Ia menatap stasiun yang muram oleh hujan dari balik kaca
jendela kereta. Satu jam lagi ia akan sampai di kota kelahirannya, kota dimana
segala kenangan mangkal di setiap sudutnya. Mungkin apabila ia kembali lagi,
kenangan itu akan ia ambil lalu ia simpan di saku bajunya. Akh, kenangan, siapa
yang sudi menghapus kenangan indah yang begitu banyak tersebar dalam ingatan?
Hujan masih menemani perjalanannya semenjak berangkat dari
Jakarta. Dan, kini senja mulai menjadi malam. Seharusnya ia bisa menikmati
senja yang indah dengan matahari bulat membara. Namun, hujan menyembunyikan
segalanya, seakan tahu bahwa setiap kali ia berada di kereta, ia selalu
membayangkan bayangan kekasihnya.
Sepasang kekasih berteduh di peron. Keduanya terlihat
bahagia menghadapi hujan ini. Ia melihat segalanya dengan jelas dari kaca
jendela, meskipun perlahan uap air memburamkan kaca. Ia tahu, kenangan bukan
hanya tersebar di kotanya, melainkan di setiap penglihatannya, ia selalu
menemukan kenangan itu. Betapa tidak akan pernah tidak menemukan kenangan
apabila kenangan tersebut berada di sela-sela garis matanya, sehingga apa yang
ia lihat selalu memunculkan kenangan.
Lantas, kemana ia harus menghapus kenangan tersebut?
Kenangan kini terlalu perih baginya. Setiap yang dilihatnya, berjuta kenangan
seakan siap memuntahkan air matanya. Ia selalu merasakan perihnya sunyi yang
ditusuk oleh kenangan itu. Mengapa takpernah habis terurai kenangan tersebut?
Pikirnya. Ia ingin mengakhiri segala kegelisahan yang ada. Namun, kenangan itu
akan tetap ada. Bayangan wajah kekasihnya tetap selalu membayang di pelupuk
mata.