbicara tentang cinta. Wajahmu kukenang sebagai bagian dari cinta itu. Kita begitu asyik membicarakan apa yang kata orang adalah anugerah terindah bagi manusia. Kita tertawa, dan selalu berbicara tentang cinta dari berbagai sisi. Selalu ada sudut pandang yang menarik untuk kita bicarakan dari cinta. Dan semua itu hanya bersamamu.

“Hayo, ngelamunin apa?”

Suara itu, ya itu adalah suaramu. Bertahun-tahun selalu kukenang suaramu. Dalam setiap perjalananku, yang kutahu suaramu telah menjelma menjadi arah untuk mencapai tujuanku. Ya, hanya suaramu. Kulihat wajahmu, semakin cantik kukira.

“Kau semakin cantik saja, sayang,” godaku.

Kau hanya tersenyum tipis. Aku tahu, gombalanku sudah terlalu usang buatmu. Akan tetapi, kupikir kebanyakan wanita justru mengharapkan gombalan-gombalan usang seperti itu.

“Sudah lama nunggu? Maaf tadi di jalan macet.”

“Tidak apa. Pemandangan senja di sini selalu menghapus rasa bosan,” kataku.

Lalu kita pun memulai kembali petualangan kata-kata kita. Kita mengembara mengarungi samudera kata dengan tenang dan terarah. Berbicara tentang hal apapun, bahkan kau sering memintaku menceritakan petualanganku mengarungi lautan. Aku pelaut, dan kau adalah pendengar setia dari segala pengalaman-pengalamanku.

“Aku baru pulang dari Alaska,” kataku. “Dan kau harus tahu orang Eskimo itu baik-baik.”
“Baik-baik bagaimana?”

“Mereka akan menjamu tamu dengan sangat istimewa. Bahkan budaya mereka menganjurkan untuk mempersilakan istri-istri mereka untuk menemani tamunya. Kau tahu? Aku sampai harus mencari cara yang halus untuk menolak penawaran itu, karena aku selalu ingat kamu,” kataku.

Kau tertawa . Renyah sekali.

“Hahaha. Kau kan pelaut. Bukankah pelaut selalu menemukan cinta setiap kali ia singgah di darat? Dan aku tidak bisa melarang itu karena kau adalah pelaut. Cinta bagi pelaut adalah cinta yang singkat.”

“Tapi cintaku telah terpaut di sini. Barangkali aku pelaut yang kesepian. Saat teman-teman yang lain sibuk mencari cinta, aku justru menguatkan cinta dengan selalu mengirimu kartu pos kemana pun aku pergi. Kau masih simpan kartu pos dariku kan?”

“Ya, selalu aku simpan. Setiap kali kuterima kartu pos darimu, aku selalu tahu kemana kau pergi. Arab, Madagaskar, Afrika Selatan, Maroko, hingga Alaska. Itu kenangan berharga darimu.”

Begitulah, setiap senja, setiap kali aku singgah di kotamu, kita selalu bertemu di kafe ini. Kita tidak bisa pindah ke kafe lain, karena kenangan telah banyak tersimpan di kafe ini. Dan setiap senja tiba, kita akan selalu berbicara tentang cinta, tentang kenangan yang sempat kita timbun selama aku pergi. Meskipun sebentar, tapi suaramu menggema selalu dalam dinding-dinding pendengaranku.

***
Aku selalu belajar mencintai laut. Sebab, disanalah kehidupanku bermula. Mengarungi tujuh lautan dan sembilan samudera. Entah sudah kali keberapa aku belajar mencintaimu di setiap daratan yang kusinggahi. Bagiku, laut adalah ayah dari duniaku dan aku harus mengarunginya selama apapun itu agar kutahu bahwa laut selalu menyimpan lembar masa depan untukku.

Menjadi pelaut memang tidak mudah, salah satunya ialah sering meninggalkanmu. Aku masih ingat ketika pertama kali kau mengenalku. Aku pelaut, dan ternyata kau suka dengan profesiku. Lalu pertemuan demi pertemuan mengalir bagai sungai, bermuara pada sebuah jawaban yaitu kita menjadi sepasang kekasih yang terpisah oleh lautan. Ketika aku pergi meninggalkanmu melaut untuk pertama kali, kulihat matamu basah menyimpan kenangan. Sabar, kita pasti bertemu lagi, ucapku. Dan sejak saat itu, cinta yang seumur jagung itu perlahan mulai membesar dan terus meluas hingga akhirnya setiap kali aku melihat lautan, wajahmu yang sendu itu akan selalu terbayang di wajahku.

Kenangan memang tidak pernah bisa dihapus oleh waktu. Ia selalu ada, meski pikiran tidak mampu mengingatnya lagi. Kukirim kartu pos dan sedikit cinderamata untukmu agar kau selalu tahu kabarku. Setiap senja tiba, aku selalu mengingat pertemuan kita, pembicaraan kita, dan cinta kita. Senja di lautan memang indah, namun selalu ada keperihan kesepian yang hinggap di benakku. Setiap kali lautan itu bercahaya, nelayan berjuang melawan ombak, dan matahari yang sebentar lagi tenggelam ke lautan, aku selalu mengingat bagaimana kau menyukai senja.

“Setiap senja tiba, aku selalu ingin mendengarkan suaramu,” katamu dulu sebelum aku pergi melaut.
Seindah apapun itu, laut akan tetap menjadi misteri. Aku tidak bisa menerka pertemuan selanjutnya setiap kali aku pergi melaut. Sebab, belum tentu dalam perjalanan ini akan bisa kutuntaskan dengan sempurna. Aku mencintaimu, dan kukira cinta itu menjadi berharga apabila tidak kita bayangkan secara berlebihan. Aku hanya bisa mengenangmu setiap kali senja tiba di lautan.

“Pergilah, aku selalu sabar menunggu kepulanganmu. Jangan lupa kirimi kabar setiap kali kau menemui daratan.”

Aku telah berlayar mengarungi lautan dan sembilan samudera. Ini dunia yang takmemiliki ujung, bagiku. Di hadapanku kini terbentang badai yang mengoyak kenangan itu. Aku harus berjuang mengalahkan badai ini agar aku bisa mengirimimu kartu pos di pulau terdekat sana. Para awak sibuk berbenah, mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang timbul akibat badai ini. Baru kemarin kurasa aku melihat senja yang berkilauan bersamamu. Dan kini, badai yang angkuh menantang perjalananku ini.

Laut bergemuruh, menggoyangkan kapal yang riuh oleh doa. Ombak menghantam di beberapa sisi kapal. Bahkan ia nyaris melemparkan salah satu anak buahku. Cakrawala gelap, angin kencang, hujan menusuk tajam, dan lautan mengamuk. Samar-samar aku mendengar nyanyianmu di sela-sela gemuruh itu. Itu adalah nyanyian kerinduanmu. Mungkin, senja ini kau baru selesai mandi dan rambutmu meruapkan wangi yang memabukkan. Sementara di sini aku harus berjuang melawan badai dengan sayup-sayup kudengar nyanyianmu.

Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera...

Seketika nyanyianmu hilang. Aku kembali dihadapkan pada ombak setinggi kapal yang siap mengempas. Dimana nyanyianmu itu? aku butuh suaramu kini, aku butuh semangatmu saat ini, dalam badai dan ombak yang mengamuk. Kudengar salah seorang awak berteriak padaku.

“Kapten, lambung kapal bocor!”

Perlahan, suaramu kembali muncul, bahkan dapat kudengar dengan jelas. Bersama dengan suara-suara orang-orang yang berusaha mencari sekoci dan pelampung. Lalu tiba-tiba ombak yang besar itu menghantam segala kenangan tentangmu.

***

Di kafe ini, kita kembali bertemu. Matamu yang bengkak dan airmata yang tak henti mengalir. Senja masih bersandar pada cakrawala, tenang dan syahdu. Sedang di depan kafe, laut bermain dengan pasir. Beberapa anak kecil berlari mengejar ombak yang nakal menggoda kaki mereka. Namun,kau tetap diam, memandang lautan yang terhampar di hadapanmu. Diam dan resah.

Aku duduk di sampingmu, mencoba menghibur kesepianmu. Aku tahu, kesepian menjadi begitu perih apabila rindu menjadi dalam dan semakin meluas. Kulihat di sekitar kita berjuta kenangan mengendap di lantai, dinding, meja, kursi, langit-langit, bahkan pada makanan dan minuman yang dipesan. Seorang pelayan datang menghampirimu. Dengan hati-hati ia menatapmu iba.

“Mbak, barang-barang ini mau dikemanakan?” tanyanya.

“Buang saja ke laut, aku ingin barang-barang itu sampai padanya.”

Kulihat bungkusan itu. Ada topi, seragam, cinderamata, dan kartu pos yang sering kukirimkan padamu. Lalu sepucuk surat beramplop merah tersimpan rapi di atasnya. Dengan berat, pelayan mengambil bungkusan itu dan membawanya ke belakang. Ia tidak tahu harus dikemanakan bungkusan itu. Kalaupun dilarung ke laut, ia takkuasa melarungkan kenangan manis yang telah tersimpan di sana selama bertahun-tahun.

Kau kembali diam, menatap kosong dengan sisa-sisa matamu yang basah. Aku duduk di sampingmu, tapi kutahu kau takbisa melihatku. Aku ingin menyapamu dengan suara lembut lalu kita akan mulai pembicaraan tentang apa saja. Aku takbisa. Sebab, kenangan telah mengunci mulutku sehingga aku takmampu lagi berbicara tentang cinta kepadamu.

Lalu perlahan senja menjadi gelap. Suasana kafe menjadi muram. Senja kesukaanmu telah berakhir, dan aku takbisa memelukmu.

“Aku ingin mengucap rindu padamu, setelah itu kau boleh melupakan kenangan tentangku,” ucapku sebelum aku pergi.


Bandung, 15 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment