Monday 28 May 2012

Rokok dan Konsep Keindonesiaan


Berbicara mengenai rokok, alangkah bijak bila kita menyandingkannya dengan konsep Keindonesiaan. Sebab, dari rokok kita bisa memunculkan aktivitas yang mencerminkan sikap-sikap tradisi Indonesia. Terlepas dari kontroversi yang melekat, peringatan keras oleh Pemerintah mengenai bahaya rokok, dan segala macam tetek bengek yang menyebabkan rokok menjadi sebuah barang/produk yang berbahaya.

Saya tidak akan membeberkan mengenai kandungan rokok, dan zat-zat yang bisa merusak tubuh dari rokok, karena semua hal tersebut bisa Anda dapatkan di dunia maya. Anda bisa cari mengenai kandungan dan zat-zat beracun yang konon kabarnya ngendon di batang rokok. Saya pun tidak akan berbicara mengenai bahaya dan efek samping dari rokok itu sendiri, karena Anda pun yang bukan perokok pun pasti telah hafal dari efek samping rokok tersebut. Saya hanya akan berbicara mengenai rokok dan kaitannya dengan tradisi dan kebudayaan di Indonesia.


Rokok menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas sosial manusia Indonesia. Bahkan, rokok telah menjadi teman hidup yang menyenangkan bagi seorang perokok. Betapa tidak, terkadang keberadaan rokok mengalahkan semuanya. Rokok mampu mengalahkan kepentingan istri, rokok mampu mendobrak aturan-aturan, dan rokok pun mampu mengesampingkan kepentingan-kepentingan manusia lainnya. Seorang perokok berat akan mengutamakan membeli sebatang rokok daripada makanan lainnya jika ia sedang tidak punya uang. Bahkan, rokok pun mampu membuat si perokok melakukan penganggaran keuangannya, dan tentu saja kebutuhan akan rokok menjadi prioritas utama

Katakanlah, dalam sebulan, perokok pasti menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk membeli rokok. Ia pasti telah menghitung secara cermat biaya yang mesti dikeluarkan untuk membeli rokok. Umpama dalam sebulan kebutuhan rokok berkisar hingga 100-200 ribu, maka secara automatis, setiap bulan si perokok akan menyisihkan uang sesuai dengan nominal yang telah ditentukan.

Hal ini acap kali dianggap sebuah pemborosan, terlebih bagi kalangan nonperokok. Namun, bagi si perokok sendiri, jumlah uang tersebut merupakan akumulasi dari penghitungan yang sangat matang. Dan biasanya, jumlah tersebut akan selalu konstan, apabila si perokok menghabiskan rokoknya dalam waktu yang sama dan harga rokok yang dibeli pun konstan. Pengeluaran untuk rokok bagi mereka sudah menjadi pengeluaran yang wajib dan tidak boleh dikesampingkan. Maka, pemborosan yang dianggap oleh kaum nonperokok tidak akan pernah ditanggapi secara serius bagi perokok, karena rokok telah menjadi bagian dari hidupnya. Prinsip perokok, toh setiap manusia pun pasti memiliki kebutuhan kan dan sangat wajar apabila seorang perokok menganggarkan biaya untuk membeli rokok.

Mengapa perokok selalu ingin membeli rokok? Terlepas dari masalah rokok dapat membuat kecanduan, pada dasarnya rokok akan selalu dibutuhkan oleh kaum perokok. Perokok sejati mengonsepkan sebatang rokok sudah bukan lagi sesuatu yang dinikmati dengan cara dibakar ketika sehabis makan umpamanya, namun rokok sudah menjadi ideologi berpikirnya.

Tentunya Anda sering mendengar kan rokok adalah sumber inspirasi? Kebanyakan orang merokok untuk mendapatkan ilham. Hal ini memang seringkali menjadi persepsi yang salah. Toh, dalam rokok saya kira tidak ada kandungan yang bisa merangsang otak untuk menghasilkan ide-ide yang gilang gemilang. Namun, untuk membuktikan kebenaran dari pernyataan tersebut kiranya lebih baik kita lihat dari segi psikologis dan sosiologis.

Dari segi psikologis, kaum perokok telah “terhipnotis” oleh pernyataan tersebut, sehingga apabila menemui suatu keadaan yang stagnan dan butuh sebuah ide yang dinamis, maka secara automatis ia akan merokok. Untuk memahami konsep ini, saya akan analogikan bahwa rokok adalah media curhat. Kaum perokok akan lebih enak “curhat” dengan rokok. Ketika dirasa pikirannya buntu, ia akan lakukan hal-hal yang akan mengembalikan mood dan pikirannya menjadi fresh kembali.

Salah satu media yang paling bisa merepresentasikan hal itu adalah rokok. Dengan merokok, kaum perokok akan merasakan sebuah pelepasan beban yang lebih mudah ketimbang melepasnya dalam bentuk yang lain. Dengan melepasnya beban-beban tersebut, pikiran jernih pun akan kembali pada diri si perokok. Oleh karena itu, kaum perokok sebenarnya bukan mencari ilham dengan ketika merokok, akan tetapi sekadar melepaskan penat dan beban yang terasa dalam suatu aktivitasnya.

Tanpa disadari, ketika beban-beban tersebut terlepas, maka ide atau solusi pun akan lebih mudah datang. Perokok tanpa disadari akan menemukan jalan terbaik untuk membuat aktivitasnya kembali hidup. Jadi, dengan kata lain rokok bukan dikategorikan sebagai pencari ilham, tetapi hanya sebagai media alternatif pelepasan beban yang baik dilakukan oleh seorang perokok. Percaya atau tidak, perokok akan selalu melakukan aktivitas tersebut.

Dari segi sosiologis pun, rokok sebagai media untuk “menemukan pemecahan dari permasalahan yang dihadapi”. Seorang perokok akan lebih merasa akrab dengan orang yang baru dikenal melalui rokok. Apalagi mitra bicaranya pun juga seorang perokok. Biasanya, orang Indonesia akan selalu menawarkan rokok kepada mitra bicara yang belum dikenalnya untuk mencairkan suasana. Jika untungnya mitra tersebut juga seorang perokok, komunikasikan akan terasa lancar dan mudah akrab.

Manusia Indonesia adalah manusia yang heterogen, dan multietnis. Namun, kelebihan dari manusia Indonesia adalah ia akan lebih cepat akrab meski berbeda kultur. Salah satu hal yang menjadi katalisator ialah rokok. Perokok sejati akan selalu membagi rokoknya kepada orang-orang di dekatnya, kenal ataupun tidak kenal. Sebab, cara terbaik untuk melakukan komunikasi adalah dengan melakukan komunikasi sambil merokok. Mengapa? Kita kembali pada konsep rokok sebagai media pelepasan beban tadi. Dua perokok yang melakukan komunikasi akan lebih cair dan hangat apabila melakukan komunikasi sambil merokok. Hal tersebut memiliki arti bahwa merokok adalah kebebasan berekspresi.

Pernah baca novel serial “Balada Si Roy?”, Novel karangan Gola Gong tersebut menyajikan suatu fenomena keindonesiaan dalam setiap ceritanya. Kita lihat bagaimana si Roy dalam petualangannya akan selalu mendapatkan kawan baru dengan cara yang mudah, yakni dengan membagi rokoknya kepada mitra bicaranya. Misalnya ketika melihat sekawanan petualang sebayanya sedang duduk tanpa ada yang merokok, maka dengan inisiatif Roy melemparkan bungkus rokoknya kepada para petualang tersebut, dan terjadilah suatu komunikasi yang lancar dan akrab.

Tidak jarang, melalui komunikasi tersebut akan menghasilkan output atau solusi yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Saya pikir esensi dari komunikasi adalah menghasilkan output dalam proses komunikasi tersebut. Apabila komunikasi berjalan dengan baik, maka ouput yang dihasilkan pun akan baik pula. Dan bagi perokok, cara efektif untuk melakukan sebuah komunikasi yang baik ialah melakukannya sambil merokok bersama dengan mitra bicaranya.

Itulah esensi sebuah rokok bagi manusia Indonesia, sehingga bukan tidak mungkin rokok menjadi “sebuah bentuk kebudayaan yang tidak disadari” oleh manusia Indonesia. Manusia Indonesia mungkin akan lebih berpikir dampak negatif dari aktivitas merokok tersebut, bahkan akan berpikir bahwa merokok akan merugikan masyarakat umum, sehingga kini keberadaan seorang perokok akan menjadi temarjinalkan ketika ia berhadapan dengan kaum nonperokok. Namun, tanpa disadari, rokok telah menjadi sebuah kebudayaan yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh manusia Indonesia.

Indonesia sendiri adalah surganya rokok. Sebagian besar devisa Indonesia berasal dari cukai rokok, sehingga sangat susah kiranya untuk menghapus budaya rokok di Indonesia. Meski larangan mengenai rokok sudah digembrokan oleh Pemerintah, orang-orang akan selalu mencari rokok sebagai media ekspresinya.

Toh, pada kenyataannya rokok Indonesia adalah rokok terbaik di dunia, bahkan di Kudus sendiri dihasilkan cerutu yang hanya dijual di Amerika saja. Sepanjang pengetahuan saya, orang-orang di Afrika menyenangi rokok kretek buatan Indonesia. Bahkan pernah ada salah seorang orang Indonesia ketika sampai di negara Afrika Selatan, supir taksi di negara tersebut tidak segan-segan meminta rokok kretek yang dibawanya begitu mengetahui bahwa penumpangnya adalah orang Indonesia.

Secara tidak langsung, rokok telah membangkitkan konsep keindonesiaan manusia Indonesia, yakni manusia yang memiliki sikap ramah, gotong royong, dan tidak segan-segan untuk berbagi. Seorang perokok akan lebih mudah akrab dengan perokok lainnya daripada dengan nonperokok. Sebab, perokok akan lebih mudah akrab berbicara, berpikir, dan menyampaikan pendapat dengan mitra bicara yang juga seorang perokok. Budaya inilah yang tidak mungkin bisa dilepaskan dalam tradisi sosial manusia Indonesia.

Jika saya memfilosofikan mengenai hakikat rokok, maka saya akan memfilosofikan bahwa rokok adalah seorang wanita yang menjadi bagian hidupnya. Betapa tidak, bila perokok tidak memiliki rokok, ia akan berjuan untuk mendapatkan rokok, meski ia sedang tidak punya uang. Meskipun banyak orang menganggap bahwa rokok yang dihisapnya sangat berbahaya bagi hidupnya, ia akan tetap membutuhkan rokok dalam hal apa pun dan dimana pun. Oleh karena itu, jika memang Anda akan memutuskan untuk berhenti merokok, maka carilah hal-hal yang membuat Anda benci dengan rokok tersebut, seperti halnya Anda ingin memutuskan seorang wanita, maka Anda pun akan mencari hal-hal yang bisa membuat Anda benci dengan wanita tersebut.

Rokok dalam Tradisi Posmodernisme

Pernah dengan istilah posmodernisme? Itu adalah kelanjutan dari konsep modernisme. Modernisme itu sendiri merupakan sebuah “kemajuan” dalam suatu bidang, hal-hal yang mutakhir atau sikap berpikir dan bertindak sesuai dengan kemajuan zaman. Posmodernisme adalah tindak lanjut dari modernisme itu sendiri, yakni cara berpikir yang lebih baru dari yang baru, out of the box. Secara sedernaha, konsep posmodernisme adalah konsep-konsep paradoks dari tindakan modernisme. Paradoks itulah yang menjadikan acap kali konsep posmodernisme terlihat mengabur dan abstrak.

Posmodernisme merupakan cara berpikir yang dinamis. Ia tidak selamanya mendukung dari konsep modernisme, namun bisa juga mendobrak tradisi-tradisi modernisme yang cenderung populer dan statis. Aktivitas posmodernisme biasanya menghasilkan tindakan atau sesuatu yang seringkali dianggap salah dan berlebihan. Butuh pemaknaan yang dalam untuk menemukan makna dari aktivitas posmodernisme itu sendiri. Dengan kata lain, modernisme berkaitan dengan struktural, dan biasanya posmodernisme berkaitan dengan postruktural (astruktural).

Dikaitkan dengan rokok, rokok kini telah menjadi bentuk karya seni posmodernisme. Rokok kini diciptakan semata-mata bukan untuk kepentingan keuntungan pasar, namun ada sasaran lain yang ingin dicapai, yakni manusia Indonesia. Rokok memang sering dipandang negatif oleh beberapa kalangan. Namun, hal-hal yang dianggap negatif tersebut telah menjadi pendobrak bagi struktur-struktur yang selama ini telah menutupi tradisi keindonesiaan. Dalam pemaknaan psomodernisme, rokok adalah media efektif untuk menyulap orang-orang (khususnya perokok) untuk lebih berkecimpung dalam kehidupan sosialnya dengan rokok.

Rokok bukan sekadar sebuah “produk”, akan tetapi rokok adalah sebuah “karya”. “Produk” lebih menjurus kepada hal-hal yang hanya dinikmati oleh konsumen saja. Namun “karya” menjurus bukan kepada hal-hal yang tidak hanya dinikmati, tetapi bisa ditelaah dan dimaknai. Tidak heran jika iklan rokok akan lebih menjurus pada konsep “karya” daripada “produk”.

Begitu pun halnya dengan promosi rokok itu sendiri. Coba Anda perhatikan bagaimana rokok dipresentasikan oleh iklan. Anda tidak akan menemukan esensi dari rokok itu sendiri, namun Anda akan menemukan konsep lain tentang rokok dalam iklan tersebut. Pernah lihat iklan rokok dengan seorang laki-laki dalam mobil jeep yang menantang badai gurun? Atau pernahkan Anda lihat iklan rokok akan selalu identik dengan lelaki dan maskulinitas? Itulah salah satu dari posmodernismenya rokok. Iklan rokok tidak akan direpresentasikan pada pengenalan produk, tetapi lebih terfokus pada suatu hal yang bersifat ekspresif, gentle, dan wild.

Atau mungkin pernah lihat iklan rokok yang merepresentasikan semangat kebersamaan dan gotong royong? Hal ini yang lebih cair dari suatu iklan rokok. Rokok bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang membumi, sehingga dimanapun, kapanpun, dan apapun situasinya, rokok akan mudah ditemui sebagai media sosial yang paling efektif. Kreativitas desain iklan rokok dalam membuat iklan rokok akan selalu menghasilkan pemahaman yang berbeda untuk pengenalan rokok itu sendiri. Iklan rokok akan selalu memiliki makna yang semiotik, sehingga pemaknaannya tidak hanya dapat dilakukan secara eksplisit saja (meskipun ada beberapa iklan yang mudah dimaknai secara eksplisit).

Lahirnya kreativitas iklan rokok yang keluar dari kungkungan modernisme, membuat orang-orang memandang rokok bukan sebagai produk biasa, tetapi menjadi dimaknai sebagai produk yang ekspresif, sehingga orang-orang akan selalu gatal untuk membeli rokok. Itulah kenyataan yang terjadi dewasa ini. Anggapan mengenai rokok sebagai media ekspresif akan selalu terbayang ketika iklan rokok serentak mengambarkan rokok sebagai media seni yang ekspresif dan bebas.

Tidak heran, jika orang-orang masih akan membeli dan menjadi perokok hingga waktu yang tidak diketahui. Selama promosi rokok masih menekankan pada konsep maskulinitas itu sendiri, rokok akan selalu menjadi incaran manusia Indonesia. Terlepas dari masalah kesehatan dan ketertiban, rokok akan selalu menjadi “karya seni ekspresif” yang akan membangkitkan semangat dan stimulus orang-orang ketika mereka mengisap rokok. Dalam hal apapun, rokok telah menjadi teman hidup yang menyenangkan. Konsep berpikir itulah yang sangat susah diubah oleh kaum perokok.



Bandung, 28 Mei 2012
20:59

3 comments:

  1. Secara keseluruhan, enak dibacanya rif ..
    Tapi ada ini:
    "Tentunya Anda sering mendengar kan rokok adalah sumber inspirasi? Kebanyakan orang merokok untuk mendapatkan ilham. Hal ini memang seringkali menjadi persepsi yang salah."

    Seringkali menjadi persepi yang salah? Atau relatif salah? Salah dalam konteks apa dulu ... Kalau salah dari semua konteks dan dari semua perspektif, betul "salah". Tapi kalau "salah" hanya dari satu konteks atau perspektif, berarti relatif ...

    Terus menulis!

    ReplyDelete
  2. Oh ya, satu lagi rif

    Subjudul "Rokok dalam Tradisi Posmodernisme" lebih baik pisahkan dari artikel ini lalu lahirkan menjadi satu artikel terpisah.

    Sebacaan saya, isi subjudul itu cuma ngomongin posmodernisme dan rokok (sbg objek posmodern) dari sudut pandang budaya, bukan dari sudut pandang budaya Indonesia atau konsep keindonesiaan.

    Semangat menulis, lagi!

    ReplyDelete
  3. Tanggapan untuk Abang Barley (Shafwan) :)
    1. Mengapa saya kategorikan salah, karena sudah jelas dari segi kesehatan pun tidak ada penelitian yang emnbghasilkan analisis seperti itu.

    Salah di sini dalam hal pandangan orang tentang inspirasi itu sendiri. Mengacu pada konsep mitos, rokok seakan menjadi mitos untuk memunculkan inspirasi bagi setiap orang. Padahal inspirasi hanyalah masalah pemikiran saja, akan tetapi kaum perokok memitoskan hal tersebut.

    2. Oke, sarannya diterima, haha. hatur nuhun kang!! :)

    ReplyDelete