Tuesday 12 March 2013

MENGAYUH KEHIDUPAN DENGAN BECAK



Kendaraan ini bukanlah termasuk kendaraan bermotor. Rodanya tiga, dan dikayuh oleh manusia. Di zaman serbamodern ini, becak masih bertahan sebagai angkutan transportasi ramah lingkungan.


Barangkali kita sudah sangat akrab dengan transportasi roda tiga yang satu ini. Moda transportasi ramah lingkungan ini sangat populer sebagai alat transportasi untuk angkutan jarak dekat, khususnya di wilayah Indonesia dan sebagian Asia. Namun, tahukah Anda sejak kapan becak menjadi sarana transportasi di Indonesia?

Becak diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal abad ke-20. Seperti dikutip dari situs id.wikibooks.org awalnya becak digunakan untuk mengangkut barang-barang para pedagang Tionghoa. Baru pada tahun 1940-an becak digunakan sebagai angkutan umum dengan kapasitas penumpang 2 orang ditambah pengemudi satu orang.


Saat Jepang masuk ke Indonesia dimana pada saat itu telah diberlakukan larangan penggunaan kendaraan pribadi serta kontrol yang ketat terhadap penggunaan bensin, becak pun mulai menjamur. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, becak kemudian menjadi kendaraan alternatif yang digunakan masyarakat untuk berangkat ke tempat yang dituju.

Bahkan, becak pun kemudian dijadikan alat politisasi. Penguasa pada saat itu mengumpulkan massa, termasuk kelompok tukang becak, untuk kemudian dimobilisasi dengan tujuan untuk kepentingan perang melalui penggemblengan dan pelatihan pemuda. Pelatihan tersebut diantaranya berisi tentang pengajaran konsep politik, organisasi, hingga latihan berperang.

Pascakemerdekaan, becak masih menjadi sarana angkutan transportasi yang populer. Pada masa ketika taksi, angkot, dan bus kota belum menjamur seperti sekarang, masyarakat meggunakan becak dan delman sebagai alat transortasi mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, becak seringkali dianggap sebagai “alat transportasi yang tidak manusiawi”, sebab kenyataannya pengemudi becak dipaksa mengangkut tumpangan yang terkadang melebihi kapasitas yang ditentukan.

Hal tersebut diperkuat dengan munculnya Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Kota Jakarta. Isi dari Perda tersebut diantaranya ialah larangan transportasi becak di Kota Jakarta. Alasan pelarangan tersebut ialah becak seringkali mengganggu ketertiban umum. Selain itu, becak dianggap “eksploitasi manusia atas manusia” sehingga pada akhir 1980-an becak secara resmi “dibinasakan” di kota Jakarta dan digantikan dengan alat tranportasi yang lebih manusiawi, yakni Bajaj dan Helicak. Ratusan hingga ribuan pengemudi becak kehilangan lapangan pekerjaannya.

Meskipun begitu, di beberapa kota besar lainnya, becak masih menjadi alat transportasi yang jumlahnya masih banyak. Di kota-kota seperti Jogjakarta dan Solo, becak menjadi salah satu sarana transportasi wisata untuk menuju ke tempat-tempat wisata dan belanja oleh-oleh.

Baru-baru ini, muncul recana untuk memodernisasi becak, yakni mengubah desain becak menjadi becak modern yang aerodinamis. Hal tersebut bertujuan untuk lebih memanusiawikan becak juga sebagai salah satu pendongkrak pariwisata. Dengan model becak yang semakin modern dan aerodinamis, apakah akan turut mengubah taraf kehidupan para tukang becak yang selama ini harus bersaing keras dengan alat transportasi modern, khususnya kendaraan bermotor?

Pengalaman Naik Becak

Monggo mas, nanti saya tunjukkan ke penginapan. Dijamin aman,” begitulah ajakan seorang tukang becak di Stasiun Solo Balapan, Solo, saat saya baru keluar dari pintu stasiun. Untuk pertama kalinya saya menelusuri kota yang berjuluk “Spirit of Java” tersebut dan berencana untuk mencari penginapan di kawasan Jalan Slamet Riyadi. Di tengah kebingungan untuk naik transportasi apa, seorang tukang becak pun menghampiri saya.

Tukang becak pun secara aktif mengajak saya untuk tidak mencari penginapan di daerah Slamet Riyadi, namun ia mengajak saya untuk menginap di penginapan di belakang Terminal Tirtonadi. Ia mengajak saya dengan kalimat yang telah disebutkan di atas. Ia pun meyakinkan saya bahwa di kawasan penginapan tersebut akan aman.

“Percaya mas sama saya. Kalau di Slamet Riyadi itu sering ada razia KTP. Kalau di Tirtonadi dijamin aman mas,” ujar tukang becak tersebut sembari membawa ransel saya untuk kemudian disimpan di jok becak.
Masih diselimuti rasa bimbang, saya pun menuruti ajakan tukang becak tersebut. Kawasan penginapan yang dimaksud tukang becak tersebut ialah kawasan Jalan Setiabudi. Di sana terdapat banyak sekali penginapan dengan harga yang murah. Namun ternyata saya tidak dibawa ke kawasan tersebut, melainkan masuk ke gang sempit yang langsung berbatasan dengan terminal Tirtonadi.

Becak pun sampailah di sebuah penginapan kecil. Kesan pertama yang dirasa saat melihat bangunan penginapan tersebut, kumuh dan gelap. Begitupun ketika saya masuk melihat-lihat kamar, lembap dan seperti tidak pernah dibersihkan. Belakangan saya tahu kalau kawasan tersebut termasuk ke dalam kawasan prostitusi kelas teri di Solo.

Pengalaman tentang tukang becak tersebut sangat melekat dalam ingatan saya. Pada intinya, tukang becak rata-rata telah dipesan oleh pemilik penginapan untuk memengaruhi penumpang yang sedang mencari penginapan. Tidak hanya penginapan, para tukang becak pun seringkali diorder oleh pemilik toko oleh-oleh atau pemilik sentra bisnis lainnya untuk mengajak penumpang datang ke tempatnya.

Di beberapa kota dan negara, becak menjadi salah satu alternatif transportasi wisata. Ada yang sekadar berkeliling kota atau juga berkunjung ke tempat-tempat wisata atau belanja di tempat yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara tukang becak dengan pemilik toko.

Adakalanya menggunakan transportasi becak tidak semudah menggunakan transportasi lainnya. Beberapa tukang becak ada yang mematok harga tinggi untuk perjalanan ke tempat yang akan kita tuju.Mengingat, becak bukanlah angkutan yang menggunakan tarif tetap. Mahal atau tidaknya ongkos bergantung pada jarak yang akan ditempuh. Tukang becak pun akan berkilah jarak yang dituju sangat jauh sehingga ongkos ikut membengkak naik.

Apalagi bagi wisatawan yang tidak mengetahui rute yang akan dituju. Dibutuhkan keberanian untuk menawar agar ongkos yang dibayar akan sesuai dengan jarak tempuh. Hal tersebut bukan hal yang tabu untuk dilakukan agar tercipta proses komunikasi yang mungkin akan memudahkan kita untuk mendapat informasi. Tawarlah dengan harga yang wajar.

Menyadari bahwa penumpang yang dibawa adalah seorang wisatawan, beberapa tukang becak biasanya akan memberikan informasi mengenai tempat-tempat yang dilewati sepanjang perjalanan. Misalnya, ketika berkeliling kota Jogja menggunakan becak, tukang becak akan menjelaskan kawasan-kawasan yang dilewati. Jangan ragu untuk bertanya apa saja tentang kota yang kita datangi, tukang becak dengan senang hati memberikan informasi yang lengkap bahkan bersedia mengantar kita ke tempat-tempat yang ingin kita datangi. Tentunya dengan ongkos yang disesuaikan.

Belajar dari Tukang Becak

Pengalaman mencari nafkah di jalanan adakalanya menjadi nafas para tukang becak untuk menjiwai kehidupan. Sulitnya mencari nafkah di jalanan, berebut penumpang, persaingan dengan angkutan bermotor sudah sering dialami oleh para tukang becak. Itulah alasan lain kenapa tukang becak terkadang mematok tarif yang tinggi saat beroperasi.

Suatu malam kereta naik kereta ekonomi menuju Jakarta, saya mengobrol dengan seorang bapak di bordes kereta. Sambil merokok dan menikmati perjalanan malam, kami pun terlibat sebuah percakapan. Mulai dari obrolan tentang kereta, tiket selundupan, hingga mendaki gunung. “Saya pernah naik gunung Lawu, tadi saja ketika kereta lewat Gunung Lawu, matahari di sana terlihat indah,” ujar bapak yang akhirnya saya ketahui bernama Sunaryo.

Sunaryo tetap tenang duduk di pintu kereta yang terbuka sambil menikmati sebatang rokok yang saya sodorkan. Legam kulit tangannya menandakan bahwa Sunaryo adalah seorang pekerja keras yang sehari-harinya bergelut di lapangan. “Saya juga dulu pernah ke Gunung Slamet,” ujar Sunaryo sambil mengisap rokoknya.

Sunaryo pun menceritakan tentang kisah hidupnya. Lelaki berusia 45 tahun tersebut berasal dari Surabaya dan sehari-harinya berprofesi sebagai tukang becak di kawasan Stasiun Gubeng, Surabaya. Setiap hari, Sunaryo harus bersaing dengan angkot maupun ojek untuk mendapatkan penumpang. Ia pun mengaku, pendapatan yang didapat seringkali tidak menentu.

“Pendapatan saya gak tentu, mas. Kadang sehari dapat 20 ribu sampai 100 ribu. Tapi, sering juga saya tidak dapat apa-apa,” ujarnya.

"Saya yakin, rezeki saya sudah ada yang ngatur. Kalau saya memang gak dapet apa-apaberarti memang itu rezeki saya,” tambahnya.

Sunaryo menuturkan, sudah 15 tahun ia menjadi tukang becak. Ia pun merasakan setiap tahunnya penumpang yang mengandalkan becak semakin berkurang. “Dulu angkot masih jarang. Kalau angkotnya lama, penumpang akan memanggil tukang becak. Sekarang? Motor sudah banyak. orang-orang sudah jarang pakai becak,” ungkapnya.

Tidak tampat gurat kesedihan di wajahnya. Yang tampak justru ekspresi semangat di wajahnya untuk membagi kisah hidupnya kepada saya. Sunaryo pun mengungkapkan, pada awal 2000-an, ia memiliki banyak sekali pelanggan tetap. Rata-rata pelanggan tersebut sering meminta Sunaryo untuk mengirimkan barang-barang ke alamat yang dituju. Dalam sehari, Sunaryo bisa dipanggil oleh 3 pelanggan sekaligus!

Namun, satu persatu pelanggan tersebut menghilang saat sepeda motor dan mobil merajalela. Kemajuan zaman dan teknologi yang semakin pesat pun turut berimbas pada perkembangan tukang becak. “Dulu sebelum handphone seramai sekarang, para tukang becak gak ada tuh tukang becak yang main handphone. Sekarang sudah beda, ada tukang becak yang punya dua handphone sekaligus, meskipun gak ada pulsanya, hahaha,” kelakar Sunaryo.

Sambil menyalakan kembali rokok, Sunaryo pun menceritakan bagaimana ia sering ditipu bahkan oleh sesama tukang becak. Pernah pula ia difitnah oleh temannya sehingga ia pun harus kehilangan kepercayaan dari pelanggannya. Lantas bagaimana ia menghadapi hal tersebut? Ditanya seperti itu, Sunaryo hanya tersenyum.

“Saya gak pernah marah orang lain berbuat jahat sama saya. Yang penting saya gak pernah berbuat seperti itu sama orang lain,” jawaban tersebut membuat saya tertegun.

Kereta melaju menembus malam, para pedagang asongan lewat di hadapan kita. Sunaryo pun melanjutkan pembicaraannya, “Saya gak pernah takut orang lain akan berbuat apa sehingga saya kehilangankepercayaan orang. Yang saya lakuin hanya pasrah dan mendekatkan diri saja sama Allah,” ujarnya.

Jawaban tersebut serasa menampar saya. Betapa tidak, seringkali profesi tukang becak tidak pernah dianggap berharga oleh orang-orang. Seperti yang telah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, ketika proses tawar menawar antara penumpang dengan tukang becak, seringkali penumpang menawar dengan harga yang sangat rendah tanpa memedulikan kondisi tukang becak.

Dari Sunaryo dan tukang-tukang becak lainnya saya sadar bahwa manusia sebagai makhluk sosial terkadang tidak menunjukkan kepekaan sosialnya. Sunaryo mungkin bukan bermaksud untuk menegur saya, namun pandangannya tentang kehidupan membuat saya menganggap bahwa menjadi tukang becak jauh lebih berharga dari seorang pejabat yang haus uang.


Sepanjang perjalanan Kereta Gaya Baru Malam-Bandung, 18 Februari-12 Maret 2013

No comments:

Post a Comment