Tuesday 14 August 2012

WANITA YANG MEMEGANG SENJA


Ia melihat mentari senja dengan begitu merah, begitu bulat merah seperti bulatan di bendera negara Jepang, bulat dan merah menyala. 

Sedang cakrawala semu kelabu sehingga langit tak begitu keemasan takbegitu rupawan. Entahlah, meski langit tak secerah biasanya, namun mentari itu begitu merah menyala bulat sebulat-bulatnya bagai telur ceplok yang—semua orang tahu—begitu bulat.

Mentari itu kadang muncul kadang hilang tersembunyi di balik gedung-gedung angkuh yang angkuh membisu. Ketika mentari itu hilang dalam pandangannya tersembunyi di balik gedung-gedung, ia akan mencari keberadaannya kembali, mencari ke segenap pelosok, mencari tempat yang memudahkan ia melihat mentari yang begitu rupa begitu bulat tersebut. Ia mencintai senja, dan selalu akan ia abadikan semua senja yang pernah muncul di semesta ini. Ia abadikan dengan memasukkan senja itu ke dalam ingatannya yang mungkin cukup lapang untuk menampung ribuan bahkan jutaan senja yang memerah dan keemasan. Sehingga dalam benak dan ingatannya akan penuh dengan senja yang memerah keemasan dan tentu saja senja yang bermentari bulat merah menyala.



Ia begitu mencintai senja sehingga ia suka menyaru, pergi ke setiap tempat yang berbeda hanya untuk mengabadikan senja ke dalam ingatannya yang lapang tersebut. Ketika ia telah berhasil mengabadikan, barulah ia akan tersenyum puas seperti telah berhasil mendapatkan sesuatu yang selama ini diharapkannya dan pergi entah ke mana. Ia akan pergi ketika senja telah rampung diabadikan dan hilang entah ke mana diganti malam yang remang tanpa pernah diketahui oleh sesiapa. Hanya sendiri saja tanpa pernah sekalipun ditemani barang seorang dua orang yang menemani penyaruannya.

Begitulah selalu ia suka menyaru, pergi ke setiap tempat tanpa pernah ditemani oleh sesiapa. Ia hanya sendiri, mungkin menurutnya lebih baik sendiri. Semua orang tidak pernah mengetahui siapa dirinya, sehingga—memang mudah untuk mengingatnya—orang-orang yang melihatnya ketika ia muncul untuk menyaru dan mengabadikan senja, maka mereka akan menyebutnya:

Wanita Senja dari Utara

Mengapa harus dari utara, bukan timur, barat, selatan, atau pun dari arah-arah mata angin lainnya? Entahlah, mereka yang menyebutnya pun tak mengetahui dengan jelas mengapa wanita itu disebut seperti itu. Mereka hanya mendapat kabar dari setiap mulut, menyebar dari satu orang ke orang lainnya, mungkin ditambah-tambah atau pun dikurangi direka-reka sesuka hati mereka. Mungkin saja memang ia berasal dari utara dan selalu mencari mentari senja di ufuk barat karena kita semua tahu, tidak akan pernah ada mentari yang tenggelam di utara.

“Maaf nona, anda siapa?”

“Apa yang nona lakukan di sini?”

“Mengapa nona selalu datang ke tempat seperti ini kala senja?”

“Mengapa nona selalu melihat mentari senja? Memangnya mentari senja itu tontonan yang asyik?”

Selalu orang akan bertanya padanya perihal apa yang dilakukannya. Dan selalu saja, ia tidak akan berbicara satu patah kata pun untuk menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Ia hanya akan tersenyum manis, begitu manis, dan memang akan selalu manis. Memang senyumnya yang tanpa kata-kata itu hanya akan membuat orang-orang yang mencoba mengetahuinya menjadi sedikit dongkol, tetapi barangkali senyumnya yang meredam semua kedongkolan yang mereka rasakan. Barangkali, ya barangkali senyumnya yang sangat manis itu memang memikat dan barangkali juga senyumnya itu bisa menjadi sebuah jawaban atau kata-kata yang pasti dan lugas. Sayangnya, orang-orang terlalu awam untuk mengerti bahasa senyuman. Tidak pernah ada cerita tentangnya mengapa ia begitu mencintai atau alasan mengapa ia selalu mengabadikan setiap senja yang dilihatnya itu ke dalam ruang-ruang ingatannya yang selalu tersedia menampung senja sampai kapan pun.

Kini ia melihat mentari senja dengan begitu merah, begitu bulat merah seperti bulatan di bendera negara Jepang, bulat dan merah menyala. Sedang cakrawala semu kelabu sehingga langit takbegitu keemasan takbegitu rupawan. Ia melihatnya dari sebuah tempat yang penuh dengan gedung-gedung menjulang dan saling berlomba menembus langit yang entah di mana ujungnya. Mentari yang kadang muncul kadang tersembunyi itu ia cari-cari ke segenap penjuru. Saat mentari itu muncul ia akan melihatnya dengan bahagia dan kembali muram mencari-mencari ketika mentari itu hilang. Ia sangat mencinta senja dan mentarinya, mungkin melebihi dari perasaan mencintai manusia. Ia sangat bahkan terlalu mencintai senja yang begitu merah dan keemasan tersebut.

Senja kali ini ia ada dan memang akan selalu ada. Orang-orang yang penasaran tentangnya karena selalu mendengar tentang kabar seorang wanita muda yang selalu menyaru hanya untuk melihat senja memang membuat penasaran. Dan, secara kebetulan—atau bukankah semua yang sudah digariskan olehNya—ia muncul di lingkungan orang-orang yang telah mengetahui ceritanya dan sangat penasaran.

Ia berdiri di tanah lapang memandang senja dan langitnya yang semu kelabu dan juga mentarinya yang merah bulat menyala. Orang-orang berkerumun melihatnya dari jarak yang tak jauh darinya. Mereka begitu penasaran akan wanita muda yang selalu ada kala senja tersebut. Terlebih karena sosoknya yang anggun dan cantik dengan rambut yang selalu tergerai membuat orang-orang—khususnya lelaki mungkin terpesona dengannya.

“Apa yang akan ia lakukan ya?”

“Sudah lihat saja!”

“Kabarnya ia datang dari utara.”

“Darimana kau tahu ia datang dari utara?”

“Menurut kabar yang saya dengar begitu.”

“Kau percaya begitu saja?”

“Mungkin saja, ia kan tidak pernah menyebutkan darimananya?”

“Lantas?”

“Ya, kita hanya bisa percaya saja.”

“Mengapa harus dari utara?”

“Karena mungkin di utara tidak ada mentari tenggelam.”

“Hmm..ya ya ya. Mungkin saja begitu.”

“Kau lihat sosoknya yang cantik itu?”

“Lantas?”

“Dia masih sendiri tidak ya?”

“Huss! Kita kan tidak tahu siapa dia.”

“Hhh… Kalau begitu aku jadi senja dulu ya baru bisa kulamar ia?”

“Ha ha ha! Kau mau?”

“Orang secantik dia… semua akan kulakukan untuk mendapatkannya.”

“Hahaha!”

“Hahaha!”

Ramailah orang-orang—terutama lelaki membicarakannya. Dan semua perbincangan itu pun tidak akan pernah mendapat jawabannya karena selalu saja yang diperbincangkannya itu hanya dugaan dan terkaan belaka. Memang orang-orang ramai membicarakannya, namun apakah mereka benar-benar tahu siapa sebenarnya wanita itu. Saat ini yang ada dalam benak masing-masing orang hanya wanita itu selalu muncul kala senja. Hanya senja yang kemerahan dan keemasan dengan mentarinya yang begitu merah itu memang indah. Indah, tapi apakah sesuatu yang indah-indah itu harus selalu muncul kala senja? Apakah hanya senja satu-satunya yang menaungi semesta menjadi berkilau indah dan sendu? Tentunya malam yang remang dan waktu-waktu yang lain pun sama indahnya menaungi semesta seperti halnya senja. Hanya masing-masing memiliki waktu tersendiri.

Wanita itu tersenyum ketika mentari yang dicintainya muncul lagi ke permukaan langit yang belum ditutupi oleh gedung. Wajahnya yang lelah tidak mampu menutupi kecantikan dan rona bahagianya ketika ia melihat semua. Ia sadar bahwa ia sedang diperhatikan banyak orang, tapi ia tak peduli. Yang ia pikirkan kali ini hanya bagaimana mengabadikan senja dan mentarinya yang timbul tenggelam itu ke dalam pikirannya. Ia masih belum mampu memasukannya ke dalam ruang-ruang pikirannya karena ia belum sepenuhnya melihat mentari yang kini timbul tenggelam di antara lautan gedung menjulang tersebut.

Wanita itu berjalan mendekati mentari mencoba melihat mentari itu. orang-orang semakin penasaran dengan sikapnya yang mondar-mandir mencari mentari. Mereka tak berani mengambil tindakan, hanya bisa terdiam dan melongo saja. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Dia kenapa sih?”

“Mana kutahu.”

“Sudah gila kali ya?”

“Huss! Jangan nuduh dulu!”

“Tapi kalau iya bagaimana?”

“Kasihan ia kalau begitu.”

“Iya, cantik-cantik kok miring ya?”

Mereka ramai-ramai saja saling berbincang satu sama lain. Lupalah mereka akhirnya pada sosok yang selama ini dicarinya. Mereka malah jadi asyik mengobrol satu sama lain dan tidak memedulikan wanita yang terus berjalan mencari mentari yang hilang di antara gedung-gedung. Senja semakin tua dan remang. Mentari merah semakin hilang dan condong ke barat. Ia masih terus mencari keberadaannya yang tersembunyi bagai misteri.
Mereka masih tak sadar bahwa wanita muda itu semakin menjauh meninggalkan tempat itu berlari menuju mentari yang sebentar lagi hilang. Senja telah berakhir dan keremangan menaungi semesta. Gema adzan Maghrib meraung-meraung di segenap penjuru sehingga menyadarkan orang-orang bahwa hari sudah remang.

Barulah mereka sadar bahwa wanita itu—orang yang membuat masing-masing penasaran—hilang dari tempatnya. Mereka berkeliling mencari keberadaan wanita itu yang hilang begitu saja tanpa pernah mereka ketahui—atau memang tidak diketahui karena diperdaya oleh perbincangan. Wanita itu hilang entah ke mana ketika senja telah meremang. Pergi, lenyap tak berjejak.
Tiba-tiba salah seorang berseru:

“Hei Lihat! Wanita itu ada di sana!” katanya sambil menujuk langit ufuk barat yang masih menyisakan lembayung merah.

Semua kepala mendongak ke atas, melihat ke arah ufuk barat yang lembayung. Tanpa banyak bicara, semua tercengang, melongo, tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Mereka melihat wanita itu, wanita yang mencintai senja dan dijuluki si Wanita Senja dari Utara. Mereka melihatnya, wanita yang selama ini ditunggu-tunggu kedatangannya begitu anggun terbang dengan sepasang sayapnya yang indah dan tubuhnya yang kemilau seperti senja menuju utara…









Bandung, 08 Agustus 2009
22.18

No comments:

Post a Comment